Sekitar periode 1950 sampai dengan 1965-an dianggap sebagai sebuah fase dimana gerakan pemuda yang disebut dengan OKP (Organisasi Kemasyarakatan Pemuda) mengalami stagnasi dan terhimpit pada jalan buntu untuk mempertahankan independensi serta partisipasi aktif pasca proklamasi.
Hal ini dibuktikan dengan Kongres Mahasiswa Indonesia pada 8 Juli 1947 yang dilaksanakan di Malang, Jawa Timur. Muktamar tersebut menghasilkan sebuah putusan untuk menggabungkan OKP seperti HMI, PMKRI, PMU, PMY, PMJ, PMKH, MMM, SMI menjadi PPMI (Persyarikatan Perhimpunan-Perhimpunan Mahasiswa Indonesia).
Pada mulanya PPMI yang dijadikan rumah bersama terlihat begitu harmonis serta kompak dalam menggalang persatuan dan kesatuan antara mahasiswa saat itu. Namun pada periode selanjutnya saat penerimaan anggota baru sekitar tahun 1958, dengan bergabungnya CGMI yang berkiblat pada komunisme, akhirnya membawa keretakan pada tubuh PPMI yang merambah kepada kehancurannya.
Perpecahan yang muncul di mana-mana juga berimbas kepada pergerakan organisasi kemahasiswaan, salah satunya HMI. Sebagai organisasi yang menaungi seluruh mahasiswa Islam, pada saat itu juga menjadi incaran CGMI.
Isu yang disebar oleh CGMI dan PKI (partai terbesar saat itu) kepada khalayak umum selalu meneriakkan pembubaran HMI. Dikarenakan saat itu HMI sempat terlibat dalam perebutan pengaruh kekuasaan.
Sekitar tahun 1978, pada saat itu Indonesia sedang dipimpin oleh Soeharto. Pemerintah melancarkan strategi peredupan gerakan kepada para mahasiswa yang dianggap sebagai sebuah ancaman pada kepemimpinannya. Caranya adalah dengan diberlakukannya NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan pembentukan BKK (Badan Kordinasi Kampus).
Dengan dikeluarkannya NKK dan BBK, maka bubarlah sudah DEMA (Dewan Mahasiswa). Organisasi eksternal kampus dilarang beraktivitas di dalam kampus serta seluruh aktivitas kemahasiswaan harus di bawah naungan BKK sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Mimbar bebas masih berlaku sebagaimana mestinya, namun para aktivis lebih memilih untuk balik kanan dan merawat puing-puing organisasi yang dibubarkan.
Perihal Organisasi Sentris
Tentang sejarah, tentu saja tulisan ini bukan untuk mengagungkan sejarah dan gandrung terhadapnya. Namun terdapat beberapa poin penting dalam pergerakan mahasiswa yang dapat dijadikan refleksi dan pendorong laju gerakan orientasi mahasiswa yang harus dimiliki di dalam setiap diri aktivis.
Pertama yang harus ditekankan dalam setiap periodik perkembangan mahasiswa adalah: MAHASISWA TIDAK PERNAH MENJADI KABAR BAIK UNTUK PENGUASA DAN AKAN MENJADI KABAR BURUK BAGI PEMERINTAH!
Hal itu menjadi sebuah catatan penting bagi penguasa dalam mempertahankan keabsolutan kepemimpinannya.
Di setiap periode kepemimpinan selalu berbeda dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah idealisme mahasiswa, dan kiranya menurut penulis gempuran yang dilancarkan setiap tahunnya berpuncak pada periode akhir ini, dan menjadi sempurna 99% mematikan idealisme mahasiswa. Lalu apa yang harus dilakukan?
Isu kemiskinan dan kemelaratan dirawat dengan indah serta tumbuh subur di setiap kepala generasi selanjutnya. Dipupuk dan disirami dengan sistem kampus yang mendukung kebodohan tanpa ada pencerahan, ditundukkan dengan kesibukan dan kepadatan persyaratan yang harus dilengkapi untuk kesejahteraan (katanya).
Hal ini juga dirangkap dengan perkembangan isu kesehatan mental yang kiranya itu telah tuntas dalam pembahasan Jawa, selesai dibahas oleh Tan Malaka (terbentur, terbentur, dan terbentuk).
Penulis menafsirkan bahwa semakin banyak waktu untuk berproses, semakin banyak masalah yang dihadapi. Maka tidak ada lagi kiranya pernyataan mental health ketika kita menyadari pentingnya benturan dan kehancuran yang dihadapi. Sebab hal tersebut secara tidak langsung akan membentuk mental yang dimiliki agar lebih baik.
Kedua, entah benar atau bukan, terlihat sekali organisasi sentris yang tertancap di dalam diri setiap kader. Tidak salah sebenarnya, sebab itu merupakan sebuah identitas yang memang harus dimiliki oleh setiap kader organisasi.
Sebab hal tersebut merupakan sebuah roh atas gerakan yang akan mengiringi langkah kemajuan. Namun berbeda bilamana hal ini menjadi sebuah batasan untuk menyatukan gerakan. Sebab dari situ lah akan tumbuh perpecahan dan mudah untuk dirobohkan. Senyap!
Ketiga, visi yang berbeda merupakan masalah besar yang harus diperangi, memilih tertinggal atau mati di tangan kegelapan adalah sebuah satu kerugian yang besar dalam sebuah organisasi mahasiswa.
Visi demi menghidupi dirinya sendiri dan golongannya harus segara disingkirkan. Sebab akan lebih mudah disisipi kesalahpahaman dan peperangan antara organisasi mahasiswa yang sama-sama tidak bersalah.
Namun memang itu semua adalah sebuah rencana untuk melanggengkan kepemimpinan, memberi kenyamanan dan meninabobokan dalam kebodohan.
Melawan atau Mati!
Dalam sejarah, mahasiswa selalu unggul dan menjadi penggerak utama bila bersatu melawan ketidakadilan, kemlaratan, dan penjajahan negeri sendiri. Berbeda bila berpecah, ia akan semakin hancur tak berarti dan menjadi barang yang tidak berguna, hingga menjadi bahan bullying media massa.
Hemat penulis, hal pertama yang harus dilakukan adalah merapatkan barisan untuk menemukan visi yang sama. Merumuskan siapa musuh bersama yang harus dilawan dan dimusnahkan. Sebab ketika tidak menemukan visi yang sama, akhirnya akan kembali seperti gerakannya semula (mendekati kehancuran).
Kedua yang harus kita lakukan adalah kembali ke fitrah, sebagai manusia yang ‘abdun namun di sisi lain juga sebagai khalifah fil ardh. Sudah waktunya menjadi khalifah yang memikirkan masyarakat.
Sebab masyarakat telah kehilangan banyak haknya atas keserakahan para pejabat dan penguasa. Bersama menanggalkan segala kepentingan pribadi untuk memperjuangkan suatu hal, yaitu kepentingan bersama.
Sebagai yang dipesankan dalam sebuah hadis, “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.” Ini yang kiranya harus kita pegang bersama sebagai para aktivis mahasiswa. Atau bila paham kita bukan agamis, setidaknya ada hukum kausalitas yang akan menjamin jalan kita ke depannya.
Sebagai penutup tulisan ini: “MELAWAN ATAU MATI!”
*Penulis adalah Ketua Bidang Organisasi Koorkom IMM UINSA dan Anggota Korps Instruktur.