Indonesia sangat terkenal dengan semboyannya yaitu Bhineka Tunggal Ika yang memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semboyan yang dikemukakan Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma tentunya sangat selaras dengan keadaan Indonesia yang diisi bermacam ras, suku, dan agama yang kemudian menjadi satu yaitu Indonesia.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan Indonesia patut bersyukur karena saat ini dikenal sebagai negara paling toleran di dunia, berkat ajaran Wali Songo pada masa lalu.
“Alhamdulillah karena itu kita bersyukur, berkat tuntunan wali itu Indonesia, kita orang Indonesia paling dikenal oleh dunia sebagai bangsa yang paling toleran di dunia,” kata dia saat menghadiri Haul Ke-514 Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur, Kamis (10/8) malam.
Jika ditarik dari hal tersebut, maka kita akan berpikir bahwa Indonesia adalah negara yang toleransi akan satu sama lain. Kita dapat membayangkan suku dan agama di Indonesia saling menghormati dan menjaga satu sama lain. Begitu indah jika dibayangkan bukan?
Namun, ternyata di zaman sekarang semboyan tersebut hanya tinggal sebagai teks yang terpampang pada cengkraman kaki burung Garuda pada logo Pancasila yang menjadi simbol Negara. Semboyan tersebut tidak lagi dikontekstualisasikan oleh masyarakat yang mengaku cinta dengan Indonesia.
Munculnya gerakan-gerakan fanatisme dan radikal di golongan agama mayoritas menjadi faktor utama hancurnya keindahan dalam keberagaman di Indonesia. Mereka kerap menganggap orang yang berbeda keyakinan dengan mereka sebagai sebuah ancaman. Sebenanya itu bukanlah sebuah ketaatan kepada Tuhan, melainkan dapak dari iman yang lemah terhadap sang pencipta.
Maraknya pembubaran tempat ibadah oleh agama mayoritas terhadap agama minoritas yang tak pernah kunjung usai. Contohnya yang baru-baru ini terjadi seperti di Balaraja, Kabupaten Tanggerang. Sekelompok umat Kristiani yang tengah menjalankan ibadah di sebuah rumah karena tidak memiliki gereja, harus terpaksa menghentikan ibadahnya karena dibubarkan oleh warga sekitar. Pembubaran ini dilakukan karena dianggap tidak adanya izin (CNN Indonesia, 2024).
Dan, yang lebih lucu para umat Kristiani yang dibubarkan tadi diminta untuk membuat surat pernyataan agar tidak menggelar ibadah lagi di rumah tersebut (JawaPos, 2024). Menurut saya, ini adalah sebuah fenomena yang sangat memalukan. Seumur-umur, saya belum pernah menemukan di Indonesia ketika kita umat Islam melakukan ibadah di rumah, tiba-tiba dibubarkan karena tidak mendapat izin. Siapa sebenarnya pemegang izin ini? Sejak kapan kita yang ingin beribadah harus meminta izin terlebih dahulu?
Nyatanya kejadian-kejadian seperti itu bukan hanya terjadi satu atau dua kali saja di negara tercinta ini. Setiap tahunnya pasti selalu ada kasus-kasus semacam ini yang tak pernah usai. Hingga 2019, setidaknya ada 200 Gereja disegel atau ditolak dalam 10 tahun terakhir (BBC Indonesia, 2019).
Bahkan, di salah satu kota, berdiri 381 masjid dan 387 musala, namun tak ada satu pun gereja, pura hingga vihara yang mendapat izin untuk berdiri di kota tersebut (CNN Indonesia, 2022). Data lain mencatat bahwa pasca reformasi hingga setidaknya tahun 2015, terdapat 1.000 kasus pembakaran Gereja (CNN Indonesia, 2015).
Hal tersebut tentu telah menyalahi Pasal 22 Undang-Undang HAM. Pada dasarnya hak beragama adalah salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau sering kita dengar dengan istilah non-derrogable rights. Maka dari itu, kebebasan memeluk agama atau kepercayaan adalah hak setiap warga negara. Dan, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing serta beribadah menurut agamanya dan kepercayaanya.
Sebelum melangkah ke pembahasan selajutnya, ada baiknya kita memahami apa itu undang-undang terlebih dahulu. Pengertian perundang-undangan menurut para ahli sangat lah beragam. Seperti pendapat Bagir Manan (1992), bahwa undang-undang adalah keputusan tertulis negara atau pemerintah yang berisi petunjuk atau pola tingkah laku yang bersifat mengikat secara umum.
Jadi dapat kita pahami bahwa undang-undang adalah segenap peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatur pola hidup masyarakat agar terciptanya kehidupan yang baik. Jadi tentunya orang-orang yang melanggar undang-undang pastinya akan mendapat konsekuensi atas apa yang telah ia langar.
