Perspektif Psikologi: Gen Z dan Mental Health

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Muhammad Habib Muzaki)

 

Post millennial atau yang saat ini disebut sebagai Gen Z digunakan untuk merujuk orang-orang yang lahir pada tahun 1997 hingga tahun 2012 (Dimock, 2019). Namun, tidak kah kita bertanya-tanya sejak kapan dan siapa pihak yang menggolongkan orang-orang berdasarkan tahun lahirnya hingga terciptanya stereotip bagi generasi tertentu? Sebenarnya tidak ada aturan baku yang mengatur bagaimana generasi ini dibagi periodenya dan diberi istilah.

Singkatnya, sebutan Gen Z mulai digunakan ketika generasi sebelumnya (millennial) menginjak usia 22 tahun, dimana sudah harus diciptakan istilah untuk orang yang lebih muda dari itu. Titik batas generasi ini bukanlah ilmu pasti. Titik-titik tersebut harus dilihat sebagai alat bantu yang memungkinkan dilakukannya berbagai analisis yang dijelaskan di atas. Namun, batasannya tidak sembarangan. Generasi sering kali dianggap berdasarkan rentang waktu mereka, tetapi sekali lagi tidak ada formula yang disepakati untuk berapa lama rentang waktu itu seharusya (Dimock, 2019).

Ketika mengamati generasi saat ini, generasi sebelumnya membandingkan ingatan yang bias tentang masa lalu, menggunakan diri mereka saat ini sebagai representasi dari diri mereka di masa lalu (Protzko & Schooler, 2019), sehingga wajar apabila mereka menganggap bahwa generasi masa kini mengalami penurunan. Generasi yang lebih tua mungkin menyebut fakta bahwa Gen Z adalah generasi yang paling tertekan dan cemas sebagai tanda kurangnya ketahanan mereka (Bethune, 2019). Kesadaran akan masalah kesehatan mental telah meningkat, sehingga sesuatu yang tadinya diabaikan kini dianggap sebagai masalah.

Adapun beberapa permasalahan utama yang dihadapi Generasi Z yaitu sering kali melakukan self-diagnose kepada dirinya sendiri. Ramainya masyarakat yang membuat konten mengenai kesehatan mental memang memberikan dampak positif pada kenaikan kepedulian terhadap kesehatan mental. Sebagai contoh, pernahkah kalian mendengar istilah OCD? Bipolar? Atau depresi? Istilah tersebut adalah gangguan mental yang perlu diganosis mendalam oleh psikolog atau psikiater. Sedangkan maraknya informasi mengenai istilah-istilah gangguan mental bisa menjadi bumerang dengan memperbesar resiko self-diganose dan mis informasi.

Jika memang dirasa mengalami kecenderungan gangguan mental seperti yang disebutkan diatas segera cari bantuan dari profesional. Maraknya informasi-informasi tersebut tak lepas dari peran kemajuan teknologi yakni media sosial, media sosial dengan akses terbuka terhadap berbagai hal dapat memicu hentakan berita negatif, rasa takut ketinggalan, juga rasa malu karena gagal memenuhi standar media sosial.

Walaupun terdapat banyak manfaat darinya, media sosial merupakan pedang bermata dua karena dapat menciptakan tekanan, ketidaknyamanan, perasaan terisolasi dan juga kesepian. Gen Z memiliki attention span yang lebih pendek dibandingkan generasi sebelumnya, namun generasi sebelumnya mungkin hanya bisa berfokus pada satu hal dalam satu waktu, dibandingkan Gen Z yang mungkin melakukan setidaknya dua hal sekaligus (Uche, 2023).

Sebanyak 55% Gen Z berpendapat bahwa media sosial memberikan dampak positif yang mendukung kehidupan mereka. Namun sisi buruknya adalah 45% lainnya mengatakan sebaliknya, dan hampir dua dari lima (38%) melaporkan bahwa mereka merasa buruk terhadap diri mereka sendiri akibat penggunaan media sosial (American Psychological Association, 2018).

Dalam penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Generasi Z memiliki berbagai polemik pada kehidupan dan sering kali dibanding-bandingkan dengan generasi yang sebelum-belumnya hal itu pastinya akan berdampak dalam kestabilan mental yang dimiliki oleh generasi Z, maka dari itu semua orang terutama Generasi Z harus mengetahui akan pentingnya menjaga kesehatan mental (awareness) yang kita miliki.

Adapun beberapa upaya untuk menjaga kestabilan mental diantarannya bisa memulai atau mengenal dekat dengan alam ketika lebih banyak terhubung dengan alam kita dapat memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, kemampuan vitalitas yang baik, serta emosi negatif yang lebih rendah. Selain itu belajarlah untuk memahami dan mengelola perasaan, terima dan validasi apapun perasaan yang sedang dialami.

Meningkatkan rasa ingin tahu dan berpikiran terbuka terhadap pengalaman baru, dari hal ini kita bisa saja menemukan tempat baru yang ternyata disukai, bakat yang sebelumnya tidak disadari, atau bertemu dengan orang baru, dan yang tak kalah penting yakni menerapkan pola hidup sehat mulai menjaga pola makan, pola tidur, dan rutin berolahraga (ketika berolahraga, tubuh melepaskan hormon endorfin yang dapat meningkatkan suasana hati).


 

*Penulis adalah Ketua Bidang Organisasi IMM Komisariat Allende Periode 2022-2023.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *