Setelah simpang siur informasi di sosial media, akhirnya PP Muhammadiyah menerima konsesi Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh pemerintah (CNN Indonesia, 28/7/2024). Sesuatu yang saya rasa, masih akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan warga Persyarikatan.
Tidak berlebihan jika hal ini kita sebut sebagai tarik tambang gagasan. Tarik tambang sendiri adalah permainan tradisional yang melibatkan dua tim. Masing-masing berusaha menarik ujung tali yang berlawanan untuk memenangkan permainan.
Sebelum keputusan resmi ini dibuat, ada yang setuju maupun tidak setuju. Setelahnya, mungkin perdebatan ini masih akan berlanjut, terlebih di sosial media yang menjadi wadah ekspresi bersama.
Melihat bagaimana atmosfir rekan-rekan soal isu ini, rasanya tidak sedikit yang akan tajam dalam mengkritik kebijakan PP Muhammadiyah. Maupun mendukung, sebab percaya dengan langkah yang diambil para pimpinan. Lantas, bagaimana kedua gagasan ini akan beradu ke depannya? Bagaimana sikap kita sebagai kader? Apa yang harus kita lakukan?
Mereka yang Menolak
Penolakan datang dari berbagai kalangan. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Amien Rais adalah salah satunya. Ia menyebut bahwa tawaran itu bagaikan racun bagi ormas keagamaan (Tempo, 28/7/2024).
Elemen lain yang juga getol menolak hal ini adalah Kader Hijau Muhammadiyah (KHM). Postingan-postingan di instragram mereka sangat jelas menggambarkan hal ini. Pertambangan dianggap sebagai mengais keuntungan sesaat dan menimbulkan mudharat (Suarasurabayanet, 12/7/2024).
Bahkan Rocky Gerung pun ikut bersuara. Dilansir dari kanal YouTube Rocky Gerung Official, ia melihat keputusan Muhammadiyah ini sebagai bentuk pragmatisme dan oportunisme, yang berpotensi mengubah peran ormas dari pengawas kekuasaan menjadi mitra kekuasaan.
Beragam ekspresi penolakan pun muncul di ruang-ruang publik. Dari yang berujar bahwa “NU 1 vs 1 Muhammadiyah”, “Dipisahkan Qunut, Disatukan Tambang”, hingga berupaya memplesetkan atribut-atribut Muhammadiyah. Misalnya seperti pada mars organisasi ini “Sang Surya… Telah Menambang” hingga plesetan “Mutambangdiyah”.
Adakah Tambang Ramah Lingkungan?
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyebut bahwa di mana ada tambang, di situ ada penderitaan warga. Di mana ada tambang, di situ ada kerusakan lingkungan, tidak akan bisa berdampingan. Lingkungan “dirusak” dan masyarakat “dibungkam” paksa demi terlaksananya komoditi prioritas yang menjadi tulang punggung pemasukan negara (BBC News, 7/6/2021).
Listiyani (2017) menjelaskan bahwa secara umum, dampak pertambangan terhadap lingkungan meliputi penurunan produktivitas lahan, peningkatan kepadatan tanah, erosi dan sedimentasi, serta gerakan tanah atau longsoran.
Selain itu, pertambangan juga mengganggu flora dan fauna, kesehatan masyarakat, serta menyebabkan perubahan iklim mikro.
Lalu dampak pasca tambang meliputi perubahan morfologi dan topografi lahan, dengan bentang alam yang tidak teratur, munculnya lubang-lubang terjal, dan gundukan tanah. Lahan bekas tambang menjadi tidak produktif dan rawan longsor.
Meski demikian, saya menemukan ada beberapa penelitian yang memungkinkan bahwa kegiatan ini dapat menjadi ramah lingkungan –atau setidaknya, meminimalisir dampak negatif. Misalnya pada penelitian Subowo (2011) yang menjelaskan bahwa untuk menghindari dampak negatif penambangan sistem terbuka konvensional, ada beberapa cara.
Mulai dari penambangan dilakukan secara blok dengan dimulai dari lereng paling bawah, biorehabilitasi dengan pemberdayaan cacing tanah endogaesis, hingga pemeliharaan tanaman sampai mencapai klimaks ekosistem sesuai yang diharapkan.
Lawing (2020) menjelaskan bahwa kondisi ekstrem pada lahan pasca tambang dapat diatasi dengan perbaikan kondisi tanah, perbaikan sistem drainase, penyiraman, dan pemilihan jenis pohon yang tepat yang dapat beradaptasi dengan kondisi ekstrem tersebut.
Riset oleh Alghifary dan Sihombing (2021) menjelaskan bahwa Permeable Reactive Barriers (PRBs) mampu menjadi solusi untuk diterapkan di Indonesia secara masif untuk memaksimalkan pengelolaan air asam tambang melalui proses yang efektif, ekonomis dan ramah lingkungan.
Masih banyak riset yang mengulas hal ini secara mendalam dan komprehensif. Oleh karena itu, alangkah lebih baik jika kedepannya, teman-teman yang memiliki konsentrasi di bidang ilmu ini lah yang mengulasnya dengan lebih detail (Di website ini, hehehe).
Tarik Tambang Gagasan atau Emosional?
Kita melihat bagaimana gagasan pro dan kontra di ruang publik saling tarik-menarik untuk menunjukkan perspektif masing-masing. Tentu positif, sebab hal ini menunjukkan ada kepedulian terhadap langkah yang diambil oleh PP Muhammadiyah.
