Recent News

Inklusif dan Adil Gender: Wujudkan Pendidikan yang Ramah

Surabaya – Pendidikan merupakan hak dasar setiap manusia yang diakui secara global dalam berbagai instrumen hak asasi manusia, termasuk dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Hak Anak. Dalam konteks tersebut, pendidikan inklusif dan keadilan gender menjadi dua pilar penting untuk mewujudkan sistem pendidikan yang adil dan merata bagi semua kelompok masyarakat, tanpa diskriminasi.

Sayangnya, berbagai tantangan masih menghambat pencapaian cita-cita tersebut, mulai dari diskriminasi terhadap kelompok minoritas hingga ketimpangan akses pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Maka dari itu, esai ini akan membahas konsep pendidikan inklusif, keadilan gender dalam pendidikan, tantangan yang dihadapi, serta strategi mewujudkan sistem pendidikan yang adil dan setara.

Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem    pendidikan    dengan    meniadakan    hambatan-hambatan    yang    dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan lain-lain.  Dengan  kata  lain  pendidikan  inklusif  adalah  pelayanan  pendidikan  anak berkebutuhan  khusus  yang  dididik  bersama-sama  anak  lainnya  (normal)  untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Pendidikan   Inklusif   tidak   hanya   menyangkut   penyandang disabilitas. Namun terdapat  banyak  kelompok  yang rentan akan eksklusi dari pendidikan, dan inklusif pada esensinya adalah menciptakan sistem  yang  dapat  mengakomodasi  semua  orang.

Prinsip dasar dari pendidikan inklusif adalah bahwa setiap anak memiliki potensi dan hak yang sama untuk belajar, serta bahwa sistemlah yang harus berubah agar dapat menyambut dan menghargai keberagaman tersebut. Pendidikan inklusif tidak hanya berfokus pada siswa dengan disabilitas, tetapi juga mencakup siswa dari kelompok rentan seperti anak-anak dari keluarga miskin, anak perempuan di lingkungan patriarkal, dan kelompok minoritas lainnya.

Lalu keadilan gender dalam pendidikan mengacu pada kesetaraan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh, menikmati, dan merasakan manfaat dari pendidikan. Keadilan gender bukan berarti memperlakukan laki-laki dan perempuan secara sama dalam segala hal, melainkan memberikan perlakuan yang adil sesuai dengan kebutuhan masing-masing demi mencapai hasil yang setara.

Dalam banyak konteks sosial dan budaya, perempuan masih menghadapi hambatan yang signifikan dalam mengakses pendidikan. Faktor-faktor seperti kemiskinan, norma sosial patriarkal, pernikahan dini, kekerasan berbasis gender, serta minimnya fasilitas pendidikan yang aman dan ramah gender menjadi penyebab utama dari rendahnya partisipasi perempuan dalam pendidikan, terutama di daerah pedesaan dan tertinggal.

Data dari UNESCO menunjukkan bahwa meskipun terjadi peningkatan akses pendidikan bagi perempuan dalam beberapa dekade terakhir, ketimpangan masih terlihat terutama pada tingkat pendidikan menengah dan tinggi, serta dalam bidang-bidang studi tertentu seperti sains dan teknologi (STEM). Hal ini menunjukkan perlunya strategi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan dalam mengatasi ketidaksetaraan gender dalam pendidikan.

Tantangan Inklusi dan Kesetaraan Gender

Meskipun banyak negara telah mengadopsi kebijakan inklusi dan kesetaraan gender dalam pendidikan, pelaksanaannya masih menghadapi sejumlah tantangan.

1. Perencanaan Pembelajaran (Lesson Planning)

Guru tidak menggunakan rencana pembelajaran yang responsif gender (Gender Inclusive Teaching – GIT) dan Kurangnya pelatihan mengenai perencanaan pembelajaran berbasis gender menjadi penyebab utama, serta mahasiswa mencatat bahwa guru lebih banyak memberi kesempatan pada mahasiswa dan tidak mendorong partisipasi aktif dari mahasiswi.

2. Penggunaan Materi Pembelajaran

Materi pembelajaran yang digunakan belum responsif gender dan cenderung bias terhadap laki-laki. Seperti Ilustrasi, contoh, dan bahasa dalam materi cenderung menampilkan laki-laki sebagai tokoh utama, sementara perempuan digambarkan pasif atau dalam peran domestik. Baik guru maupun siswa menyadari adanya bias ini, tetapi belum ada usaha nyata untuk mengubah atau menyesuaikannya.

3. Penggunaan Bahasa di Kelas

Bahasa yang digunakan guru dan mahasiswa sering kali bias terhadap laki-laki, mengandung stereotip yang merendahkan perempuan. Hal ini menciptakan lingkungan belajar yang tidak inklusif dan dapat mengurangi partisipasi serta kepercayaan diri mahasiswi. Bahasa yang stereotip juga seringkali bersumber dari budaya lokal dalam bentuk pepatah, lelucon, atau peribahasa yang merendahkan perempuan.

