Surabaya (25/08) – Dalam kemajemukan IMM di Kota Surabaya, sebanyak 34 Pimpinan Komisariat yang ada tentu mempunyai kulturnya masing-masing. Tak terkecuali IMM Al-Faruq dengan kultur lingkungan pesantrennya.
IMM Al-Faruq terbilang mempunyai ciri khas yang membuatnya berbeda dibanding Komisariat lainnya. Lingkungan belajar pesantren Ma’had Umar bin Al-Khattab UM Surabaya memiliki pengaruh yang cukup besar kepada corak gerakan IMM Al-Faruq. Suatu pengaruh yang menjadikannya khas dengan nuansa religiusitas.
Sebagai upaya untuk mengembangkan strategi dan menyerap inspirasi baru, IMM Al-Faruq mengadakan iltiqa’ (pertemuan) dengan IMM Abu Bakar Ash-Shiddiq UM Surakarta pada Senin (12/8/2024) di Angkringan Katresnan, Kota Solo, Jawa Tengah.
Alasan diadakan sharing melalui iltiqa’ ini dikarenakan kedua Komisariat tersebut memiliki kesamaan latar belakang pesantren yang jarang ditemui di Komisariat lain.
“Pertemuan ini selain sebagai momen silaturahmi, juga upaya saling berbagi ide dan gagasan, yang alhamdulillahnya sama-sama berlatar belakang ma’had,” tutur Saiun Najib, Ketua Umum IMM Al-Faruq.
Bahasan mengenai pola perkaderan yang efektif, kendala-kendala Komisariat, ideologisasi, hingga saling cerita tentang pola pengajaran para asatidzah yang memperkaya sudut pandang masing-masing.
Kesamaan lainnya seperti Komisariat yang sama-sama baru berdiri dua tahun, ikhwan dan akhwat yang dipisah selama kuliah, hingga mencari alternatif untuk perkaderan prodi D2 yang memiliki masa jabatan yang pendek. Semua itu pun menjadi bahasan yang menarik bagi kedua belah pihak.
Serupa tapi Tak Sama
Adanya kesamaan corak lingkungan pesantren, ternyata tidak menjadikan arah gerak dan program yang digarap kedua Komisariat tersebut sama.
Aufa Ubadah An-Nu’man selaku Sekretaris Bidang Organisasi IMM Abu Bakar Ash-Shiddiq menyampaikan dalam forum tersebut bahwa meskipun mereka di bawah naungan ma’had, namun yang ingin ditekankan bagi kader-kader di Komisariatnya adalah penekanan pada keilmuan dan intelektualitasnya.
“Kita menyadari pentingnya keilmuan bagi kader, justru kita ingin mengajak agar ilmu Islam yang diajarkan itu bisa diimbangi sekaligus dikembangkan dengan cara berpikir yang tepat dan kritis,” ucapnya.
Diskusi-diskusi tentang feminisme, filsafat, sejarah Islam, dsb menjadi bahasan yang sering diangkat. Hal ini juga dipengaruhi karena iklim keilmuan yang memang sudah terbentuk di lingkungan IMM Sukoharjo.
“Meski demikian, sebenarnya yang menjadi pemantik teman-teman dalam berdiskusi lanjutan adalah ustadz di ma’had sendiri. Salah satunya seperti Ustaz Ilyas, dosen Adab (sastra Arab) yang sekaligus mantan mudir,” sambungnya.
Adanya dosen seperti Ustaz Ilyas disebut dapat mencairkan wawasan berpikir mahasiswa yang kurang terbuka. Pandangan semacam ini pun disambut baik Saiun. Adanya dosen yang bisa membantu pergerakan di Ikatan tentu akan sangat membantu.
Namun, adanya dosen yang membantu sekalipun bukan berarti kendala dalam membangun gerakan dapat dihilangkan begitu saja. Menurut Saiun, hal ini justru memunculkan pr baru bagi IMM Abu Bakar Ash-Shiddiq sendiri.
“Kendala di kami justru terkadang berbedanya latar belakang pemikiran dan ideologi dengan beberapa pihak ma’had. Sehingga sering terjadi mispersepsi yang tentunya sedikit menghambat gerak kami, khususnya di ranah keilmuan,” tutur Saiun.
Saiun juga menyadari kemajemukan latar belakang di ma’had memerlukan waktu untuk perkaderan. Upaya yang digarap IMM Abu Bakar Ash-Shiddiq seperti memberi warna dan kesan baru. Dengan kata lain, di ma’had tidak sekadar belajar ilmu Islam dan bahasa Arab saja, tapi lebih dari itu kader pun juga dapat diajarkan untuk cakap dalam wawasan dan intelektualitasnya.
Kuncinya saling Kolaborasi
Aufa menjelaskan bahwa setiap gerakan di IMM Abu Bakar Ash-Shiddiq selalu menjunjung prinsip kolaborasi dan integrasi yang terjalin antara Komisariat hingga cabang.
“Kalau ingin intelektual dan kepenulisan, kita sering bekerja sama dengan IMM Pondok Hajjah Nuriyah Shabran, kalau ingin tentang humanitas, kita selalu kolaborasi dengan IMM lain, kalau nyari religiusitas, nah itu bagiannya kami, hehe,” ujarnya.
Bahkan ia menambahkan jika Komisariatnya mengadakan kajian justru yang lebih banyak hadir dari Komisariat lainnya.
Aufa juga menyadari kalau kader Komisariatnya juga sedikit, bahkan kader baru hanya terhitung enam orang. Apalagi sejak AMCF (Asia Muslim Charity Foundation) tidak lagi memberi bantuan beasiswa, mahasiswa yang mendaftar di Ma’had Umar pun mengalami penurunan di tiap tahunnya.
Meski demikian, jumlah tersebut tidak menjadikan semangat IMM Abu Bakar Ash-Shiddiq bergerak untuk padam. Problematika kader yang tiap tahun jumlahnya semakin menurun memaksa harus memutar otak bagaimana agar regenerasi perkaderan tidak putus.
“Kuncinya saling kolaborasi, sehingga keterbatasan itu bisa kita tutupi dengan kerekatan dan saling kerjasama antar Komisariat satu dengan lainnya. Saling butuh dan dibutuhkan,” pungkas Aufa.
*Penulis adalah Anggota Bidang RPK IMM Komisariat Al-Faruq Periode 2023-2024 dan Anggota Cendekiawan Institute.