Pernahkah kalian menunda pekerjaan hingga akhirnya pekerjaan jadi menumpuk, atau melalaikan tugas hingga deadline mendekat? Jika pernah apa yang biasanya dilakukan? Kebut-kebutan mengejar deadline atau kembali menimbun hingga bertemu deadline berikutnya.
Perilaku untuk terus menerus menunda suatu pekerjaan sering disebut dengan prokrastinasi. Orang yang melakukan prokrastinasi sering disebut dengan prokrastinator. Sedangkan penundaan pada tugas sekolah atau kuliah disebut dengan prokrastinasi akademik.
Dewasa kini, banyak faktor yang membuat seorang individu melakukan penundaan dalam menyelesaikan pekerjaan, salah satunya karena semakin mudahnya percepatan teknologi. Tanpa disadari, menunda pekerjaan kerap dilakukan oleh kebanyakan orang sehingga hal tersebut menjadi lumrah bagi sebagian individu.
Menurut Ferrari (2004) ciri-ciri prokrastinasi akademik adalah penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan kerja pada tugas yang dihadapi, keterlambatan dalam mengerjakan tugas, kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual dan melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan dari pada melakukan tugas yang harus dikerjakan.
Padahal ketika satu pekerjaan ditunda, maka akan menyebabkan pekerjaan yang lain akan menumpuk dan tentunya menjadi beban tersendiri bagi seseorang. Setiap hambatan dan kesulitan yang ada tentunya harus segera dihadapi dan diatasi.
Kemampuan individu dalam menghadapi hambatan dan mengubahnya menjadi peluang ini disebut dengan adversity quotient. Setiap individu memiliki derajat adversity quotient yang berbeda-beda, semakin tinggi tingkat adversity quotient seseorang, maka semakin besar kemungkinan orang tersebut untuk bersikap optimis, dan inovatif dalam menghadapi hambatanhambatan.
Sebaliknya, semakin rendah tingkat adversity quotient seseorang semakin mudah seseorang untuk menyerah, menghindari tantangan dan mengalami stress (Stoltz, 2000: 9-25).
Adversity quotient pertama kali digaungkan oleh Paul G. Stolz guna menjembatani antara kecerdasan intelektual (IQ) dengan kecerdasan emosional (EQ). Baginya, meskipun seseorang IQ dan EQ yang baik namun tidak mempunyai daya juang yang tinggi dan kemampuan merespons kesulitan yang baik dalam dirinya, maka kedua hal tersebut akan menjadi sia-sia saja.
Dengan adversity quotient, seseorang dapat mengubah hambatan menjadi peluang. Kecerdasan ini merupakan penentu seberapa jauh individu mampu bertahan dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan (Stoltz, 2000).
Stoltz membagi manusia menjadi tiga kategori yaitu, quitters, campers, dan climbers. Pertama, the quitter merupakan sekelompok orang yang melarikan diri dari tantangan, Individu seperti ini memiliki daya juang yang rendah dimana seseorang cenderung menghindari tantangan dan tidak bisa diandalkan.
Kedua, the camper diibaratkan sebagai kelompok yang sedang dalam perjalanan naik gunung namun berhenti di tengah jalan. Individu dalam tipe ini memiliki daya juang sedang, individu dalam tipe ini memilih jalan aman daripada menerima resiko.
Terakhir adalah the climbers merupakan sekelompok orang yang selalu menghadapi tantangan. Individu pada tipe ini memiliki daya juang yang tinggi, dimana seseorang mampu menerima resiko dan mampu menaklukkan tantangan.
Well, buat kalian kaum mendang-mending yang katanya golongan orang-orang yang senang membandingkan sesuatu dengan rasional, jangan mau jadi generasi prokastinator, dengan sering menumpuk tugas yang suatu saat akan jadi boomerang buat diri sendiri.
Lebih baik membuat skala prioritas guna memudahkan dalam menyelesaikan tugas. Karena tanpa disadari, dampak dari menunda pekerjaan juga dapat menimbulkan stress dan beban pikiran loh. Jadi mari lawan perilaku menunda pekerjaan. Dalam menghadapi tantangan tersebut kamu masuk tipe yang mana? Semoga kalian masuk dalam tipe climbers ya, yakinkan diri bahwa kalian punya daya juang yang tinggi dan hanya kalian sendiri yang bisa menaklukkan kemalasan pada diri sendiri.
*Penulis adalah Ketua Bidang Kesehatan PC IMM Kota Surabaya.