Lebaran dianggap sebagai momen kemenangan umat Islam. Meski demikian, mereka yang ada di Palestina justru merasakan penderitaan di tengah euforia global ini. Dilansir dari CNN Indonesia, agresi Israel ke Gaza yang sudah berlangsung selama enam bulan belakangan ini telah menewaskan setidaknya 33 ribu warga Palestina.
Jumlah itu tentu sangat banyak. Itu pun belum termasuk orang-orang yang harus menderita serta mengungsi akibat konflik ini. Dalam sejarahnya, konflik ini dapat dibaca sebagai suatu hal yang terjadi akibat lemahnya umat Islam (Muchsin, 2015).
Melihat konflik yang tidak selesai-selesai hingga kini, apakah juga menjadi bukti bahwa umat Islam masih sangat lemah? Saya sendiri jadi teringat sebuah hadits dalam Musnad Imam Ahmad dan Sunan Abi Daud.
Rasulullah Saw bersabda, “Suatu masa nanti, bangsa-bangsa akan memperebutkan kalian seperti orang-orang yang sedang makan yang memperebutkan makanan di atas nampan”.
Kemudian, ada sahabat yang bertanya, “Apakah saat itu kita (kaum Muslimin) berjumlah sedikit (sehingga bisa mengalami kondisi seperti itu)?”
Rasulullah Saw menjawab, “Sebaliknya, jumlah kalian saat itu banyak, namun kalian hanyalah bak buih di atas air sungai (yang dengan mudah dihanyutkan ke sana ke mari). Dan, Allah Swt akan mencabut rasa takut dari dalam diri musuh-musuh kalian terhadap kalian, sementara Dia meletakkan penyakit wahn dalam hati kalian.”
Ada sahabat yang bertanya lagi: “Wahai Rasulullah Saw, apakah wahn itu?” beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.”
Dari hadis di atas, dapat dilihat bahwa kelemahan umat Islam terletak pada kurangnya persatuan, solidaritas, dan sinergi, serta obsesi berlebihan terhadap kenikmatan duniawi (Sagirah, 2021). Hal itu nampaknya terjadi hingga kini.
Betapa Lemahnya Kita
Setiap kali Israel berulah, kita selalu menemukan narasi untuk memboikot produk-produk tertentu. Narasi ini beredar di mana-mana. Terlepas dari bijak atau tidak narasi ini, namun produk-produk itu memberi lapangan pekerjaan bagi umat Islam itu sendiri.
Lapangan kerja sendiri menjadi hal yang “langka” bagi masyarakat. Pasalnya, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,86 juta orang per Agustus 2023. Maka daripada memboikot, padahal lebih efektif jika kita bersama berpikir dan berkolaborasi untuk membuat banyak lapangan kerja baru.
Misalnya kita berkolaborasi untuk mendorong munculnya wirausaha-wirausaha baru. Terlebih Indonesia berambisi menjadi negara maju pada tahun 2045, tetapi tingkat kewirausahaan masih jauh dari target minimum, hanya mencapai 3,47%. Tingkat kewirausahaan adalah syarat esensial untuk mencapai status negara maju, dengan minimal persentase 12% sebagai target (DetikFinance, 2023).
Di sisi lain, Indonesia sendiri masih memiliki banyak tantangan. Tingkat kebahagiaan yang hanya menempati peringkat 80 dari 143 negara (Kompas, 2024), tingkat korupsi yang masih tinggi (CNBC, 2023), kesejahteraan petani yang masih tanda tanya (The Conversation, 2023), meningkatnya bencana ekologis (Katadata, 2024), dan masih banyak lagi.
Masalah di Indonesia setidaknya adalah gambaran dari umat Islam yang menjadi penduduk mayoritasnya. Jika kita di sini saja masih banyak masalah, lantas bagaimana bisa memberi dampak terhadap kondisi global?
Kita miris dengan kondisi yang ada di Palestina. Hampir setiap hari kita dapat menemukan laporan di kanal-kanal berita soal bagaimana penderitaan mereka. Banyak yang mengunggah story di sosial media terkait hal ini. Ini tentu positif, namun tetap tidak akan mampu menyelesaikan masalahnya.
Nyatanya, kita seakan tidak bisa berbuat apa-apa secara konkret, selain ikut meredakan dengan menyumbangkan harta. Meski demikian, bantuan global yang disalurkan untuk Palestina tidak selalu berjalan mulus (BBC, 2024).
Saya juga penasaran bagaimana hasil dari aksi-aksi yang banyak kita lakukan beberapa waktu lalu soal Palestina. Sejauh mana efektivitasnya? Saya curiga, pernyataan teman saya yang adalah Sekretaris Bidang Tabligh dan Kajian Keislaman PC IMM Kota Surabaya ada benarnya. Bahwa ini semua sekadar bandwagon effect, yang tidak memiliki esensi untuk benar-benar membebaskan Palestina.
Kolaborasi Pasca Bulan Suci
Perintah menahan lapar dan haus melalui puasa, adalah cara Allah Swt untuk membuat kita semua merasakan sulitnya menjalani keseharian ketika tidak mampu makan dan minum. Hal ini sebenarnya bertujuan mendorong kita untuk berempati terhadap mereka yang mengalami sulitnya hidup (Aryanto, 2022).
Sehingga, seharusnya Ramadan menginspirasi setiap muslim untuk memperhatikan aspek sosial dan peduli terhadap kehidupan masyarakat. Meskipun ibadah pribadi selama Ramadan bisa sangat luar biasa, namun tak lengkap tanpa keterlibatan dalam amal sosial yang memperbaiki keadaan (Riduan, 2021).
Sependek pengetahuan saya, menjadi Islam sendiri secara luas masih dipahami sebatas salat, zikir, mengaji (yang hanya dibaca saja), dsb. Padahal menjadi Islam sangat luas, lebih daripada itu. Menjadi Islam adalah perihal bagaimana seorang manusia berdampak kepada lingkungan sosial.
Riadi (2014) menjelaskan bahwa kepekaan dalam urusan sosial pada suatu saat bisa menjadi faktor penentu apakah ibadah seseorang diterima atau tidak, atau apakah ibadah tersebut bermanfaat atau tidak.
Perintah agama yang terkait dengan ibadah pribadi selalu menunjukkan fungsi dan tanggung jawab ganda. Di satu sisi, ibadah tersebut merupakan cara bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah. Di sisi lain, ibadah tersebut juga menegaskan tuntutan kepada manusia untuk menjalankan tanggung jawab sosial dan kemanusiaan.
Oleh karenanya, momen Idul Fitri ini seharusnya bukan sekadar baju baru apa yang kita pakai, namun resolusi baru apa yang kita punya untuk menjadi insan yang berdampak terhadap sekitar.
Masih banyak lagi masalah-masalah seperti yang saya jelaskan di awal tadi. Terlebih dalam konteks membangun Indonesia Emas 2045, kita tentu harus menyelesaikan segenap tantangan yang ada. Upaya ini tentu membutuhkan kolaborasi, tidak bisa sendiri-sendiri.
Dalam dakwahnya, kesuksesan Nabi melibatkan partisipasi dari para sahabatnya. Ahmad Dahlan pun mendirikan Muhammadiyah untuk mampu membuat perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa kita semua kita harus melangkah bersama.
Salah satunya melalui organisasi kita, IMM yang tentu membutuhkan partisipasi semua orang. IMM adalah wadah bagi kita untuk mewujudkan perubahan. Kita berkumpul di dalamnya sebab sadar bahwa perjuangan ini memerlukan banyak kepala.
Namun hari ini, kita masih “dihantui” oleh minimnya partisipasi. Menyebar proposal sendirian, diskusi minim peserta, kegiatan-kegiatan bermanfaat yang terhambat dengan alasan, “Orangnya kurang.”
Mungkin ada yang diam-diam pergi karena “IMM Tidak Menarik”. Padahal, menarik atau tidaknya organisasi ditentukan oleh sejauh mana sumbangsih kita. Justru dengan banyaknya tantangan, kita dilatih untuk belajar memecahkan solusinya.
Bagaimana agar demo dapat melahirkan kebijakan yang substantif? Bagaimana agar kader-kader memiliki girah pengetahuan? Bagaimana agar kegiatan pemberdayaan tidak sebatas bagi-bagi makanan? Bagaimana agar IMM memberikan dampak secara luas? Saya rasa semua ini memerlukan kita bersama untuk menjawabnya.
Masalah-masalah di atas masih sebatas di dalam lingkup IMM. Belum sekompleks masalah yang harus kita hadapi di dunia yang lebih luas nanti. Sebagai mahasiswa, kita memiliki tanggung jawab moral untuk menyelesaikan problem-problem sosial. Sebagai umat Islam, kita diperintahkan untuk memiliki kepekaan sosial.
Saya membayangkan begini, kita bersama mampu membangun kesadaran sosial. Lalu perlahan dengan tekun, kita mampu membangun bangsa yang kuat, sesuai apa yang dicita-citakan dalam Indonesia Emas 2045. Apakah negara adidaya semacam ini mampu memiliki daya tawar untuk mengintervensi Amerika dan Israel yang semena-mena atas Palestina kelak? Saya rasa mampu!
*Penulis adalah Anggota Bidang RPK PC IMM Kota Surabaya dan Ketua Cendekiawan Institute.