Sejenak, Merenungi Petuah Bangsa dan Agama

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Adi Swandana E. P.)

 

Akhir-akhir ini, bahkan masih hangat bagai kotoran ayam yang baru jatuh belum tiga detik, beberapa peristiwa yang tidak diinginkan terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Tindakan asusila, dehumanisasi, dan lain sebagainya menyebar bagai virus yang membahayakan. Berbagai platform sosial media mewartakan peristiwa-peristiwa tersebut bagaikan menu sarapan sehari-hari.

Adakah yang salah dengan bangunan bangsa ini? Itulah yang kiranya dapat mampu diraba-raba sembari menyaksikan ketidakindahan pemandangan-pemandangan ini. Manakah tiang-tiang yang sudah lapuk layu dan hendak terkapar, sehingga kita dapat merenovasi dan menghiasinya kembali agar layak dipandang nan dipakai.

Pemandangan yang paling mencolok kedua mata tampaknya terlihat pada batu-bata kepantasan dan kesopanan. Tiang-tiang tata krama dan budi pekerti. Semuanya menuntut untuk segera dievaluasi dan direnovasi. Karena jika tidak, semuanya akan merengek manja dan pergi meninggalkan penghuni rumah.

Segera. Tidak ada lagi waktu untuk bercanda. Karena tiang-tiang itu telah lapuk dimakan rayap selama bertahun-tahun tanpa dipelihara. Lapuk karena telah berumur tua karat. Segera! Karena batu-bata itu telah remuk, lembek digeruduk hujan dan mentari siang dan malam. Jika tidak, penghuni rumah akan mati kedinginan kepanasan, tak ada atap yang melindunginya dari panas dan air hujan.

 

Pulang Kampung ke Halaman Nenek Moyang

Peletak batu pertama bangunan pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara memberikan desain arsitektur bangunan bangsa ini. Ki Hajar menyampaikan bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak, untuk mencapai kehidupan yang sempurna sesuai kodratnya (Setyorini dan Asiah, 2021).

Dalam konstitusi negara, tepatnya pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pun dituturkan bahwa, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”

Baik dari arsitektur pertama bangunan tersebut, maupun dari pendirinya hendak bercita-cita bahwa nanti penghuninya memiliki karakter kepantasan, budi pekerti, ataupun akhlak mulia. Semua itulah yang ditekankan dan dipantau seketat-ketatnya dalam pembangunan rumah baru tersebut. Karena itulah satu diantara bekal lain (kecerdasan dan keterampilan) untuk melindungi dan menyelamatkan rumah beserta penghuninya dari derasnya guyuran hujan dan teriknya musim kemarau.

Di dalam Islam, segala diksi kesopanan, kepantasan, budi pekerti, tata krama, tertampung dalam konsep akhlak dan adab. Jika kembali menyelami samudra sejarah, didapati bahwa itulah tujuan utama datangnya Rasulullah yang mulia.

Sesungguhnya aku diutus terutama untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad no. 8932).

Sebagai penghuni mayoritas rumah Indonesia, masyarakat Jawa pun demikian. Mereka memiliki filosofi-filosofi hidup yang dilestarikan dari generasi ke generasi. Salah satunya ialah konsep unggah-ungguh. Dalam hal ini, unggah-ungguh identik dengan prinsip hormat yang dimiliki oleh masyarakat Jawa (Nagari, 2024). Adapun prinsip tersebut mengajarkan agar setiap orang dapat memberikan sikap hormat kepada orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya baik dalam hal berbicara maupun pembawaan diri (Suseno, 1984).

Itulah rumah nenek moyang bangsa, halaman pelataran founding fathers bangsa. Di situlah mereka bermain bersorak ria. Berkejar-kejaran dengan teman sebaya. Berduduk-duduk bercerita dalam pandangan senja. Penulis memilah-milah kerangka-kerangka di atas, karena itulah kiranya material bangsa Indonesia, (Islam, Jawa, Nusantara, dan lain sebagainya yang tidak dapat terhingga).

 

Penyimpangan Arah Jalan Bangsa

Dewasa ini, rumah bangsa itu telah berumur 79 tahun, waktu yang relatif tua jika dilabeli kepada manusia, namun terhitung muda dalam ukuran negara. Renovasi terakhir telah dilakukan serentak oleh para penghuninya pada 14 Februari kemarin dan rampung segalanya pada 20 Oktober beberapa waktu setelahnya. Setelah beberapa renovasi sebelumnya yang terhitung berarti telah direnovasi delapan kali. Tentu beberapa kerusakan pada rumah telah diperbaiki dan terlihat indah kembali.

Namun, setelah ditelisik kembali tidak hanya oleh mata melainkan langsung oleh semesta, ternyata yang rusak adalah penghuni rumah bukan bangunannya. Ternyata kerusakan pada tiang-tiang, atap, jendela kaca, dan layu pada batu-bata, disebabkan oleh penghuni rumah sendiri. Bukan oleh umur tua ataupun seleksi alam.

Beberapa kelakuan penghuni rumah sangat mengotori lantai depan. Halaman pelataran depan ternyata dipenuhi oleh kotoran-kotoran hewan liar tak terpelihara. Loteng rumah rusak karena dijadikan tempat bermain bola yang tidak semestinya. Akibatnya rumah itu tak layak lagi dihuni, ditempati, bahkan sekadar dikunjungi pun tak memiliki apa-apa.

Penghuni-penghuni rumah meninggalkan pesan-pesan sesepuh orang tua. Petuah-petuah nenek moyang tak lagi dibaca dan dipelajarinya. Bahkan sekadar dilirik pun tak pernah diberi masa. Padahal dahulu itulah yang menjadi cita-cita dan titipan kepada generasi setelahnya. Karena para tetua itu yakin dan percaya sungguh-sungguh bahwa itulah solusi yang relevan sepanjang masa.

Dengan demikian, sebagai lelaki yang masih belia, yang masih belajar merangkak dan berbicara dengan terbata-bata, namun pernah mendapatkan petuah-petuah nenek moyang itu, penulis berpesan kepada seluruh kawan sejawat untuk kembali kepada jalan yang telah ditentukan dan digariskan oleh para tetua, arah yang telah menjadi cita-cita bangsa dan telah disepakati bersama.

Liriklah meski sebentar lembaran-lembaran tua itu, coretan-coretan yang telah dilukis oleh nenek moyang dan orang-orang tua tentang kesopanan dan kepantasan. Bacalah kembali pesan-pesan Rasulullah kepada kita, tentang akhlak yang mulia, tentang adab yang luhur, tentang budi pekerti untuk menyelamatkan manusia serta semesta.


 

*Penulis adalah Sekretaris Bidang RPK IMM Komisariat Ushuluddin dan Filsafat.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *