Surabaya (26/5) – Instruktur, diharapkan hadir di semua ruang-ruang perkaderan, baik itu formal maupun kultural. Namun kenyataannya, tidak sedikit pula yang hanya hadir di momen perkaderan formal semisal Masa Ta’aruf (Masta), Darul Arqam Dasar (DAD), dsb. Sedangkan di perkaderan kultural, instruktur terkesan lepas tangan.
Sekiranya itu lah salah satu kegelisahan yang melatarbelakangi hadirnya Pelatihan Instruktur Dasar (PID) PC IMM Kota Surabaya 2024. Acara ini pun diikuti oleh 35 peserta yang adalah kader dari berbagai daerah.
Acara yang bertempat di At-Tauhid Tower, UMSurabaya ini berlangsung sejak Rabu hingga Minggu, 22-26 Mei 2024 dan mengangkat tema, “Rekonstruksi Peran Instruktur, Mencapai Peran Adaptif”.
Izza Amalia selaku Master of Training (MOT) menjelaskan bahwa melalui tema ini, ada harapan bahwa instruktur harus memiliki kesadaran akan perannya sebagai role model perkaderan. Sebab selama ini, instruktur kebanyakan hanya ada di perkaderan formal, sehingga kader-kader tidak banyak mengenal lebih dalam akan sosok instruktur.
“Ternyata makin ke sini, juga belum semua, belum semua instruktur itu bisa menjalankan tugasnya, menjalankan fungsi-fungsi instruktur itu sesuai dengan kompetensi. Memang tidak harus sempurna, namun bagaimanapun, instruktur adalah uswatun hasanah,” jelasnya.
Keresahan ini adalah hasil dari pembacaan yang dilakukan oleh Bidang Kader PC IMM Kota Surabaya bersama Korps Instruktur. Beberapa kali diskusi yang dilakukan juga menemukan bahwa kader-kader di akar rumput pun kurang mengenal sosok instrukturnya. Padahal, instruktur diharapkan mampu menjadi uswatun hasanah bagi kader-kader.
Izza menambahkan bahwa uswatun hasanah ini berarti seorang instruktur harus bisa menjadi contoh yang dapat diikuti dalam berbagai aspek, mulai dari pengetahuan, keterampilan, hingga etika, dan moral. Dengan kata lain, instruktur diharapkan mampu menunjukkan perilaku yang dapat menjadi panutan bagi kader-kader.
Jika banyak kader tidak mengenal instrukturnya dengan baik, hal ini tentu saja menghambat proses pembinaan dan pengembangan kader yang optimal. Izza menambahkan, “Instruktur itu kan sebagai influencer IMM kan, dia nge-branding IMM itu bagaimana, dia jadi marketing-nya IMM itu kayak gimana, supaya bisa diterima juga sama teman-teman.”
Dalam rangka itu lah, instruktur yang ingin dicetak oleh PC IMM Kota Surabaya diarahkan untuk memiliki kesadaran bahwa perannya senantiasa dinanti di segala bentuk perkaderan, baik formal maupun kultural.
Perkaderan kultural sendiri adalah proses pembentukan dan pengembangan kader yang berlangsung melalui kegiatan-kegiatan non-formal yang berkaitan dengan keseharian kader. Hal ini mencakup berbagai aktivitas yang membangun rasa kebersamaan, identitas, dan solidaritas antar kader melalui cara-cara yang lebih informal.
Kehadiran instruktur di perkaderan kultural ini lah yang memerlukan paradigma yang adaptif dalam membaca kader. “Dengan keadaan kader yang juga beragam karakter dan memiliki banyak minat, maka adaptif ini bermakna instruktur harus mampu menyesuaikan metode perkaderannya sesuai dengan kebutuhan, minat, dan potensi unik setiap kader,” paparnya.
Izza menjelaskan bahwa hal ini tidak hanya mencakup pengenalan terhadap berbagai karakter yang ada, tetapi juga kemampuan untuk mengakomodasi berbagai minat yang dimiliki oleh para kader tersebut. Oleh karena itu, cara-cara kultural yang adaptif sesuai keragaman kader pun menjadi tantangan sendiri bagi setiap instruktur.
Meski demikian, Izza tak menampik bahwa ada beberapa instruktur yang selama ini telah sesuai tupoksi. Hanya saja, jumlahnya kian berkurang seiring dengan pergantian struktural. Oleh karenanya, PID kali ini juga dalam rangka regenerasi, menciptakan instruktur-instruktur baru sebagai pemegang estafet perkaderan.
“Kita perlu yang memang bisa mengkader. Instruktur yang bisa menurunkan, mewariskan kapasitas, lalu membentuk kader yang kompeten dan siap menghadapi berbagai tantangan di masa depan. PID ada dalam rangka menciptakan instruktur semacam itu,” pungkasnya.
*Penulis adalah Anggota Bidang RPK PC IMM Kota Surabaya dan Ketua Cendekiawan Institute.