Pernahkah kalian lelah pada tingkah laku politisi yang mengatasnamakan bangsa dan negara”? Atau pernahkah kalian merasa muak dengan tingkah laku politisi yang menggunakan agama untuk berkampanye dan mengaitkan nilai-nilai luhur agama dengan institusi partai atau individu yang tidak bersih-bersih amat itu?
Saya yakin kalian pasti pernah merasakannya. Saya yakin kalian pasti pernah merasa jijik pada tindakan mereka. Memangnya, kalian yakin partai-partai Islam itu memperjuangkan nilai-nilai Islam? Memang yakin partai-partai yang menggandeng para kiai dalam berkampanye itu nantinya akan istikamah dengan nilai-nilai Islam?
Sudah pernah dengar belum, calon walikota, calon bupati, calon gubernur, dan calon pejabat elektoral lainnya yang citranya tampak religius, kemudian terpilih dan menjabat? Ya, kebanyakan dari mereka ujung-ujungnya juga tertangkap kasus korupsi dan pelanggaran hukum lainnya.
Begitu banyak kasus dan kejadian, tetapi kita hampir tidak pernah belajar. Semarah apa pun kita pada koruptor, toh ujung-ujungnya mereka juga yang terpilih. Atau paling tidak, yang berkampanye dengan cara-cara seperti itu lah yang dipilih pada akhirnya.
Tentu banyak faktor yang menyebabkan hal-hal yang saya sebutkan di atas terjadi. Dalam konteks pemilih religius muslim adalah akibat dari ketidakmampuan membedakan mana yang sakral dan mana yang profan. Dan, untuk membedah secara kritis mana yang sakral dan yang tidak sakral dalam Islam, maka kita perlu menghayati kembali gagasan Nurcholish Madjid (2022), yakni “sekularisasi Islam”.
Tidak Semua yang Berlabel Islam Itu Suci
Wait, wait, jangan panik jangan gelisah. Walau sama-sama berasal dari kata “secular” atau sekular, sekularisasi yang dimaksud Madjid tidak sama dengan sekularisme. Madjid meminjam istilah sekularisasi dari Harvey Cox teolog berkebangsaan Amerika Serikat. Dalam hal ini, Cox justru mengkritik sekularisme sebagai ideologi tertutup yang justru menjadi agama baru (Prayetno, 2017).
Sekularisasi yang dimaksud Madjid adalah proses berpikir kritis yang dilakukan oleh masyarakat Islam untuk membedakan nilai profan dan sakral dalam Islam. Profan, sakral, apa itu? Begini, saya jelaskan dengan lebih sederhana. Profan adalah unsur nilai-nilai temporal yang ada dalam Islam, sedangkan sakral adalah unsur nilai-nilai transenden dalam Islam. Masih belum jelas? Baiklah, saya buatkan perumpamaan saja.
Misal dalam Q.S. Ali Imran ayat 104, kita diperintahkan untuk berserikat dalam mendakwahkan ajaran Islam. Alhasil, kita meyakini bahwa perintah itu sakral, suci, dan transenden. Ayat ini pasti benar, dan tugas kita adalah menjalankannya, dan bukan mengkritiknya. Nah, karena kita meyakininya sebagai kebenaran yang hakiki, maka kita melakukan ikhtiar seperti mendirikan organisasi untuk berdakwah.
Tadaah! berdirilah organisasi Islam. Dalam perjalanannya organisasi tadi mulai kehilangan semangatnya untuk berdakwah dan malah sibuk “membisniskan” kegiatan dakwahnya. Sebagai umat Islam yang mengimani Q.S. Ali Imran ayat 104, maka kita berhak untuk mengkritik organisasi Islam tersebut.
Sekeras apa pun kita mengkritik organisasi Islam tersebut tidak layak rasanya membuat kita dituduh sebagai orang yang anti-Islam. Mengapa? Karena organisasi Islam itu tidak sakral, ia profan. Organisasi Islam yang didirikan oleh umat Islam itu adalah hasil ijtihad dan ikhtiar manusia.
Oleh karenannya, ketika kita mengkritik organisasi Islam sejatinya yang kita kritik adalah manusia-manusia yang berada di dalamnya. Bukan malah mengkritik Islamnya. Islamnya sendiri tetap benar, para pelaku-pelaku nilai Islamnya ini yang harusnya kita kritik habis-habisan.
Perumpamaan yang saya sebutkan tadi bisa diganti objeknya, seperti pesantren, sekolah Islam, partai Islam, negara Islam, bank syariah, kiai, ustadz, presiden dari partai Islam, Kementerian Agama, TV Islam, kartun Islam, dan segala instutisi atau lembaga yang berasal dari interaksi manusia dengan nilai-nilai Islam.
Pentingnya Sekularisasi Islam
Melihat gejala umat yang susah sekali membedakan antara yang profan dan sakral dalam Islam menjadi penting untuk mendiskusikan kembali gagasan sekularisasi Islam. Ada beberapa alasan yang membuat sekularisasi Islam perlu dilakukan. Alasan itu berkaitan dengan dinamika sosial, politik, dan keagamaan.
Pertama, mencegah politisasi agama. Salah satu alasan utama sekularisasi adalah untuk mencegah politisasi agama. Ketika agama digunakan sebagai alat politik, ada risiko besar bahwa ajaran agama dapat disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan. Ini bisa mengarah pada korupsi nilai-nilai agama dan memperburuk konflik politik berbasis agama.
Kedua, menjaga harmoni sosial. Sekularisasi dapat membantu menciptakan ruang publik yang inklusif di mana semua warga negara, terlepas dari latar belakang agama mereka, dapat hidup berdampingan secara damai. Dengan mengurangi dominasi satu agama dalam politik, sekularisasi mempromosikan toleransi dan menghargai keberagaman, yang esensial untuk menjaga stabilitas dan keharmonisan sosial.
Ketiga, menghadapi tantangan modernitas. Sekularisasi memungkinkan umat Islam untuk memperbarui pemahaman mereka tentang agama sesuai dengan konteks zaman, sehingga tetap relevan dan aplikatif dalam menghadapi tantangan modernitas.
Keempat, memajukan pemikiran kritis dan intelektual. Sekularisasi mendorong pembaruan pemikiran dalam Islam. Dengan memisahkan agama dari politik, para cendekiawan dan intelektual muslim diberi ruang untuk menafsirkan kembali ajaran-ajaran agama secara kritis dan kontekstual.
*Penulis adalah Ketua Bidang TKK PC IMM Kota Surabaya.