Bangsa Indonesia memiliki sejarah kelam di bulan September. Hingga saat ini seluruh rakyat Indonesia berharap fenomena itu tak terjadi kedua kali. Gerakan 30 September atau disingkat “G30S” atau “Gestapu” merupakan salah satu pelanggaran HAM yang paling mengena di benak masyarakat.
Tragedi penculikan, penyiksaan, pembunuhan, hingga pemberontakan tentu menjadi sebuah bukti peninggalan dan literatur yang diperuntukkan sebagai edukasi, peringatan, hingga upaya preventif guna mengetahui sejarah pada aktivitas dan dampaknya.
Peristiwa G30S yang diketuai oleh Letnan Kolonel Untung membuat rencana untuk menculik tujuh Jenderal dalam rangka propaganda. Para petinggi militer Angkatan Darat adalah sasaran dari gerakan ini. Mereka adalah Jenderal A.H. Nasution, Letjen A. Yani, Mayjen R. Suprapto, Mayjen M.T. Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Pandjaitan, dan Brigjen Sutoyo Siswomiharjo. Pasukan Cakrabirawa dilibatkan dalam proses penculikan para Jenderal yang dijalankan pada dini hari.
Ramadhan K.H., dan Sugiarta Sriwibawa (1997) menjelaskan bahwasannya di antara para petinggi militer itu ada satu Jenderal yang memiliki sikap religius hingga penghujung hidupnya. Ialah Brigjen D.I Pandjaitan. Sikap religiusnya ditunjukkan dengan aktivitasnya ketika sedang menjalankan masa dinas di Jerman. D.I. Pandjaitan menjabat sebagai asisten atase militer RI memenuhi undangan dari Pendeta De Kleine untuk melakukan khotbah dan ceramah yang beliau sampaikan menggunakan bahasa Jerman.
Di waktu dan tempat yang berlainan, D.I. Pandjaitan juga pernah melakukan ceramah di depan mahasiswa yang tepatnya saat itu berada di Jerman Barat. Tak luput mengenai pembangunan nasional, D.I. Pandjaitan juga pernah menjelaskan hal tersebut kepada seorang rohaniwan Katolik karena hubungannya yang akrab. Begitu pula sikap toleransi yang pernah D.I. Pandjaitan terapkan ketika mengunjungi Jerusalem untuk melakukan ziarah, dan pengalaman tersebut dianggap sang istri sebagai suatu sikap mulia antar umat beragama dalam menjalankan ibadahnya.
Selama masa hidupnya Brigjen D.I. Pandjaitan memang dikenal sebagai sosok yang religius. Hari hari sebelum gugur beliau terlihat gemar membaca buku-buku keagamaan, bahkan sejak dulu buku catatan hariannya terdapat kumpulan doa-doa. Baahkan teman temannya menyebut bahwa D.I. Pandjaitan sebagai seorang pendeta, begitu pula dengan Letjen A. Yani yang pernah mengungkapkan hal tersebut di hadapan presiden Soekarno. Selama menjadi orang tua, Brigjen D.I. Pandjaitan juga terkenal disiplin dalam mengatur waktu anak anaknya dan pernah di suatu hari beliau menegur salah satu putranya seraya menghentikan mobil karena mengetahui putranya belum berdoa saat hendak berangkat sekolah.
Sampai menjelang akhir hayatnya, tepat pada 1 Oktober pagi hari, rumah Brigjen D.I. Pandjaitan mendapat kepungan dan ancaman dari pasukan Cakrabirawa, seisi rumah ketakutan dengan kehadiran pasukan Cakrabirawa yang terus melayangkan tembakan ke penjuru rumah hingga merusak barang barang.
Kala itu Brigjen D.I. Pandjaitan yang berada di lantai atas masih sempat mengenakan pakaian dinasnya beserta tanda pangkat kemudian beliau berdoa, meski dari bawah pasukan Cakrabirawa berteriak seraya mengancam untuk memperingatkan agar segera turun. Setelah berdoa, beliau turun menemui pasukan Cakrabirawa. Ketika berada di halaman depan garasi, Brigjen D.I. Pandjaitan diminta bersiap oleh pasukan Cakrabirawa, dan beliau mengabaikan perintah itu, untuk kedua kalinya beliau berdoa. Pada saat itulah gerombolan pasukan memukul kepala beliau disertai berondongan tembakan yang membuat Brigjen D.I. Pandjaitan seketika jatuh.
Peristiwa ini menjadikan nama D.I. Pandjaitan dikenal sebagai salah satu korban kekejaman antek PKI, demikian pula penyematan sebagai pahlawan revolusi diberikan kepada D.I. Pandjaitan atas peristiwa tersebut. TNI angkatan darat juga menaikkan gelarnya menjadi Mayjen anumerta D.I. Pandjaitan untuk menghormati patriotisme selama menjadi prajurit TNI.
*Penulis adalah Anggota Bidang RPK Koorkom IMM UINSA.