Pertanyaan Pasca Parlemen Jalanan

Capture “Peringatan Darurat”, penggalan dari sebuah video lama yang diunggah oleh akun YouTube EAS Indonesia Concept pada 22/10/2022. (Sumber: YouTube EAS Indonesia Concept)

 

Narasi berupa seruan aksi menggema di mana-mana, ke mana-mana. Mulai dari pamflet, cuitan warganet, sekian penjelasan panjang lebar para ahli, dsb berseliweran.

Semua itu memenuhi ruang-ruang publik kita yang berbentuk dunia digital. Ada yang menganggap fenomena itu sebagai hal yang positif, maupun sebaliknya.

Dalam konteks ini, tak sedikit yang menuding bahwa Gen Z sedang fomo. Beberapa bertanya, buat apa turun ke jalan? Sebab nanti ujung-ujungnya sama saja.

Saat aksi, hanya mengedepankan posting di media sosial. Setelahnya, kembali pada rutinitas; memaki-maki kondisi tanpa aksi, malas-malasan, maupun berfoya-foya.

Sekiranya, begitulah percakapan yang saya rangkum dari kawan-kawan sepantaran. Namun apakah benar demikian?

 

Dari Ciutan Digital

Berkenaan dengan ini, IDN Research Institute dalam Indonesia Gen Z Report 2024 menjelaskan bahwa bagi Gen Z, dunia digital itu nyata.

Meminjam ungkapan Ulil Abshar Abdalla (2024), bahwa meskipun mungkin tak sepenuhnya mewakili realitas lapangan, namun media sosial dapat menggambarkan sebagian dari apa yang berlangsung. 

Artinya, unggahan bertajuk “Peringatan Darurat” yang sedang trending belakangan, dapat dimaknai sebagai ungkapan kejenuhan atas kondisi negeri yang sangat kompleks per hari ini.

Dilansir dari CNN Indonesia (21/8/2024), poster “Peringatan Darurat” dengan lambang Garuda Pancasila berlatar biru menggema di media sosial usai Baleg (Badan Legislasi) DPR sepakat mengesahkan RUU Pilkada.

Hemat saya, fenomena ini tak sekadar akibat disahkannya RUU Pilkada yang “menganulir” Putusan MK. Sebab semua ini adalah akumulasi kekesalan rakyat atas berbagai kondisi yang sudah terjadi.

Kekesalan dan kejenuhan itu akhirnya menemukan momentum. Duarrrr, seruan untuk perbaikan negeri melaui aspirasi di jalan-jalan pun mencuat. Berbagai elemen sibuk melakukan konsolidasi untuk meramaikannya.

Ada elemen-elemen yang resah namun dikekang atas nama pengkondisian. Sedang mereka yang masih “merdeka”, sedang kasmaran, merindukan keadilan dan panggung jalanan pun nampaknya akan menjadi pilihan.

 

Menuju Parlemen Jalanan

Meminjam pandangan yang ditulis seorang kawan dalam Parlemen Jalanan! (2020) bahwa aspirasi jalanan seringkali dipandang rendah dibandingkan dengan yang disuarakan di kampus, media massa, atau pertemuan dengan pejabat.

Hal ini karena aspirasi jalanan dianggap mengganggu ketertiban dan sering berujung pada kekerasan. Namun, pandangan merendahkan ini sebenarnya menyembunyikan kecenderungan ideologis yang menciptakan ketidaksetaraan.

Ketidaksetaraan struktural tercipta ketika saluran aspirasi hanya tersedia di tempat-tempat eksklusif seperti kampus dan media. Dalam konteks ini, demonstrasi di jalanan dapat menjadi satu-satunya ruang terbuka bagi semua orang untuk menyuarakan pendapat secara setara.

Namun apakah demo itu efektif? Gerakan mahasiswa 1998 bisa dibilang dapat menjadi contoh meski tetap menyisakan beberapa PR (Hasibuan, 2008).

Contoh lain yang barangkali relevan adalah kemenangan Anies-Sandi pada Pilgub Jakarta 2017. Aksi 212 memiliki peran besar dalam memenangkan pasangan tersebut (Septiana, et al., 2020).

Di sisi lain, ada juga yang akan menebar isu bahwa “demo ini telah ditunggangi”. Hal ini tentu bisa jadi berpeluang terjadi, mengingat terkadang tidak ada bukti konkrit yang dapat diungkap ke publik.

Namun jikalau pola semacam itu dianggap benar, maka tidak melakukan demo pun adalah hasil dari pengkondisian. Artinya, diksi “ditunggangi” pun relevan ketika adalah elemen yang “diam” atas suatu isu.

Jika skenario paling buruk yang dapat kita bayangkan itu nyata adanya, yaitu ada pihak-pihak yang ingin membuat kita diam sementara mereka lebih leluasa bermain-main dengan kuasa. Maka, justru karena itulah kita harus turun ke jalanan!

