Pilihan Migrasi atas Kegelisahan di Negeri Sendiri

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Adi Swandana E. P.)

 

Fenomena migrasi warga negara Indonesia (WNI) ke luar negeri semakin menimbulkan kekhawatiran. Sebagaimana yang dilansir dari CNBC Indonesia, sekitar 1.000 WNI memilih untuk meninggalkan tanah air setiap tahunnya terutama ke negara tetangga seperti Singapura misalnya.

Di samping itu, alasan utama yang menjadi penyebab dari besarnya jumlah migrasi tersebut adalah ketidaknyamanan untuk hidup di negara sendiri. Para WNI yang memilih untuk bermigrasi merasa kehidupan di luar negeri lebih menyenangkan, tenang dan nyaman ketimbang di Indonesia yang justru adalah sebaliknya.

Adanya migrasi ini pun menunjukkan akan adanya ketidakpuasan mendalam terhadap kondisi sosial dan politik di Indonesia. Boleh jadi hal ini terjadi karena para migran sendiri sebenarnya hanya ingin merasakan kedamaian tanpa adanya diskriminasi, korupsi, dan segala problematika Indonesia yang lainnya.

Apalagi di beberapa negara juga tidak mengharuskan para migran untuk menghilangkan identitas keindonesiaan yang sudah melekat pada diri mereka. Alhasil, mereka pun merasa lebih dihargai dan diberikan ruang yang lebih terbuka saat tinggal di negara lain daripada di negaranya sendiri.

Di Indonesia yang “katanya” dapat bersatu dalam berbagai keberagaman di dalamnya justru  masih sering terjadi konflik dari setiap perbedaan yang ada. Perbedaan agama, suku, penampilan dan latar belakang sering kali menjadi pemicu perpecahan sesama warga negara. Hal ini seolah-olah menggambarkan bahwa luasnya wilayah Indonesia berubah menjadi “sempit” bahkan bagi rakyatnya sendiri.

Fenomena ini bukanlah hal baru dan bukan terjadi secara tiba-tiba. Sebelumnya, dilansir melalui situs KOMPAS.com, banyak WNI yang memilih untuk berobat ke luar negeri karena dianggap lebih murah dan lebih efektif. Buruknya pelayanan dan minimnya fasilitas kesehatan juga masih sering dikeluhkan karena dinilai malah mempersulit masyarakat yang berupaya mencari kesembuhan.

Namun, di balik mahalnya biaya pengobatan di Indonesia terdapat fenomena “gunung es” yang disebut sebagai praktik gratifikasi atau suap antara dokter dan perusahaan farmasi (Handayani, 2021). Dengan adanya hal miris seperti ini semakin menunjukkan bahwa dunia kesehatan di Indonesia kini menjadi ladang kapitalisme dan tidak lagi berpihak pada kesembuhan masyarakatnya.  

Tidak hanya sampai di bidang kesehatan saja, sebab sepertinya pemerintah Indonesia lebih fokus terhadap kepentingan elit daripada kepentingan rakyatnya. Ketidakpedulian pemerintah terhadap rakyat terlihat jelas dalam berbagai kasus serta banyak juga laporan warga tentang pelanggaran atau kejahatan yang sering kali tidak ditanggapi dengan serius.

Bahkan undang-undang yang ada pun sering kali disinyalir bukan untuk mengakomodasi kepentingan rakyat, tetapi lebih untuk melindungi kepentingan elit dan keluarga mereka. Misalnya proses pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung bisa memakan waktu lama dan hasilnya pun belum tentu memihak rakyat. Namun, sewaktu-waktu ketika elit atau keluarganya membutuhkan perubahan undang-undang untuk kepentingan mereka, prosesnya bisa berlangsung dengan sangat cepat.

Ketika rakyat mencoba melawan ketidakadilan ini dengan memviralkan masalah yang mereka hadapi, tetapi di sisi lain mereka sering kali dihadapkan pada ancaman undang-undang seperti UU ITE yang bisa mengkriminalisasi tindakan mereka.

Ini menunjukkan bahwa bahkan kebebasan berbicara pun masih terancam oleh kekuatan elit yang ingin mempertahankan kekuasaan mereka (Nugroho & Samsuri, 2013). Dalam keadaan terpaksa, rakyat pun merasa terjebak dalam sistem yang tidak memihak mereka di mana suara mereka hanya digunakan saat pemilihan umum lalu diabaikan setelahnya.

Dari serangkaian gambaran kondisi Indonesia di atas, mungkin saja banyak orang akan mempertimbangkan untuk bermigrasi ke negara luar atau bahkan pindah kewarganegaraan sebagai satu-satunya jalan keluar. Namun, ada juga yang memilih untuk tetap berjuang di dalam negeri meskipun menghadapi tantangan yang amat besar.

Sebagian dari mereka yang memilih untuk tetap tinggal dan berjuang berharap bahwa suatu hari nanti mereka dapat mengubah sistem dari dalam. Entah mungkin dengan menjadi bagian dari pemerintahan itu sendiri seperti menjadi “presiden”, “anak presiden” atau “menantu presiden” misalnya.

Maka, pilihan tersebut seakan-akan menunjukkan optimisme dan tekad yang kuat untuk memperjuangkan perubahan meskipun tantangan yang dihadapi sangat besar. Opini tentang kegelisahan ini akan ditutup dengan sedikit cerita mimpi yang dialami oleh seorang presiden.

Presiden bermimpi dan dalam mimpinya ia meminta nasihat dari Firaun tentang cara mempertahankan kekuasaan mutlak.

Firaun berkata, “Aku menjadikan diriku sebagai satu-satunya sumber hukum.”

Presiden menjawab, “Aku sudah melakukan hal yang sama, tapi aku menyebutnya demokrasi.”

Firaun tertawa kecil, “Bagus, tapi ingat, rakyat yang terlalu lama ditindas bisa berubah menjadi Musa.”


 

*Penulis adalah Ketua Bidang Media dan Komunikasi IMM Komisariat Ushuluddin dan Filsafat.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *