Mengkaji SPI, Menembus PSI

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Muhammad Habib Muzaki)

 

“Assaalamualaikum, Mas Kaesang” masih menjadi soundtrack yang terngiang-ngiang di kepala saya, dan mungkin juga kader-kader IMM lainnya. Sebuah soundtrack yang juga mengundang roasting dari Dzawin Nur. “Dulu bawa bendera ke pantai, lah ini ke partai,” narasinya melalui story Instagram @dzawin_nur.

Bagi yang belum tahu latar belakangnya, dapat melihat postingan oleh @koran_imm. Postingan itu memperlihatkan sekelompok kader dengan atribut IMM mengantarkan Abdul Musawir Yahya -yang kita tahu sendiri dia siapa lah- untuk bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Beragam komentar datang dari kader-kader. Mulai dari yang tidak sepakat, sampai dengan yang sangat tidak sepakat. Masalahnya, membawa atribut IMM pada momen semacam itu dinilai sungguh tidak tepat. Kiprah politik Tum Abdul memang layak diapresiasi, namun tidak dengan cara yang demikian.

Terlepas dari benar atau salah, namun sebagai kader, saya melihat bahwa ada dimensi yang agaknya kita lupakan dalam merespon suatu fenomena. Dimensi tersebut ialah penggunaan ilmu pengetahuan sebagai dasar pikiran. Sudah kah kita mengkaji hal tersebut dengan output berupa produk yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya? Sudah kah kita membangun argumentasi berbasis ilmu?

Hal tersebut yang kadang kita lupakan. Komentar-komentar yang muncul di akar rumput bisa jadi sekadar marah-marah tak berdasar. Meski ini wajar, namun tetap harus ada elemen-elemen di dalam ikatan yang meresponnya dari kaca mata ilmu. Kita boleh sepakat atau tidak sepakat, tapi dasar argumentasinya apa?

Lebih baik lagi kalau ditulis, dan hasilnya bisa dibaca oleh kader-kader. Hal ini sebagai wujud transformasi pengetahuan. Terkait ini, saya jadi teringat program kerja Bidang Hikmah, Politik, dan Kebijakan Publik PC IMM Kota Surabaya pada Januari lalu bertajuk Diskusi Catatan Demokrasi Indonesia.

Pada kesempatan itu, kami juga mempertanyakan peran akademisi IMM dalam politik. Pertanyaan besarnya, kita sebagai IMM harus melakukan apa dalam aspek politik? Gabung partai? Memenangkan calon pilihan kita dengan membawa nama organisasi? Atau apa? Jawaban alternatifnya pun jatuh pada pilihan untuk menulis buku antalogi berjudul Catatan Demokrasi Indonesia (2024) yang saat ini sedang dalam proses percetakan.

Pada buku itu berisi analisis sederhana kami soal kondisi demokrasi Indonesia. Pun juga dengan argumentasi kenapa kita harus melakukan analisis tersebut. Kami berangkat dari DPP IMM (2021) dalam Sistem Perkaderan Ikatan (SPI) menjelaskan bahwa gerakan ilmu amaliah dan amal ilmiah IMM adalah untuk mencapai masyarakat yang ilmiah, yaitu yang memiliki kerangka pikir ilmiah, rasional, terbuka, dan melakukan praksis kemanusiaan dengan semangat transendensi.

Jika melihat tujuan IMM, kita pun akan tahu bahwa kehadiran organisasi ini adalah dalam rangka mewujudkan tujuan Muhammadiyah “menciptakan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Bagaimana masyarakat Islam yang sebenar-benarnya? Salah satunya yaitu masyarakat yang dalam hidupnya dilandaskan pada ilmu, bukan logika mistika sebagaimana kritik Tan Malaka dalam Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (1951).

Tujuan IMM di SPI pun memuat kalimat “terbentuknya akademisi Islam berakhlak mulia”. Nah dari sini lah, setidaknya dalam berkontribusi di setiap aspek kehidupan, IMM harus menonjolkan segi ilmunya. Namanya juga akademisi. Meski demikian, jangan sampai juga terjebak pada paradigma ilmu untuk ilmu. Namun, ilmu ada untuk suatu transformasi (Kuntowijoyo, 2004).

Kita tahu bahwa hidup ini perlu ilmu. Dalam beragama, kita perlu ilmu. Dalam menjalankan perintah-perintah agama, kita perlu ilmu. Membangun iklim politik yang sehat -di mana stigma politik yang hari ini dinilai kotor- sebagai bagian dari perintah agama untuk beramal sosial pun perlu ilmu.

