Oleh: Muhammad Zahid An Naufal – Ketua Bidang Dakwah KM3 Surabaya
Surabaya – Agaknya selalu membosankan jika kita menyimak jadwal kajian para mahasiswa tiap petang hingga tengah malamnya. Kalau tidak internalisasi ideologi organisasinya ya seputar filsafat. Padahal jurusan yang diambil bermacam-macam, seperti ilmu ekonomi, hukum pidana, pendidikan, ilmu komunikasi atau bahkan fisika dan ilmu eksak lainnya yang jelas-jelas didepan mata tidak ada kaitannya.
Kalau internalisasi organisasi it’s okay, karena mungkin tiap individunya memiliki latar belakang yang linier sehingga mendorong atau menggairahkanya untuk ikut organisasi. Sedangkan filsafat? kenapa entitas ini seperti memiliki ruang khusus di hati universitas?
Pada suatu waktu, ketika penulis menjadi panitia ospek dan ada hal yang penting sehingga harus melakukan dialog dengan dosen, beliau menyampaikan untuk buat acara sedemikian memorable yang linier dengan jurusannya. Jangan filsafat! Sampai beliau anti sekali dengan filsafat yang membuat kami tersenyum tipis mengira mungkin ada yang lucu disana.
Awalnya penulis skeptis terhadap filsafat itu sendiri. Macam-macam alasannya, seperti konon kalau tidak memiliki dasar agama yang kuat bisa menjadi sesat, tidak terpakai di dunia kerja, atau bahkan yang paling sering dibilang membuang waktu dan sumber daya kognitif. Namun sebagai pemeluk agama di Indonesia, rasa-rasanya ada dorongan kecil yang mengaharuskan untuk memulai menyentuh filsafat.
Alasannya, terkini di 2025 banyak sekali forum-forum kajian berbentuk majelisan (khususnya Islam) ataupun berbentuk artikel media massa internasional yang memiliki intensi untuk memberikan dogma dan brainwash yang daripadanya hanya dapat diambil hoax-nya saja. Sehingga kebenaran informasi yang kita harapkan menjadi sulit ter-filter, karena kebenaran tidak punya suara, semuanya bercampur menjadi satu.
Framework Berpikir
Lalu apa kaitannya dengan sekularisasi ilmu? Ternyata filsafat mendorong untuk terciptanya framework berpikir yang runtut dan matang untuk menjaga otonomi sebuah ilmu pengetahuan sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. Sehingga pada basisnya, filsafat tidak menerima mentah-mentah dogma yang ada untuk menjadi sebuah nilai. Melainkan mepertimbangkan seluruh aspek untuk mencapai maslahat yang ingin dicapai.
Dengan ontologi-nya (eksistensi), Epistemologi-nya (asal-usul), dan aksiologi-nya (nilai-nilai dan norma) filsafat mendorong adanya objektivasi terhadap realita yang ada. Ini sangat mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan.
Sekularisasi ilmu hadir karena fakta kelam yang diterima oleh orang Barat menjadi umat Nasrani yang tidak merdeka atas pikiran mereka sendiri. Pemikir-pemikir luar biasa itu dibunuhi karena tidak sesuai dengan ajaran gereja. Sehingga peristiwa terjadinya sekularisasi karena agama dianggap menghambat majunya ilmu pengetahuan, agama diletakkan pada ranah privasi.
Maka dalam konteks ini, menjadi sekuler adalah pilihan yang tepat karena agama-jangankan mengapresiasi, menganggapnya saja tidak, bahkan mengancam nyawa penemu-penemu dan para pembelajarnya. Melalui beberapa pemikiran seperti rasionalisme, empirisme, dan positivism. Di titik munculnya positivisme-lah sekularisasi ilmu ini hadir pada peradaban Barat. Sehingga puncak peradaban Barat diperoleh ketika terbebas dari belenggu gereja kala itu.
Ilmu Pengetahuan
Namun apakah semua agama demikian? Kita coba melihat Islam sebagai pembandingnya. Islam memandang ilmu sebagai sesuatu yang erat dengan perjalanan spiritual seorang hamba. Sederhananya, tidurnya seorang ahli ibadah dengan tidurnya seorang ahli ilmu dibedakan derajatnya.
