Recent News

Masih Belia Sudah Jadi Sasaran Predator Kelamin, Di Manakah Ruang Aman Bagi Perempuan?

Oleh: Adelin Aprilia Sari, Ketua Bidang Immawati PC IMM Kota Surabaya

Surabaya – Masih menjadi topik yang hangat dan patut diperbincangkan, mengenai grup whatsapp sekumpulan predator gila kelamin “Fantasi Sedarah” yang isinya konten-konten diluar nalar manusia. Bagaimana bisa seorang ayah ingin menyetubuhi anaknya sendiri, sejak ia belia sudah menjadi sasaran bringas nafsu tak berkepanjangan

Sebagai perempuan munculnya berita ini menjadi tamparan tersendiri, tentu ini menjadi momok mencekam dan kekhawatiran global yang perlu dipertegas. Bagaimana bisa tubuh perempuan hanya dijadikan objek lelucon bahkan pemuas nafsu-nafsu bringas itu.

Lantas harus lari kemana kami, jika rumah bahkan ayah kandung kami memiliki pemikiran keliru itu? Haruskah kami bergantung pada kebijakan sistem yang semakin hari semakin tidak bisa terukur dan  dipredikasi, ataukah pada aparat negara yang juga sulit dipercaya? Sekarang, Bagaimana tubuh perempuan bisa aman?

Negara Indonesia, dan banyak negara lain, masih menyimpan borok besar dalam isu kekerasan seksual. Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sebagian besar kasus kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat, ayah, paman, guru, teman sebaya, bahkan pasangan sendiri. Artinya, perempuan benar-benar tidak memiliki ruang aman bahkan di rumahnya sendiri.

Lebih mengerikannya lagi, banyak dari kasus yang tidak pernah sampai ke ranah hukum. Korban dibungkam, dipersalahkan, atau dianggap mempermalukan keluarga. Sementara pelaku melenggang bebas, dilindungi oleh budaya patriarki dan relasi kuasa yang timpang.

Tidak Ada Tempat yang Benar-Benar Aman

Faktanya, perempuan hidup dalam siaga yang konstan, pada sebuah kewaspadaan yang tidak diminta, namun dipaksakan oleh sistem sosial yang membiarkan kekerasan terjadi tanpa konsekuensi nyata. Ruang aman bagi perempuan seharusnya adalah pada semua tempat di mana ia ada, naas nya ruang-ruang ini justru kerap menjadi ladang subur bagi kekerasan dan pelecehan.

Rumah yang dulunya bisa menjadi tempat pulang, kini justru terkesan mencekam. Bayang-bayang kekerasan mulai dimunculkan bahkan dari orang paling berpengaruh pada keluarga. Kondisi ini menandakan bahwa ruang aman bagi perempuan tidak pernah benar-benar ada, karena masalahnya bukan hanya soal ruang, tetapi tentang mentalitas masyarakat yang ada didalamnya.

Sistem yang Gagal Lindungi Perempuan

Perempuan kerap diminta berjaga-jaga, berpakaian sopan, jangan keluar malam, jangan terlalu ramah. Namun yang seharusnya diajarkan adalah: jangan melecehkan, jangan menyentuh tanpa izin, dan jangan memperkosa. Paradigma “perempuan yang harus menjaga diri” seolah melepaskan tanggung jawab pelaku, dan justru menyalahkan korban.

Inilah bentuk ketidakadilan sistemik yang harus dilawan. Sistem hukum pun belum sepenuhnya berpihak. Korban kekerasan seksual sering harus membuktikan “seberapa parah” trauma yang mereka alami. Bahkan di ruang persidangan, korban bisa kembali mengalami kekerasan psikologis akibat interogasi yang bias dan merendahkan. Apalagi hal ini terjadi pada anak-anaknya yang belum tau benar dan salah, tentu ia tidak bisa banyak menuntut jika kekerasan terjadi padanya.

Ketika bahkan seorang anak kecil tidak bisa merasa aman di pelukan orang tuanya sendiri, ini bukan hanya kegagalan keluarga, tapi juga kegagalan bangsa. Maka pertanyaan “dimanakah ruang aman bagi perempuan?” bukan hanya retorika, tetapi panggilan untuk bertindak. Karena jika kita tidak bisa menciptakan ruang aman bagi perempuan, maka tidak ada satu pun dari kita yang benar-benar hidup dalam masyarakat yang adil. (*)

Tags :

Redaksi IMM Surabaya

One thought on “Masih Belia Sudah Jadi Sasaran Predator Kelamin, Di Manakah Ruang Aman Bagi Perempuan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Popular News

Recent News

PC IMM Surabaya adalah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Organisasi Otonomi Muhammadiyah

© 2025 PC IMM Surabaya. All Rights Reserved by FeekzzDev.