Keterlibatan IMM sebagai organisasi di dalam iklim politik pun, hemat saya adalah dengan terus menyumbangkan narasi akademisnya. Sebuah narasi yang dapat ditawarkan ke masyarakat, maupun narasi sebagai landasan IMM sendiri dalam membangun setiap gerakannya. Dari sini kita dapat mempertanyakan, apa narasi akademis di balik pengantaran Tum Abdul dengan membawa atribut IMM tadi?

Begitu pun kita yang tidak sepakat, apa narasi akademisnya? Hal ini penting, sebab sebagai organisasi besar, saya rasa IMM harus memperhatikan sisi akademisnya. Begitu banyak yang kita pelajari di bangku perkuliahan. Bisa kah hasil belajar itu dimunculkan? Hal ini sebagai bahwa aktivitas kritik di IMM itu selalu bernafaskan intelektualitas.

Terlebih dalam konteks politik yang sangat dinamis ini. Akan sangat berbahaya apabila kita bersuara tanpa dasar argumentasi yang jelas. Misalnya, kita sangat mungkin dapat terjebak pada pemikiran yang berorientasi sekadar benar-salah. Meminjam Derrida, bahwa oposisi biner semacam ini berpotensi menimbulkan ketegangan dan kontradiksi yang kompleks dalam struktur pemikiran dan wacana kita (Al-Fayyadl, 2011).

Oposisi biner dalam politik merujuk pada cara berpikir atau kerangka kerja yang memandang isu-isu politik dalam dua kutub yang berlawanan secara sederhana, seperti “benar vs. salah”, “baik vs. buruk”, atau “kami vs. mereka”.

Logika semacam ini cenderung menyederhanakan kompleksitas politik menjadi dua pilihan ekstrem tanpa mempertimbangkan nuansa atau posisi tengah. Oposisi biner sering kali mengabaikan kompleksitas dan keragaman pandangan serta dapat menyebabkan polarisasi dan ketegangan yang lebih besar.

Jangankan IMM, di dalam Muhammadiyah pun terdapat dinamika kalau berbicara soal politik. Misalnya Nakamura (2012), pernah mengomentari bahwa memisahkan sekaligus mengkoordinasikan hubungan antara Muhammadiyah dan partai politik akan terus menjadi tantangan yang sulit bagi organisasi ini. Saat membaca uraian Ma’mun Murod (2017) pun kita akan lebih jelas melihat dinamika -untuk tidak menyebutnya posisi dilematis- antara Muhammadiyah dan politik.

Maka pada fenomena pengantaran Tum Abdul pun, saya rasa adalah bagian dari dinamika tersebut. Meski tidak sepakat, kita tidak perlu membenci, namun harus mengkaji. Apapun hasil kajian tersebut, dapat ditujukan kepada sasaran kritik kita sebagai surat cinta. Karena kita semua mencintai IMM, maka kita harus merawat organisasi ini dengan kritik yang berlandaskan ilmu.

Manusia bisa salah. Tum Abdul, orang-orang yang mengantarkannya, kalian yang tidak sepakat, saya pun, bisa salah. Namun kita bisa memilih untuk menjadi orang yang sekadar salah atau, menjadi orang yang salah dalam berproses, mengevaluasinya, lalu menjadi benar dari proses-proses semacam itu.

Terlebih kita punya SPI sebagai pedoman dalam bertindak. Kita bisa mengkajinya, menjadikannya landasan untuk kemudian dikembangkan mengenai aspek-aspek pentingnya. Dikaji dengan literatur lainnya kalau perlu. Lalu dengan itu, kita baru bisa menyampaikan kritik. Harapannya, iklim intlektual kita kian hidup. Jadi, bukan sekadar tidak sepakat dan berkomentar reaksioner.

Kita boleh tidak sepakat, bahkan tidak suka. Namun Tum Abdul adalah representasi ikatan yang hari ini sedang berdiaspora di ranah politik. Wajib kita dukung, perlu kita ingatkan. Sekali lagi, dengan ilmu tentunya. Akhir kata, selamat untuk Tum Abdul, semoga dapat berkiprah dengan berlandaskan nilai-nilai Muhammadiyah. Hari ini menembus PSI, semoga SPI selalu dipegang.


 

*Penulis adalah Anggota Bidang RPK PC IMM Kota Surabaya dan Ketua Cendekiawan Institute.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *