Proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas UU No. 1 Tahun 2015 mengenai Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU berjalan cukup dinamis. Salah satu isu krusial yang memicu perdebatan adalah aturan terkait batas usia minimal pencalonan kepala daerah.
Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 mengatur bahwa batas usia minimal untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur adalah 30 tahun, sementara untuk Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Wali Kota, dan Calon Wakil Wali Kota ditetapkan minimal 25 tahun.
KPU merumuskan aturan teknis tersebut dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU No. 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan KPU No. 3 Tahun 2017 mengenai Pencalonan Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, yang menegaskan bahwa batas usia minimal dihitung sejak penetapan pasangan calon.
Namun, Mahkamah Agung (MA) memberikan interpretasi berbeda terhadap ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU 9/2020 melalui putusan MA No. 23 P/HUM/2024, yang menetapkan bahwa batas usia calon kepala daerah dihitung “sejak pelantikan pasangan calon terpilih.”
Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan No. 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa persyaratan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 merupakan ketentuan yang wajib dipenuhi pada tahap pencalonan dan berakhir pada penetapan calon. Dengan kata lain, syarat usia calon kepala daerah dihitung sejak penetapan calon, bukan saat pelantikan.
Sebagian besar fraksi dalam rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada sepakat mengikuti syarat usia calon kepala daerah sesuai dengan putusan MA No. 23 P/HUM/2024. Hanya Fraksi PDIP yang memilih menggunakan putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 sebagai dasar dalam menetapkan syarat usia calon kepala daerah dalam RUU Pilkada.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ach. Baidowi, menjelaskan alasan Baleg DPR RI memilih putusan Mahkamah Agung (MA) terkait syarat usia calon kepala daerah. Ia menilai bahwa putusan MA lebih spesifik dan jelas dalam mengatur ketentuan tersebut dibandingkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang hanya menolak permohonan tanpa memberikan panduan yang rinci.
Putusan MK Bersifat Final and Binding
Salah satu sifat putusan MK adalah final and binding (mengikat), oleh karena itu putusan MK memiliki kekuatan hukum pada setelah putusan dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Hal tersebut telah diatur dalam Penjelasan Pasal 10 Ayat 1 UU No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi:
“Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).”
Pengertian final dan binding (mengikat) dalam peraturan perundang-undangan saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Menurut KBBI frasa “final” bermakna tahap (babak) terakhir dari rangkaian pemeriksaan. Sedangkan frasa “mengikat” berarti memperkuat atau menahan, mengacu pada perjanjian yang harus dipatuhi atau mengharuskan kedua belah pihak untuk memenuhi komitmen dengan penuh keseriusan.
Ibnu Sina Chandranegara dalam bukunya Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (2021: 82) menjelaskan final dan mengikat memiliki arti yang saling terkait, yang berarti akhir dari suatu proses pemeriksaan, kemudian telah memiliki kekuatan mengeratkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi.
Dapat disimpulkan bahwa istilah “final and binding” merujuk pada putusan akhir dari seluruh proses atau tahapan pemeriksaan dalam suatu kasus atau peristiwa, yang memiliki kekuatan mengikat bagi semua pihak dan tidak dapat dipertentangkan lagi.
Putusan MK dan MA, Mana yang Harus Didahulukan?
Dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan putusan MK bersifat final and binding sebagaimana dalam penjelasan Pasal 10 Ayat 1 UU No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Sedangkan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 menjelaskan bahwa MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (misalnya peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah) terhadap undang-undang. Sebagaimana telah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 3 Tahun 2009).
Selain itu, dalam putusan MK juga berlaku asas erga omnes. Putusan MK tidak hanya mengikat pihak yang mengajukan perkara (interparties) di MK, melainkan juga mengikat semua warga negara seperti halnya undang-undang mengikat secara umum bagi semua warga negara (Putra, 2021).
Bagir Manan menjelaskan erga omnes merupakan putusan yang akibat-akibatnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, jadi ketika peraturan perundang-undangan dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan UUD atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi, maka menjadi batal atau tidak sah untuk setiap orang (Chandranegara, 2021).
Dapat disimpulkan bahwa DPR wajib mengikuti putusan MK, karena lembaga ini adalah satu-satunya yang memiliki kewenangan konstitusional dalam hal tersebut. Putusan MK bersifat final dan mengikat untuk semua pihak, termasuk DPR.
Dalam Putusan MA terkait pengujian peraturan di bawah undang-undang tidak berlaku dalam konteks pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, dalam menentukan syarat usia calon kepala daerah atau ketentuan lain yang ada dalam undang-undang, DPR harus mematuhi putusan MK, bukan MA.
*Penulis adalah Anggota Bidang Ekonomi dan Kewirausahaan PC IMM Kota Surabaya.