Surabaya (21/4) – Habis gelap terbitlah terang. Namun untuk menyulut pencerahan yang lebih benderang, masih diperlukan lebih banyak lagi kerja-kerja peradaban. Sekiranya itu lah gambaran atas kondisi perempuan hari ini. Di semua sektor, partisipasi perempuan memang sudah lebih masif bila dibandingkan dengan beberapa dekade lalu. Kesempatan dan wadah untuk beraktualisasi pun lebih tersedia. Meski demikian, PR untuk mendorong kesetaraan masih sangatlah banyak.
Salah satu yang masih dihadapi ialah kurangnya partisipasi perempuan dibanding laki-laki di beberapa lini. Organisasi semacam IMM pun menghadapi tantangan ini. Di acara-acara besar IMM, misalnya di DAD, banyak pemateri masih dari kalangan Immawan. Selain itu, jumlah Immawati di struktural pun kian menyusut seiring naiknya level pimpinan. Muktamar IMM Palembang lalu misalnya, yang menuai kritik sebab tidak ada satu pun Immawati di susunan formatur.
Ketua Korps Instruktur IMM Jawa Timur (Jatim), Wilda Kumala Sari menjelaskan bahwa sudah menjadi tugas semua elemen di dalam ikatan untuk memiliki pemahaman gender yang baik. Hal ini dalam rangka mendorong adanya ruang yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Upaya ini sangat diperlukan ke depannya. Sebab hari ini, partisipasi Immawati pun masih belum semasif Immawan. Banyak penyebabnya, salah satunya dalam aspek regulasi.
“Kalau kita mau lihat apakah IMM ini ramah perempuan atau enggak itu, salah satu indikator pentingnya adalah jumlah keterwakilan perempuan di pimpinan. Karena pimpinan adalah orang-orang yang mengambil kebijakan di organisasi, sehingga jumlah keterwakilan perempuan di tingkat pimpinan itu jadi hal yang sangat penting sebetulnya. Namun memang realitanya kan masih kurang gitu. Jadi hal ini yang menurut saya mengkhawatirkan dan menyedihkan juga,” jelasnya.
Peneliti Muda RBC Institute A. Malik Fadjar Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tersebut menjelaskan bahwa regulasi untuk memastikan keterwakilan Immawati sangatlah penting. Hal ini bertujuan agar organisasi nantinya tidak menghasilkan kebijakan yang bias gender. Dengan itu, ekosistem untuk aktualisasi Immawati akan lebih mudah diciptakan.
Wilda mencontohkan misalnya di IPM yang sudah menerapkan regulasi semacam ini. Dilansir dari ipm.or.id, organisasi ini menerapkan affirmative action dengan tujuan meningkatkan keterwakilan perempuan dalam berbagai posisi kepemimpinan dan pelatihan, dengan persyaratan minimal 40% untuk calon formatur di setiap jenjang dan struktur pimpinan, serta untuk peserta pelatihan dan narasumber kegiatan.
“Kemarin sempat ya di Korps Instruktur IMM Jatim bekerja sama dengan Bidang Immawati dan Korps Immawati di Jatim. Kita melakukan konsolidasi terkait memang Imawati ini perlu nih membangun gerakan politik kolektif gitu. Biar perempuan ini bisa menjadi punya keterwakilan yang lebih banyak,” paparnya.
Selain dalam aspek kebijakan, Wilda juga menyampaikan terkait kajian-kajian tentang gender yang lebih banyak hanya diikuti oleh Immawati, tak terkecuali pada acara Diskuswati. Menurutnya, ini harus dievaluasi. Sebab semua kader, baik itu perempuan dan laki-laki harus punya pemahaman gender yang baik. Bahkan jika memungkinkan, penamaan Diskuswati dapat diubah untuk menghilangkan stigma bahwa acara ini khusus Immawati.
“Bahkan saya berpikirannya itu harusnya di materi dasar, misalnya perkaderan utama gitu di DAD, harus ada gitu kajian terkait gender ini gitu. Sehingga kita bisa mewujudkan ekosistem yang bisa mendukung Imawati atau perempuan dalam organisasi kita,” tambahnya.
Wilda mengatakan bahwa kesadaran di internal IMM akan gender masih kurang. Oleh sebab itu, Korps Instruktur IMM Jatim pada 31/3/2024 lalu mengadakan kajian dengan topik Perkaderan Berkeadilan Gender dengan menyasar instruktur. Pembahasan tentang gender ini adalah tentang mengatasi penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan serta mendorong kesetaraan. Penting untuk memahami bahwa kesetaraan tidak selalu berarti kesamaan.
Ia menambahkan, “Ternyata instruktur itu sendiri masih banyak yang belum punya kesadaran dan pengetahuan yang baik tentang gender. Kebanyakan bahas gendernya tentang harus sama, misalnya perempuan dan laki-laki harus bisa sama-sama ngangkat galon. Padahal kan bukan tentang galon dan kesamaan antara perempuan dan laki-laki ya sebenarnya yang dibahas dalam gender itu. Namun tadi, melawan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan pada perempuan dan mendorong kesetaraan gitu.”
Korps Instruktur IMM Jatim menganggap penting untuk fokus pada instruktur daripada pimpinan. Mereka percaya bahwa jika tidak dapat mengubah pemahaman atau kesadaran orang-orang yang berada di tingkat pimpinan, masih ada peluang besar untuk memahamkan instruktur. Sebab mereka adalah aktor yang akan membentuk kader-kader calon pemimpin di organisasi atau lingkungan sekitarnya agar memiliki pemahaman gender yang baik.
Tim Kreatif Pucukmera.id ini juga menjelaskan bahwa ke depannya, Korps Instruktur IMM Jatim sedang berupaya untuk merumuskan konsep perkaderan ramah perempuan setelah melakukan kajian-kajian tadi. Usaha ini bertujuan untuk menerapkan panduan-panduan yang telah didiskusikan ke dalam struktur perkaderan IMM Jawa Timur. Proses ini masih dalam tahap pengembangan dan diharapkan dapat berjalan lancar.
“Harapannya, Immawati bisa beraktualisasi sama besarnya dengan para Immawan. Seperti halnya beraktualisasi di pimpinan. Jadi, Immawati juga punya peluang yang sama. Ketika Immawati sudah bisa mengisi posisi-posisi strategis, itu bakal lebih memudahkan untuk mengawal kasus atau bentuk ketidakadilan dan penindasan yang dialami oleh perempuan,” pungkasnya.
*Penulis adalah Anggota Bidang RPK PC IMM Kota Surabaya dan Ketua Cendekiawan Institute.