Oleh: Rafif Burhanudin Muhammad, Ketua KM3 PC IMM Kota Surabaya
Surabaya – Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan kalau pengajaran ideologi di Ikatan kita semakin mengalami penurunan. Apa yang kita pelajari tidak lebih hanya pengajaran normatif tanpa mampu dibawa ke ranah filosofis, kadang juga sulit untuk terintegrasi-terinterkoneksi dalam realitas kehidupan. Ideologi menjadi sesuatu yang terasing dan tak terhayati bagi seorang kader.
Ada semacam kegelisahan, semisal “apakah bisa kiranya kajian ideologi kita setiap tahun semakin berkembang dan tidak diulang itu-itu saja?” dan “apakah bisa kiranya kajian ideologi kita mampu mencapai titik bahasan lebih dalam ke ranah yang lebih filosofis?”.
Dua pertanyaan inilah yang kiranya penulis coba uraikan dan jawab dengan dua jalan alternatif: Penjenjangan dan Pengilmuan ideologi.
Perlunya Penjenjangan dalam Pengajaran Ideologi
Umumnya, disadari atau tidak, kajian ideologisasi kita tersendat. Setiap tahunnya, dari kita kader dasar (tahun pertama) sampai menjabat di pimpinan komisariat (tahun ketiga) kajian ideologi berputar-putar hanya membahas dasar-dasar saja. “Apa itu trikom, trilogi, enam penegasan dll. Setiap tahun diulang itu lagi dan lagi.
Oke, barangkali itu penting bagi kader dasar, tapi tidak layak jika diulang lagi bagi level pimpinan. Sewajarnya ketika bertambahnya tahun di IMM, maka semestinya kajian kita sampai pada taraf pengkajian yang lebih dalam.
Kita tidak lagi membahas apa itu IMM, siapa pendiri IMM, apa trikom trilogi.
Tapi kita perlu membahas misalnya, bagaimana IMM mengembangkan ideologinya menjadi bangunan ilmu sekaligus menjadi worldview (cara pandang) dalam perspektif filsafat ilmu? apa yang melatarbelakangi pemikiran pendiri IMM kita dan tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, apa corak pemikiran mereka? Liberal? Transformatif? Islamisasi? Neo-modernis? Bagaimana trikom dan trilogi dapat menjadi sebuah epistemologis bagi kader? dst.
Kenapa kajian kita tidak mampu sampai taraf ini?
Singkatnya, karena tidak adanya penjenjangan kajian di IMM. Timbulnya masalah ini dikarenakan kadangkala pimpinan dalam melakukan kajian terlalu menitikberatkan “jikalau dilakukan kajian yang berat apakah kader yang baru bisa menerima?” Oke bagus, namun kiranya lupa kalau diulang lagi kajian dasar yang sama sebagaimana tahun lalu, apakah efektif untuk jenjang kader yag lebih atas?
Analogi sederhananya, apakah efektif siswa yang sudah mengenyam materi di kelas 1 ketika ia kelas 3 materinya sama saja dan tetap diulang? Bukankah semestinya kelas 3 diberikan porsi yang lebih dalam? Kiranya begitulah analogi sederhana perkaderan kita.
Kita akui, sedari awal memang kita tidak terbiasa dengan kajian penjenjangan. kita belum memiliki contoh bagaimana harus memulai penjenjangan dan berkelanjutan.
Di akar rumput kajian kita masih terkesan tematik, tidak runtut sistematis, memang menarik mengkaji sesui dengan konteks tertentu yang sedang hype. Namun sebagai internalisasi yang matang harus ada kajian secara runtut. Oleh karena itu, penjenjangan menjadi sesuatu yang tidak bisa dielakkan.
Meski demikian, ada beberapa corak kajian berjenjang yang mesti kita apresiasi di akar rumput komisariat kita, dan bisa kita tiru. Misalnya di Komisariat Al-Faruq dengan Kuffah Institute-nya mengupas satu buku mengenai filsafat islam kontemporer berjudul Misykat. Lalu di Komisariat Al-Qossam, Ruang Dialektika yang mengkaji rutin tiap pekan buku Filsafat Modern Budi Hardiman.
Contoh tersebut adalah satu langkah yang bagus. Tapi ini masih satu level. Kiranya kita harap kedepannya mereka memberi kelas lanjutan bagi yang sudah khatam buku di fase awal, akan diadakan kajian buku next-levelnya sebagai fase lanjutan.
Kiranya ini bisa diterapkan dalam pembelajaran penjenjangan ideologi kita. Ambillah misal, kader dasar wajib tuntas mengkaji ideologi dasar, nanti ketika lanjut di jenjang ‘kader tengah’ dan ‘pimpinan’ wajib menaikkan kajiannya ke buku-buku semisal Manifesto Gerakan Intelektual Profetik, IMM Autentik. Nanti ketika jenjang Koorkom maka akan dinaikkan kajiannya semisal buku-buku Islam sebagai Ilmunya Pak Kuntowijoyo, Islam Transformatif-nya Kang Moeslim. Pun di Cabang, dilanjut DPD harus ada penguasaan yang lebih dalam lagi.
Inilah penjenjangan. Sehingga pemahaman kader menjadi lebih mengakar karena dipupuk sedari dasar dan dijaga supaya tumbuh dalam track yang berjenjang.