Ilmu menjadi entitas yang penting untuk selalu dipegang sebelum melakukan sesuatu. Ketika ilmu tersebut telah ditemukan, penganutnya didorong untuk bertanya dan berguru langsung kepada ahlinya, ketika ilmu tersebut belum ditemukan, wajib bagi penganutnya untuk mencari keabsahannya dengan senantiasa bereksperimen, berpikir, dan merenung.
Segenap apresiasi terhadap pembelajar juga diberikan. dijadikan nilai ibadah, dimudahkan jalannya menuju surga, ketika ilmu diberikan untuk memudahkan urusan orang lain, janji dimudahkan pula urusannya. Semuanya sudah ditulis dalam wahyu dan disampaikan kepada pembawa ajarannya, para nabi. Islam juga sebenarnya tidak mengenal dikotomisasi ilmu; ilmu dunia dan ilmu akhirat.
Namun dalam beberapa kisah terdahulu mungkin mengandung makna mendalam untuk mendorong untuk melibatkan Tuhan disetiap lini kehidupan dan pekerjaan para penganutnya. Sehingga bisa dipastikan bahwa paham sekuler dengan menghilangkan makna agama dalam berkembangnya ilmu pengetahuan tidak cocok dengan Islam yang begitu mensakralkan ilmu sebagai nilai yang harus ada dalam kehidupan para penganutnya.
Intinya, jika ditanya apakah ada sekularisasi ilmu di perguruan tinggi? Bisa jadi ada, karena jurusan-jurusan sains dan sosial tidak lagi menjadikan agama sebagai nilai yang berkaitan dengan subjek pembelajarannya atau justru sebaliknya. Sehingga lebih banyak menggunakan teori-teori oleh para penemu sekuler terdahulu daripada mengaitkannya dengan agama.
Darimana datangnya? Penulis menduga bisa jadi dari dosen yang tidak berlatar belakang agama yang baik atau bahkan dari pemerintahan yang mulai membuat departemen kementerian agama yang terpisah dan tidak menerapkan sistem yang berbasis agama. Hanyalah sebuah dugaan yang kemungkinan lainnya bisa jadi juga terjadi di realita kehidupan kita.
Wujud Pergerakan
Jika dikontekstualisasikan pada IMM saat ini, mungkin secara sadar kita mengglorifikasikan trilogi dan trikomnya sebagai wujud pergerakannya. Namun sadarkah kita, ini bisa saja menjadi bentuk sekularisasi ilmu dalam sebuah nafas gerakan. Padahal IMM membawa nama Islam sebagai branding organisasinya.
Bagaimana mungkin organisasi Islam menjadikan agamanya sebagai landasan gerakan tetapi memisahkannya dari kehidupan yang mengusahakan pada pengembangan sumber daya kognitif dan hubungan antar manusia.
Sebagai kaki tangan pergerakan Muhamadiyyah, IMM justru seakan-akan menanggalkan budaya puritan sebagai gagasan Muhamadiyyah selama ini dengan membawa terminogi tajdid dalam dakwahnya, malah kesannya terlihat hanya obsesi terhadap pemikiran dari semenanjung Eropa untuk mencapai sebuah predikat sebagai Islam kebarat-baratan.
Jika menilik pada tujuannya, “Terbentuknya akademisi Islam berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhamadiyyah” yang sangat religius ini, menimbulkan beberapa pertanyaan di hati penulisdalam 2 trikom dan trilogi yang tidak melibatkan agama itu.
– Kemana peran agama untuk bertanggung jawab terhadap inteletualitas dan kemahasiswaan itu?
– Kemana peran agama untuk bertanggung jawab terhadap kemasyarakatan dan humanitas itu?
Yang lebih spesialnya lagi, dalam satu perkaderan yang diikuti penulis, satu dari sebagian besar yang ada, mengatakan demikian, “ada tiga ya untuk mewadahi yang ingin ke agama ya ke agama, yang ingin ke bermasyarakat ya bermasyarakat” dan seterusnya. Yang membuat hati ini semakin yakin mengapa tulisan ini harus dikirimkan; Adanya sekularisasi ilmu di IMM. (*)