Andai skenario itu benar adanya, maka kita tidak bisa terus-menerus dibungkam oleh ketidaksetaraan yang diciptakan oleh mereka yang ingin mengendalikan saluran aspirasi.

Bisa jadi, mereka yang memandang rendah suara jalanan ingin kita percaya bahwa aspirasi kita tak layak didengar. Kecuali jika disampaikan di ruang-ruang -yang sebetulnya- dapat dikontrol oleh “mereka”.

Meski demikian, demonstrasi tidak harus menjadi satu-satunya aksi. Kepedulian melalui demonstrasi tentu positif. Peristiwa semacam ini juga akan menunjukkan seberapa besar kekuatan jejaring dan pengorganisasian yang dimiliki oleh mahasiswa.

Namun sekali lagi, jika memang kita peduli, tidak layak jika hanya berhenti di demonstrasi.

 

Memahami Fomo-Demo

Ada tudingan miring bahwa banyak yang sekadar fomo ketika menyuarakan sesuatu melalui media sosial maupun lewat demo. Mereka itu, disebut-sebut hanya haus validasi.

Tudingan semacam itu, sesungguhnya tidak muncul dari ruang hampa. Pun, tidak seratus persen benar. Bagaimana kita memahami fenomena ini?

Seorang psikolog, Albert Bandura dalam (Hawa, 2020) menjelaskan bahwa individu akan belajar melalui pengamatan dan meniru orang lain. Seseorang yang melihat temannya berbicara tentang isu tertentu atau terlibat dalam aksi protes bisa jadi termotivasi untuk melakukan hal yang sama.

Maka hal itu bukan sekadar bentuk fomo, melainkan bagian dari proses pembelajaran sosial, di mana individu merasa terinspirasi dan terdorong untuk ikut ambil bagian dalam suatu gerakan setelah melihat orang lain melakukannya.

Namun kita juga harus memahami bahwa tudingan “ikut-ikutan” adalah otokritik yang tidak bisa diabaikan. Pernahkah kita muak dengan “mereka” yang sok mengkritik negara, tapi malah menjadi elit paling kotor di dalam internal organisasi?

Ada pula individu yang berkoar-koar perubahan. Namun disuruh menulis untuk bersama memantik agitasi saja, malah melahirkan alasan yang berjilid-jilid. Katanya, menulis bukan passion.

Oke, bergeraklah sesuai passion. Namun malah tidak melakukan apapun. Mengedepankan sambat. Merasa berat sekali mengorbankan waktu, tenaga, materi untuk hal-hal baik. Sebab katanya, tidak mengundang atensi dan materi.

Diajak kajian, malas. Diajak membahas gerakan, tidak minat karena isunya tidak viral. Terdepan mengajak merubah negara, tapi merubah diri sendiri saja tidak mau.

Orang-orang seperti itu, ada? Silahkan dijawab sendiri-sendiri. Namun kita tidak bisa terlalu menghakimi. Sebagaimana yang diwariskan Bandura tadi, bahwa semua masih dalam proses belajar, yang entah sampai kapan.

 

Pasca Aksi dan Mahasiswa “Kaset”

Meminjam kritik Gus Dur dalam esai berjudul ‘Islam Kaset’ dan Kebisingannya yang dihimpun pada Tuhan Tidak Perlu Dibela (2018). Maka, kita bisa melihat pacsa demo nanti, siapa yang akan menjadi mahasiswa “kaset”, sekedar bising namun tak bergeming.

Mengubah kondisi negeri, tak bisa hanya melalui demonstrasi. Meski terkadang, demontrasi diperlukan dalam beberapa kondisi. Namun, mengupayakan perubahan adalah kerja-kerja ikhlas dan cerdas yang tentu tidak satu-dua hari.

Bagaimana caranya? Tentu banyak. Adapun salah satu yang dapat kita aminkan ialah, dengan mengupayakannya bersama-sama. Bisa melalui organisasi, komunitas, dsb. Sebuah cara yang juga dipilih oleh Ahmad Dahlan. Sebab dakwah ini, tentu tak bisa sendiri.

Mengapa harus bersama? Sebab masalah yang dihadapi sangatlah kompleks. Masalah multi dimensi yang memerlukan multi solusi. Semua itu, tentu tidak akan bisa jika dirumuskan sendiri.

Perlu bersama, perlu ditata, terorganisir, dan tergabung untuk menjadi sebuah ide dan gerakan besar. Tentu, upaya-upaya itu, per hari ini masih banyak kurangnya.

Sehingga tidak sedikit yang sudah muak dengan hal-hal yang berbau organisasi. Namun sebenarnya kita dapat mengadakan evaluasi atas hal itu.

Aku titipkan Muhammadiyah kepadamu, begitulah kiranya wasiat Ahmad Dahlan. Kini, giliran kita mengurai kompleksitas, mencipta solusinya. Termasuk jika nanti memang akan ada aksi besar, setelahnya kita akan apa?


 

*Penulis adalah Sekretaris Bidang RPK PC IMM Kota Surabaya dan Ketua Cendekiawan Institute.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *