Suara Perempuan dalam Bayang-Bayang Patriarki

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Muhammad Habib Muzaki)

 

Definisi perempuan bagi setiap orang pasti berbeda. Dan, di antara banyaknya perempuan di bumi ini kita tidak bisa menggeneralisasi mereka dengan definisi yang sama. Seperti halnya ketika seseorang mengatakan, “perempuan itu ribet”, “perempuan itu lemah”. Padahal kenyataannya tidak semua perempuan seperti itu.

Banyak sekali perempuan-perempuan tangguh di luar sana yang berjuang banting tulang hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Adanya pandangan mengenai laki-laki selalu dinilai superior dibandingkan perempuan, atau yang kita kenal dengan sebutan patriarki kini seringkali diperbincangkan di kalangan perempuan.

Terminologi patriarki berasal dari kata “patriarkat”, yang bermakna struktur penempatan peran laki-laki sebagai pemegang kuasa tunggal, pusat, dan segala-galanya (Sumakud dan Septyana, 2020). Dominasi budaya patriarki yang ada di masyarakat menjadi penyebab munculnya ketidakadilan dan kesenjangan gender yang berdampak dalam berbagai macam aspek kehidupan masyarakat.

Islam pun berbicara terkait hal ini. Sebagaimana tertuang pada surah An-Nisa’ ayat 34 yang artinya “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Islam menganggap laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan. Allah Swt menganugerahkan kekuatan dan kekuasaan yang lebih bagi umat laki-laki untuk membimbing, memimpin, serta memberi pelajaran pada umat Perempuan. Agar senantiasa menjauhi larangan dan taat terhadap kewajiban yang telah diperintahkan oleh Allah Swt.

Mengenai patriarki dan peran wanita dalam Islam, mengatakan bahwa Islam memiliki sifat yang positif sebagai agama yang patriarki, sebab pada dasarnya Islam itu agama yang menyelamatkan serta membebaskan umat perempuan dari kesengsaraan (Annisa, et al., 2023).

Contohnya saat era sebelum datangnya Islam, perempuan tidak hanya dihina dan diremehkan, tetapi juga seringkali mendapatkan penindasan. Perempuan dianggap sebagai pembawa bahaya dan memalukan bagai aib. Sehingga Allah menurunkan surat An-Nisa sebagai bukti betapa Islam memuliakan kaum perempuan.

Namun dalam praktik sehari-hari, berbanding terbalik dengan apa yang semestinya dilakukan. Misalnya dalam urusan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, mencuci, memasak, mengurus dan mendidik anak, semua itu adalah kegiatan yang harus dilakukan perempuan.

Selain itu, perempuan yang sering pulang malam dianggap, “perempuan ga bener”, sedangkan bagi laki-laki itu menjadi hal yang sudah biasa. Senakal-nakalnya laki-laki pasti menginginkan perempuan yang baik untuk dijadikan istri. Sedangkan perempuan yang sudah dicap nakal disebut tidak pantas mendapatkan laki-laki yang baik.

Standar kecantikan perempuan harus putih, tinggi, kurus, dll. Sedangkan perempuan yang mempunyai standar laki-laki idaman dikatakan “perempuan mandang fisik”.

Terlebih dalam kehidupan setelah menikah, seorang perempuan pasti dituntut untuk memilih bekerja atau menjadi ibu rumah tangga. Seakan-akan jika memilih untuk bekerja dibilang melawan kodrat, sedangkan saat memilih menjadi ibu rumah tangga dibilang percuma sekolah tinggi-tinggi cuma dapat ijazah. Tak jarang juga seorang istri yang bisa melakukan keduanya tapi selalu saja dicari celah kesalahannya.

Padahal Nabi Saw. telah mencontohkan sebagaimana ketika Aisyah ra ditanya: “Apa yang dilakukan Nabi di rumah?” Beliau menjawab, “Beliau ikut membantu melaksanakan pekerjaan keluarganya.” (HR. Bukhari). Dalam hadis lain, Aisyah juga mengatakan bahwa Nabi tidak ragu mengerjakan semua jenis pekerjaan rumah tangga. “Nabi Saw. menjahit kainnya, menjahit sepatunya, dan mengerjakan apa yang biasa dikerjakan oleh kaum perempuan di rumah mereka.” (HR. Ahmad).

Insya Allah para pembaca (laki-laki) yang sedang membaca tulisan ini paham dan tidak akan melakukan patriarki sebagaimana Islam mengajarkan dan Nabi Saw. telah mencontohkan.

Menjadi perempuan memang melelahkan dan terlalu banyak tuntutan, belum lagi ada saja yang menjadi bahan pembicaraan. Rasa lelah yang dikeluhkan perempuan bukan berarti dia tidak bersyukur, atau menyerah kemudian pasrah. Perempuan hanya sedang menguatkan dirinya sendiri dan memastikan ada tempat untuk bersandar yang membuat dirinya bangkit dan menjadi perempuan yang tegar.

Perempuan membutuhkan laki-laki yang senantiasa mengerti bagaimana caranya menghormati, menghargai, hingga membantu meringankan beban, serta memberinya perhatian agar perempuan tetap sehat secara fisik maupun mental.

Di negara kita dari tahun ke tahun angka kasus kekerasan gender terus meningkat, meskipun dinamikanya fluktuatif. Komnas Perempuan mencatat 401.975 kasus sepanjang tahun 2023 (DetikNews, 2024). Bentuk kasus yang dilakukan terhadap perempuan mengarah hingga ke pelecehan seksual dan bentuk-bentuk kekerasan lain baik secara verbal maupun fisik.

Sebanyak 73% kasus kekerasan kepada perempuan didominasi oleh KDRT yang akan merujuk pada perceraian tanpa memandang usia pernikahan. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita baik yang sudah menikah ataupun belum, jangan sampai ada kata patriarki dalam rumah tangga.

Kalau pesan dari bapak penghulu, “Berusahalah agar buku nikah ini tidak kembali ke pengadilan agama untuk berpisah, namun kembali ke departemen agama sebagai syarat naik haji bersama”

Masih di suasana Hari Kartini, R.A. Kartini adalah sosok yang sangat hebat dalam memecahkan hierarki gender. Untuk mengurangi segala bentuk ketimpangan gender di masyarakat, ia hadir dengan gerakan feminisme untuk menghapus diskriminasi, ketidakadilan, dan penindasan perempuan.

Gerakan ini bukan semata-mata hanya dilakukan untuk perempuan. Karena erat kaitannya dengan identitas dan maskulinitas laki-laki. Maka dibutuhkan peran laki-laki dan perempuan yang sepadan dalam membawa perubahan sosial untuk merubah sistem dan struktur budaya patriarki di kehidupan masyarakat.


 

*Penulis adalah Anggota Bidang RPK IMM Komisariat Ibnu Rusyd.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *