“Apa guna punya ilmu tinggi, kalau hanya untuk mengibuli, apa guna banyak baca buku, kalau mulut kau bungkam melulu.”
Begitulah sepenggal lirik dari lagu Apa Guna. Lagu yang berasal dari puisi ciptaan Wiji Thukul, dan diadaptasi menjadi lagu yang dibawakan oleh Fajar Merah.
Tampaknya sepenggal lirik lagu di atas, menjadi tamparan keras bagi para oknum kampus yang menjadi pemuas nafsu gelar akademik dari aktor politik.
Sungguh naas, esensi perguruan tinggi yang digadang-gadang sebagai labolatorium pendidikan hanya menjadi kamar pemuas nafsu para politisi yang ingin mendapatkan gelar yang instan.
Cita-cita luhur pemuda-pemuda di Indonesia seakan luluh-lantah menatap universitas yang digadang-gadang sebagai katalisator untuk mewujudkan cita-cita nan mulia. Namun, cita-cita mulia itu hanya seperti mengharapkan kesunyian malam di tengah hingar bingar kerasnya jeritan rakyat tertindas.
Bagaimana tidak, kampus yang selama ini menjadi pemuas cita-cita pemuda yang ingin menggapai mimpinya, seakan menghianati kerja keras pemuda yang memperoleh gelar pendidikan demi mengharumkan insan yang dicintainya dan bangsa yang didiaminya.
Dalam situasi kontemporer ini, kita telah ditendang dengan ramainya pemberitaan mengenai Ketua Partai Golkar, Bahlil Lahadalia yang menjalani sidang doktoral untuk memperoleh gelar akademik.
Mengejutkan sekali, kampus yang dipercaya memiliki integritas tinggi dan memiliki banyak peminat, malah seakan ciut mengahadapi seorang aktor politik yang tidak diketahui orientasi kepakaran akademiknya.
Bahkan, perlu dipertanyakan, apakah masih layak kampus tersebut dinilai menjadi kampus terbaik? Kampus Kuning, secara khusus Universitas Indonesia (UI), ternyata kampus favorit siswa-siswi nusantara dan pernah dinobatkan sebagai salah satu kampus terbaik di dunia.
Namun kini menjadi bilik yang indah bagi Bahlil untuk memuaskan nafsu gelar akademiknya. Oh, kecewa, mungkin kalian juga merasakan hal ini. Kampus yang selama ini menjadi inkubator integritas dan inkubator intelektual kini mengalami distorsi kualitas.
Di sini, penulis bukan untuk menjelekkan kampus kuning, namun mengkritik akan keputusannya mememberikan gelar secara instan dan memberikan predikat cumlaude Bahlil usai menjalani sidang doktoral, 16 Oktober 2024 silam.
Setelah keputusan untuk memberikan gelar doktoral, tak berselang lama, hujan kritikan menyerang tajam kepada civitas akademika UI khususnya pada pembimbing Bahlil. Awalnya, UI menganggap sidang doktoral bahlil, sesuai dengan peraturan Rektor UI Nomor 16 Tahun 2016 tentang pennyelenggaraan program doktor.
Namun, setelah gonjang-ganjing yang menyebar luas di khalayak, pihak UI akhirnya menangguhkan gelar doktoral (S3) yang disampaikan oleh pihak Ketua Majelis Wali Amanat UI, K.H Yahya Cholil Staquf.
Pasca adanya kejadian itu, UI meminta maaf atas tindakan yang dilakukannya. Dan, pihak UI akan melakukan evaluasi pada administasi penyelenggaraan Program Doktoral (S3) guna menjaga kualitas dan integritas kampus kuning.
Sungguh, polemik yang memalukan bagi benak kaum akademisi khususnya mahasiswa yang sedang menjalani proses penggemblengan pendidikan. Penulis, juga sebagai mahasiswa mengalami kekecewaan yang cukup mendalam.
Esensi Tri Dharma Perguruan Tinggi telah dihianati oleh oknum kampus yang memanfaatkan gelar akademiknya untuk memuluskan suatu kepentingan.
Maka dalam konteks ini, kita memerlukan suatu refleksi kolektif, untuk menjaga integritas universitas, yang telah memiliki akreditasi tinggi maupun universitas yang masih dalam tahap mengejar akreditasinya.
Perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi teladan bagi anak bangsa, kurang etis jika diciderai dengan aktifitas yang melanggar etika dan moral akademis.
