“IMMawan dapat IMMawati…”
Begitulah secuil lirik dari mars IMM yang kerap di-pleset-kan oleh beberapa kader-terlebih yang berstatus jomlo sebagai salah satu humor receh. Sekilas, mungkin humor itu terkesan lucu dan relate dengan dunia asmara kader IMM zaman sekarang. Terlebih tawaran “jodoh bila bertemu” di beberapa agenda Ikatan–terlebih di taraf Komisariat pun terkadang masih menjadi menu paling unik agar kader lebih tertarik.
Namun, candaan di atas justru tampak tidak berpihak pada IMMawati itu sendiri. Lirik yang dirubah demi mendapat recehan tawa seolah menggambarkan bahwa IMMawati adalah sebuah “objek” atau dengan kata lain sebagai “imbalan” bagi para IMMawan yang berlagak si paling Ikatan.
Belum lagi lirik setelahnya terkesan patriarki sekali. Sepertinya sosok IMMawati memang tak mampu menjadi teladan dan harapan, sebab diksi yang digunakan adalah “siswa” dan “putra”, bukan sebaliknya atau paling tidak menggunakan kata yang lebih setara–seperti “kader” misalnya. Jika realita yang ada memang benar seperti ini, maka di mana tempat yang layak bagi para IMMawati?
“Sebenarnya IMM itu kan mengakomodir semua ya, baik laki-laki maupun perempuan selama dia masih menjadi mahasiswa atau pelajar,” tutur Zulfa Anida, Ketua Bidang IMMawati PC IMM Kota Surabaya.
Menurut Zulfa, dalam IMM sendiri tidak terdapat aturan terkait tugas khusus yang harus diemban baik untuk IMMawan ataupun IMMawati. Maksudnya, tugas yang harus diemban adalah tugas bersama. Oleh karena itu, IMMawati pun tetap mempunyai kesempatan untuk memilih peran sesuai dengan minat bakat, kapasitas, dan kapabilitas yang dimiliki. “Semua tuh terbuka kalau di IMM, tidak ada diferensiasi antara laki-laki dan perempuan,” katanya.
Mempertanyakan “IMMawati”: Kuantitas dan Kualitas di Organisasi
Eksistensi IMMawati sering kali menimbulkan tanda tanya dalam hiruk pikuk organisasi. Seperti yang ditulis oleh Ahmad Sholeh (1991) dalam IMM Autentik, kehadiran IMMawati dirasa memiliki titik bias; sebagai pelengkap gerakan atau benar-benar mengambil peran. Kebiasaan ini tentu dirasa berkaitan dengan persoalan kuantitas dan kualitas para aktivis perempuan di rana Ikatan.
Menanggapi persoalan perihal jumlah IMMawati dalam organisasi, Zulfa sendiri menganggap hal demikian tergantung pada kondisi pimpinan. Dalam hal ini, ia menjelaskan dengan mengambil contoh beberapa komisariat yang diketahuinya. Contohnya, komisariat kesehatan justru memiliki jumlah IMMawati yang lebih banyak ketimbang jumlah IMMawan, sementara jumlah IMMawati di komisariat yang notabenenya cenderung diisi oleh laki-laki seperti teknik atau ilmu politik adalah sebaliknya.
Akan tetapi, dalam kacamata Zulfa, persoalan jumlah IMMawati di atas memiliki plus minus-nya masing-masing. Zulfa justru menyoroti kegelisahan ini kepada upaya IMMawati maupun IMMawan agar tidak terpengaruh dengan jumlah yang sedikit, sehingga berdampak pada kemerosotan kualitas mereka di organisasi.
“Maka itu, bagaimana perempuan yang ada di sana yang sedikit itu tidak menjadi membatasi diri atas pengembangan kapasitas yang ada di lingkungan tersebut. Begitu pula dengan laki-laki yang berada di fakultas atau lingkungan yang dominan perempuan. Meskipun semuanya perempuan, bukan berarti laki-laki tersebut bisa membatasi yang pada akhirnya membatasi diri untuk dalam pengembangan diri pada lingkungan tersebut,” terang IMMawati tersebut.
Memantik Kesadaran, Melawan Tantangan
Isu kekurangan IMMawati di pergolakan kaderisasi Ikatan sepertinya sudah menjadi warisan persoalan dari tahun ke tahun. Yang terbaru, formatur terpilih dalam agenda Muktamar IMM ke XX hanya diisi oleh para IMMawan kala itu. Peran IMMawati pun semakin dicari-cari oleh sebagian atau bahkan seluruh kader Ikatan dalam konteks struktural.
Zulfa pun menilai hal ini tak lepas dari masih maraknya praktik misoginis atau bahkan merendahkan antar sesama perempuan. Ia juga mengeluhkan kebiasaan kader Ikatan yang terlalu fokus pada masalah sedikitnya IMMawati. Padahal, hal ini bagi Zulfa bisa saja disebabkan oleh tidak diberikannya kesempatan dan perhatian untuk pengembangan kapasitas diri bagi para IMMawati. Namun, kapasitas diri ini juga perlu diimbangi dengan kemampuan leadership yang baik, sebab tugas kaderisasi pun tetap harus berjalan dengan apik.
“Mungkin selama ini perempuan itu tidak terlalu dominan daripada laki-laki, sehingga itulah yang lebih penting untuk menjadi sorotan supaya didorong untuk semakin meningkatkan kapasitas diri. Ketika kualitas SDM itu sudah naik, maka sebuah sebuah jabatan atau suatu kepercayaan untuk menjadi pimpinan itu akan datang dengan sendirinya. Dari situlah kita bisa menyongsong untuk jumlah perempuan di pimpinan itu lebih banyak karena untuk menjadi pimpinan itu tidak hanya bisa bakat saja ya. Maksudnya, dalam artian suka nih, misalnya suka menulis gitu. Tidak hanya suka menulis aja, tapi bagaimana ia menularkan semangat menulis itu,” jelas Zulfa.
*Penulis adalah Ketua Umum IMM Komisariat Ushuluddin dan Filsafat dan Anggota Korps Instruktur.