لَتَرۡكَبُنَّ طَبَقًا عَنۡ طَبَقٍؕ
sungguh dalam kehidupan akan kamu jalani tingkat demi tingkat (berjenjang). (Al-Insyiqaq 19).
Dampak positif dari adanya penjenjangan ini adalah tatkala kita melihat seorang kader maka kita melihatnya dalam dua hal sekaligus.
Dilihat dari jenjang mana dia dalam ‘struktural’, sekaligus sudah sejauh mana jenjang ‘kajian’nya. Karena konsekuensi jenjang strukturalnya juga berarti menunjukkan kualitas kajiannya.
Setelah kita pemetaan terjadi, maka standarisasi kualitas kajian tiap jenjangnya dapat dilihat dengan mudah. Dan dengan ini pengembangan keilmuan menjadi mungkin.
Pengilmuan Ideologi
Ada semacam keterpanggilan untuk menjadikan ideologi kita menjadi ilmu. Penulis terinspirasi dari gagasan pemikiran Kuntowijoyo, di mana beliau membagi tahapan kesadaran umat menjadi tiga periode: mitos, ideologi dan ilmu.
Singkatnya, pada periode mitos, kepercayaan masih bersifat mistis dan naif. Lalu berkembang ke ideologi, di mana terjadi kesadaran kolektif, kesadaran bersama untuk bergerak, namun masih bersifat ide-ide sebuah tatanan ideologi dan belum bersifat ilmiah. Dan terakhir puncaknya adalah periode ilmu, di mana ilmu yang empiris, rasional menjadi peranan utama dalam menafsirkan realitas yang terjadi. (Kuntowojoyo, 2004)
Jika dikontekskan ke ranah IMM, ternyata kita dapat bahwa kita masih di fase kedua, dan belum terlihat upaya ke fase ketiga. Kiranya, ketika IMM kehilangan relevansinya bagi realitas kehidupan hari ini adalah karena kita tidak bisa membawa ideologi kita ke ranah objektif. Dan untuk membawa ke ranah umum supaya bisa membumi perlu ditarik dengan pendekatan ilmu.
Ideologi adalah bahan baku yang perlu diolah supaya bisa terasa manfaatnya. Semisal bahan dapur, ideologi adalah sayur mayur, kentang, beras, semua itu perlu diolah supaya menjadi bentuk baru yaitu berupa masakan yang bisa dicicipi. Bukankah dari bahan dasar yang sama itu, nantinya ketika diolah menjadi hidangan masakan di setiap tempat, di kurun waktu berbeda dapat bervariasi dan selalu muncul resep baru?
Inilah upaya merelevankan ideologi IMM agar mampu bersanding di tiap konteks, zaman, individu, kelompok yakni dengan jalur pendekatan ilmu. Ideologi itu perlu direlevankan dengan ditarik, dibahasakan, dikaji dengan ilmu.
Maka terobosan-terobosan baru sangat dibutuhkan. Misalnya, bagaimana kaderisasi IMM dilihat dari kacamata ilmu pendidikan. Atau pengembangan pemberdayaan sosial di IMM dianalisa terlebih dahulu dengan pendekatan sosiologis. Juga menarik jika bidang Tabligh IMM yang religius itu ketika berdakwah menyiapkan pemahaman muballighnya dengan ilmu-ilmu antropologi budaya, fenomenologi dan filsafat sosial, dst.
Namun untuk menembus itu semua ada satu syarat yang harus dipenuhi. Perlu ada upaya mengkaji ideologi IMM ke ranah pemikiran.
Mengupas pertanyaan yang lebih mendalam, seperti bagaimana menempatkan arti antara kecendekiawanan atau intelektual. Kenapa memakai istilah religiusitas bukan spiritualitas atau Alim misalnya. Kemana dan di mana arah pemikiran Muhammadiyah? Kenapa kita memakai semangat modernis? Bagaimana pengilmuan IMM dalam upaya ekologi? Di ideologi bagian mana IMM lebih mementingkan gerak politik struktural ketimbang pemberdayaan kultural?
Pertanyaan ini tentunya harus dikupas hingga ranah pemikiran. Dalam artian, ideologi yang beku ketika masuk ke ranah pemikiran dapat supaya menjadi cair sehingga dapat dibahasakan dalam relevansi zaman.
Taraf kajian ini tentunya untuk mereka yang dalam penjenjangan di fase Koorkom dan Cabang, yang sudah menguasai dasar-dasar dan mesti mampu mengupas ideologi ke ranah konteks. Selain itu juga karena mereka adalah sarjana yang sudah memiliki spesialis masing-masing. Pun juga sudah dipetakan ke pembagian bidang yang dirinya sudah kompeten di dalamnya. Sehingga mengarahkan ideologi ke ilmu menjadi mungkin.
Terakhir, Namun ini masihlah dua tinjauan singkat, mudah-mudahan Allah memberi kesempatan, untuk kami lanjutkan gambaran besar penjenjangan dan pengilmuan ini, dari konsep dan realisasi dalam pergerakan di kemudian hari, insyaAllah
Membangun iklim ilmu di Ikatan memerlukan daya pikir dan kesadaran bersama untuk mewujudkannya. Setidaknya cita-cita di mars yang kita nyanyikan setiap kegiatan itu tidak pudar menyemangati kita,
Kitalah cendekiawan berpribadi
Semoga Berkah Rahmat Ilahi melimpahi perjuangan kami. (*)