Etika dan moral, hemat penulis perlu untuk di aktualisasikan bagi civitas akademika perguruan tinggi. Bukan hanya mahasiswa yang hanya dituntut untuk bermoral dan beretika, terkadang tindakan amoral yang dilakukan mahasiswa tak terlepas dari pemantik berupa kebijakan-kebijakan para civitas akademika yang menyengsarakan mahasiswanya sendiri.
Terbukti dengan adanya kampus-kampus memanfaatkan eksistensinya untuk kepentingan komersialisasi, salah satunya studi kasus di Universitas Negeri Makassar (UNM), ratusan mahasiswanya melakukan unjuk rasa atas dugaan jual-beli almamater yang dilakukan oleh pihak kampus (Inikata.co.id, 11/7/2024).
Tidak menutup kemungkinan efek domino akan timbul, bila perguruan tinggi tidak secara penuh menerapkan etika dan moral. Dalam kajian ini, etika merupakan studi tentang benar dan salah, serta tidak menegasikan kewajiban moral dan hak.
Etika secara ilmu, meneliti secara bagaimana dan kenapa manusia harus patuh pada keyakinan moral tertentu, dan bagaimana kita harus bertanggung jawab saat menghadapi moral yang saling bertentangan (Suseno, 1987).
Sedangkan, moral ialah studi tentang baik dan buruk yang dianggap sesuai dengan norma yang relevan. Sejalan dengan itu, moral selinear dengan moralitas, secara artian moralitas ini berkaitan dengan perilaku tindakan individu terhadap orang lain.
Tindakan tegas, harusnya perlu untuk dilakuakan pada civitas akademika yang menyalahgunakan jabatan, agar meminimalisir aksi-aksi yang cenderung mencederai integritas perguruan tinggi seperti studi kasus yang penulis jabarkan sebelumnya.
Sebagai mahasiswa dan pelajar yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, perlu untuk melakukan otokritik dengan melakukan agitasi dan propaganda pada perguruan tinggi di Indonesia.
Melalui cara dengan tidak memprioritaskan nama besar kampus dan bersikap egaliter pada setiap instansi pendidikan di Indonesia.
Penulis percaya dengan cara itu, mereka, para civitas akademika akan melakukan refleksi kolektif untuk mengembalikan integrasi kampus yang sebelumya diciderai oleh oknum kampus yang memuaskan nafsu para kapaitalis atau secara khusus aktor politik yang secara instan ingin mendapatkan gelar.
Dengan cara seperti itu, memungkinkan kita memeberikan kebermanfaatan kolektif, agar kampus-kampus yang selama ini memiliki integritas bagus, namun masih minim eksistensi bisa terjangkau informasi bagi kalangan pelajar yang ingin melanjutkan jenjang pendidikannya.
Secara spekulatif, pemerataan ekonomi akan terwujud karena kampus yang minim memiliki eksistensi menjadi sasaran pagi pelajar dengan biaya kampus yang mungkin terjangkau.
Sebab mau sampai kapan kampus dimanfaatkan oleh segelinir kepentingan golongan? Sebagai insan yang merdeka, sewajibnya kita memiliki kesadaran kritis dalam upaya membendung hal tersebut.
Tentu kita tak mau hanya menjadi budak korporat kampus, melalui pemerasan finansial yang kita miliki hanya untuk memuaskan kepentingan mereka yang belum tentu juga menjadi penunjang kualitas akreditasi kampus.
Apalagi kebanyakan, aksi-aksi komersialisasi mahasiswa yang dilakukan oleh kampus, mirisnya dilakukan juga oleh perguruan tinggi negeri.
Apakah kalian berpikir? Perguruan tinggi negeri yang telah memiliki dana subsidi dari pemerintah, ternyata tetap saja membebankan biaya yang menusuk.
Ya, tidak kaget jika ada kasus yang mencederai nama kampus karena tindakan civitas akademika yang melanggar etika dan moral, dan akan semakin terkejut jika kurang tegasnya perguruan tinggi tidak memberikan sanksi etika profesi pada civitas akademika.
Secara asumsi mengapa ada tindakan amoral seperti itu? Bisa saja kausalitas dari efek kapitalisasi pendidikan.
Penulis rasa, kalian juga akan muak, bila kampus hanya diisi oleh dinasti kapitalis dan pejabat. Yang menikmati pendidikan tinggi hanya kalangan mereka saja.
Kalian sebagai kaum terpelajar juga memiliki hak yang setara untuk belajar dan memiliki hak yang sama untuk meraih gelar sarjana, magister dan doktoral dengan proses yang setara.
Akhirul kalam, “Tunduk tertindas, atau bangkit melawan!” (Soe Hok Gie).
*Penulis adalah Ketua Bidang HPKP Koorkom IMM UINSA.