4. Interaksi Siswa di Kelas

Interaksi di kelas menunjukkan kurangnya inklusivitas gender. Mahasiswa duduk terpisah berdasarkan jenis kelamin, dan guru lebih sering mengajak mahasiswa laki-laki untuk berpartisipasi. Mahasiswi merasa tidak diberi kesempatan yang sama dalam diskusi, presentasi, dan kepemimpinan kelompok. Hal ini memperkuat dominasi laki-laki dan membuat perempuan menjadi pasif.

5. Kekerasan Berbasis Gender (Gender-Based Violence / GBV)

Terdapat pelecehan seksual tersembunyi yang tidak dilaporkan karena korban takut atau tidak percaya sistem. Petugas gender di universitas menganggap tidak ada masalah signifikan karena kurangnya laporan resmi. Hal ini berdampak pada kesehatan psikososial korban dan dapat menurunkan prestasi akademik serta kepercayaan diri mereka.

Strategi Pendekatan

Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan strategi yang menyeluruh dan kolaboratif dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat sipil, hingga lembaga pendidikan. Berikut beberapa pendekatan yang dapat dilakukan:

1. Regulasi Kesetaraan dan Keadilan Gender

Di universitas ini sebenarnya sudah ada kebijakan inklusi gender dan kode etik yang dirancang untuk mencegah serta menangani diskriminasi dan kekerasan berbasis gender, termasuk pelecehan seksual. Sayangnya, walaupun aturan itu sudah dibuat, banyak mahasiswa dan staf yang merasa belum benar-benar tahu cara mengakses atau memanfaatkannya.

Informasi soal kebijakan tersebut belum tersebar dengan baik, sehingga banyak yang bingung harus melapor ke mana jika mengalami atau melihat kejadian yang berkaitan dengan kekerasan gender. Akibatnya, kasus seperti pelecehan seksual yang sifatnya tersembunyi masih sulit ditangani.

2. Pemberdayaan dalam Kesetaraan Gender

pemberdayaan mahasiswi melalui pembentukan klub gender dan pelatihan tentang kesetaraan gender. Staf kantor gender menjelaskan bahwa mereka biasa memberikan pelatihan kesadaran gender bagi mahasiswi baru. Selain itu, universitas juga memiliki klub gender yang bertujuan meningkatkan kesadaran komunitas kampus tentang isu-isu gender.

3. Meningkatkan Kualitas 

Peningkatan kualitas ini meliputi in-service  training  (INSET)  kepada  guru  pendidikan inklusif, awareness  programmes,  school-based  professional  development  programmes, family  support, kontekstualisasi proses belajar-mengajar, rencana implementasi kebijakan yang memberikan dukungan berkelanjutan selama proses implementasi di lapangan.

Selain itu juga butuh komitmen dari pemerintah untuk  memberikan  sebagian  anggaran  sebagai  sumber  dana  pendidikan  inklusif  dalam rancangan anggaran, kolaborasi dengan  stakeholders, secara regional, nasional, maupun internasional.

Perubahan Sosial

Pendidikan inklusif dan berkeadilan gender bukan hanya tujuan, tetapi juga sarana untuk menciptakan perubahan sosial yang lebih luas. Ketika perempuan dan kelompok rentan lainnya mendapatkan akses pendidikan yang setara, mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk meningkatkan kualitas hidup, berpartisipasi dalam pembangunan, dan memperjuangkan hak-haknya.

Pendidikan yang adil juga berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang lebih toleran, demokratis, dan sejahtera. Dalam jangka panjang, hal ini akan memperkuat kohesi sosial, mengurangi ketimpangan, serta memutus rantai kemiskinan dan ketidakadilan struktural yang telah berlangsung lama.

Pendidikan inklusif dan keadilan gender adalah fondasi penting dalam pembangunan sosial yang berkelanjutan. Meski banyak kemajuan telah dicapai, masih banyak tantangan yang harus diatasi untuk memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin, kemampuan, atau latar belakang sosial, memiliki akses yang sama terhadap pendidikan yang bermutu.

Diperlukan komitmen bersama, baik dari pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, maupun keluarga, untuk mewujudkan sistem pendidikan yang benar-benar inklusif dan adil gender. Dengan begitu, kita tidak hanya membangun generasi yang cerdas, tetapi juga masyarakat yang adil, setara, dan manusiawi. (*)

Oleh: Abdul Rohman Aziz, Ketua Bidang TKK IMM UM Surabaya

Tags :

Redaksi IMM Surabaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Popular News

Recent News

PC IMM Surabaya adalah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Organisasi Otonomi Muhammadiyah

© 2025 PC IMM Surabaya. All Rights Reserved by FeekzzDev.