Meski demikian, kita patut menyoroti bahwa terkadang ada yang tidak sehat di balik fenomena perdebatan tersebut. Sebab beberapa narasi cenderung berbasis emosional ketimbang rasional, dan hal ini sangat mengkhawatirkan.
Tidak semua narasi yang muncul di media sosial disampaikan dengan dasar yang kuat, baik di kubu pro maupun kontra. Seringkali, argumen-argumen ini langsung melompat ke kesimpulan untuk menolak maupun mendukung tanpa melalui proses pertimbangan yang matang dan analisis yang mendalam.
Hal ini dapat menyebabkan perdebatan menjadi kurang konstruktif dan lebih banyak didorong oleh sentimen, daripada fakta dan logika. Plesetan-plesetan pun cenderung menimbulkan hal yang sebenarnya kontraproduktif.
Terlebih lagi, ada kecenderungan di antara beberapa pihak untuk mengklaim “kebenaran” secara absolut, seolah-olah tanpa kritik atau pertimbangan lebih lanjut. Sikap ini tidak hanya mempersempit ruang diskusi, tetapi juga menciptakan polarisasi yang lebih dalam di masyarakat.
Padahal, permasalahan soal tambang ini sangat kompleks (Gunawan, 2023). Tidak bisa serta merta bahwa ini benar dan selain itu adalah salah. Maka, yang bisa kita lakukan adalah dengan tidak “memperkeruh” suasana. Bagaimana caranya?
Dari banyaknya cara, kita dapat menulis opini kita untuk menunjukkan serangkaian argumen. Kenapa kok ditulis? Sebab dengan itu, kita sedang menguji gagasan di ruang publik. Hal ini juga menunjukkan bahwa kita punya gagasan, bukan ikut-ikutan.
Pada proses itu lah kita akan menemukan banyak perspektif. Jangan-jangan, tidak semua hal di dalam pertambangan itu tidak ramah lingkungan. Atau, bagaimana soal pengembangan energi ramah lingkungan sebagai alternatif, yang sebenarnya jangan-jangan lebih baik daripada menginvestasikan waktu, tenaga, dan materi ke aktivitas pertambangan.
Bagaimana geopolitik di balik pertambangan ini? Bagaimana perspektif ekonomi di balik industri pertambangan? Atau, apa benar ini adalah cara pemerintah untuk “membungkam” ormas-ormas agar tidak kritis ke penguasa?
Isu sekompleks di atas, bisa kita tanggapi, sesuai dengan kapasitas kita. Hal ini tentu lebih positif ketimbang meramaikan kolom komentar dengan satu dua baris kalimat yang mengambang.
Kita tentu berharap bahwa Muhammadiyah ini organisasi yang selalu dalam gerakan berkemajuan. Artinya, narasi yang kita sampaikan -sebagai warga- pun harus memiliki pertimbangan rasional dan disampaikan sebagaimana mestinya.
Jangan sampai kita terjebak pada atmosfir pertengkaran yang kontraproduktif. Mari tunjukkan bahwa kader-kader Muhammadiyah itu rasional, yang menolak dan menerima sesuatu itu berdasarkan kekuatan pikiran. Harapannya, orang-orang mengenal Muhammadiyah sebagai elemen yang berdialog, bukan berdebat kusir.
Apalagi di media sosial, mari kita ramaikan perdebatan dengan narasi yang berdasar, bukan dengan komentar-komentar singkat yang tanpa arah. Sangat penting untuk memastikan bahwa setiap argumen yang kita sampaikan memiliki landasan yang kuat dan didukung oleh data atau fakta yang relevan. Serta, tidak tertutup pada analisa-analisa lain yang lintas disiplin keilmuan.
Terlebih, rasanya sikap Muhammadiyah terhadap konsensi izin tambang ini pun masih sangat mungkin berubah. Dilansir dari Muhammadiyah.or.id (28/7/2024), Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menjelaskan bahwa ada potensi bahwa nantinya Muhammadiyah akan mengembalikan Izin ini ke pemerintah.
Hal itu akan terjadi jika nanti dalam perjalanannya, tim yang dibentuk menemukan rintangan yang tidak bisa menjadikan tambang ini ramah lingkungan dan berorientasi kesejahteraan rakyat. Agaknya ini adalah poin pentingnya.
Muhammadiyah sendiri telah mengkaji selama lebih dari dua bulan untuk menentukan sikap. Pak Haedar mengakui bahwa itu tidak mudah. Namun hal tersebut adalah bagian tantangan untuk Muhammadiyah yang selama ini telah bergerak di banyak bidang.
Maka, kita lihat saja bagaimana kedepannya. Lebih banyak manfaat atau mudharatnya? Apakah Muhammadiyah mampu mewujudkan tujuannya?
Adapun kepedulian kita, dapat dilakukan dengan cara-cara yang semestinya, rasional, dan tentu menjauhi hal-hal yang kontraproduktif. Mari tunjukkan bahwa, jika PP Muhammadiyah serius mengkaji, kita yang di akar rumput pun demikian. Tarik tambang gagasan, jangan sampai menjadi tarik tambang emosional.
*Penulis adalah Anggota Bidang RPK PC IMM Kota Surabaya dan Ketua Cendekiawan Institute.