Jadi yang menjadi pertanyaan, kemana pemerintah ketika hak-hak dari masyarakat mereka telah dirampas oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab tersebut? Bukankah kebebasan untuk beragama dan beribadah telah diatur di dalam undang-undang. Kenapa mereka diam ketika terjadi sebuah tindakan yang telah menyalahi hukum?
Kementerian Agama yang dibuat oleh negara nyatanya hanya milik satu agama saja. Bahkan Pak Yaqut Cholil Qoumus, Menteri Agama dalam kabinet sekarang malah dituduh seorang mualaf dari Kristen radikal dan dianggap berpura-pura menjadi mualaf hanya karena beliau yang terus menyuarakan toleransi beragama. Ia sendiri selalu hadir dalam acara agama manapun, dan menurut saya itu memang kewajiban beliau sebagai Menteri Agama.
Lucunya lagi, ada sebuah berita di Republika TV (2/11/2020) yang mana MUI (Majelis Ulama Indonesia) meminta Macron selaku Presiden Prancis untuk belajar Toleransi di Indonesia. Ini benar-benar membuat saya tersenyum sembari menggelang-gelangkan kepala. Entah apa yang berada didalam pikiran para tokoh tersebut, bagaimana mungkin mereka mengajak sebuah negara untuk belajar toleransi di negara yang kurang paham sama sekali apa itu toleransi.
Saya bukanlah seorang Islamofobia, bukan berarti dengan saya menulis seperti ini saya menjadi seorang pembenci Islam. Saya justru cinta dengan agama ini, tetapi yang sangat saya sayangkan di sini adalah kenapa Islam malah menjadi pelaku dari sebuah kasus intoleransi. Bukankah Nabi Muhammad Saw. di dalam hadisnya telah mengatakan bahwa Islam adalah agama yang toleran.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَ
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: ‘Ditanyakan kepada Rasulullah Saw, ‘Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?’, maka beliau bersabda: ‘Al-hanifiyyah as-samhah atau agama yang lurus lagi toleran [maksudnya agama Islam],” (H.R. Ahmad).
Bukankah kita telah melihat bagaimana saudara-saudara kita telah mendapat perlakuan intoleran di negara lain. Seperti sebuah kampung Islam yang habis dibuldoser di India yang mana mereka sekarang harus tinggal di jalanan (BBC News, 2023). Bagaimana saudara dari Uighur di China yang mendapat kejahatan terhadap kemanusian (HRW, 2023), saudara-saudara di Palestina yang harus terusir dari tanahnya (CNBC Indonesia, 2023).
Tidak kah berita-berita seperti itu menyayat hati kita? Mereka tidak dapat melaksanakan ibadah-ibadah mereka secara aman dan tenang. Jika kita marah dengan hal itu, lalu kenapa kita malah melakukan hal-hal seperti itu di negara kita yang indah ini. Islam bukanlah agama yang pendendam, saya tidak menemukan nilai-nilai keislaman atas tindakan yang kita lakukan terhadap agama minoritas di tanah pertiwi ini.
Bukankah Indah jika kita saling toleransi dalam beragama, seperti kawan-kawan di Indonesia bagian timur yang mana ketika umat Islam melaksanakan Salat Ied, para pemuda umat Kristiani ikut menjaga pelaksanaan ibadah tersebut. Begitu juga ketika Natal dan Tahun baru para umat Islam menghormati acara yang didakan oleh umat Kristiani dan tidak mengganggu acara tersebut.
Tanah pertiwi ini bukan hanya milik satu ras, suka, atau agama saja. Indonesia berdiri dengan keberagamanya, semua golongan dulu bersatu untuk meraih kemerdekaan Indonesia, bahu membahu dalam membentuk sebuah negara. Lantas tak ada alasan kita untuk mendiskriminasi mereka yang berbeda dengan kita, karena pada dasarnya kita semua satu di dalam Indonesia.
Apa yang kita rasakan sekarang atau kemerderdekaan yang telah kita raih dengan susah payah sejatinya bukanlah dari para tokoh islam saja, nyatanya banyak pahlawan-pahlawan yang terlahir dari agama lain. Seperti Pattimura (Kristiani), I Gusti Ngurah Rai (Hindu), Gatot Subroto (Buddha), Albertus Soegijapranata (Katolik). Mereka semua adalah Pahlawan Nasional yang ikut berjuang memerangi pasukan Kolonial dalam merebut kemerdekaan.
Atas dasar hal tersebut, marilah kita bersama-sama menciptakan hidup yang damai, aman, dan tentram di bumi pertiwi ini. Dengan kebersamaan kita dapat meraih segalanya, dan karena kebersamaan atas keberagaman itulah negara kita dapat berdiri hingga saat ini.
*Penulis adalah Kader IMM Komisariat Leviathan.