Beberapa waktu yang lalu, beberapa orang yang mengaku berasal dari IMM mendatangi markas partai berlogo mawar. Namun bukan untuk melakukan aksi menyuarakan aspirasi rakyat sebagaimana mestinya. Padahal seharusnya yang dilakukan oleh organisasi kemahasiswaan adalah menjadi pasukan garis depan dalam menjaga stabilitas politik.
Pada momen kali ini sangat berbeda. Rombongan yang merupakan elit dari IMM itu arak-arakan memakai logo dan nama besar ikatan, mengantarkan kader yang diklaim sebagai salah satu kader terbaik untuk bergabung dalam politik praktis.
Atribut yang dulunya dipakai di jalanan untuk membela keadilan atas kemunafikan para pemimpin rakyat yang notabenya berasal dari partai, kini malah berpelukan hangat dengan partai. Lantas kepada siapa sekarang mereka yang tertindas menitipkan suaranya?
Jika mahasiswa yang dipercaya sebagai agent of change, guardian of value, social control, dan sebagainya telah tidur nyenyak di ruangan yang nyaman berpelukan bersama elit politik, apakah stabilitas politik akan tetap terjamin?
Kemudian dengan bangganya, mereka mempositing kehangatan itu di akun Instagram utama milik IMM tersebut untuk dikonsumsi oleh publik. Pada akhirnya, hal itu memercikkan kericuhan antara kader di akar rumput, antara mereka yang tidak setuju dan mereka yang takut untuk berkata tidak setuju.
Apa yang dilakukan para elit tersebut adalah sebuah tindakan lanjutan atas Deklarasi Tanwir Banjarmasin poin ketiga, “Mengukuhkan bahwa IMM (IMM) sebagai gerakan politik kebangsaan yang secara kelembagaan bersifat independen dalam memberikan solusi konstruktif secara ilmiah serta terlibat aktif dalam politik diaspora kader berbasis nilai ikatan di ruang-ruang kekuasaan demi kemajuan bangsa.”
Poin tersebut ternyata dimaknai ugal-ugalan oleh para elit tadi. Jika ingin berdiaspora, yang seharusnya dibawa adalah nilai-nilai IMM yang telah tertanam di diri kita ke partai politik tersebut. Bukan malah datang dengan membawa identitas keluarga besar ikatan.
Bukankah sebenarnya kita bisa mengkaji atau menimbang dari Khittah Muhammadiyah Denpasar, yang mana Muhammadiyah menegaskan posisinya dalam urusan kebangsaan tanpa harus terlibat dalam politik praktis.
Menurut saya diaspora politik memang penting dan harus, namun harus dengan cara-cara yang baik. Mau kader masuk PSI, PDIP, Golkar, bahkan Tottenham yang tidak memiliki prestasi sekalipun, tidak ada masalah. Asalkan tidak bertentangan dengan putusan Muhammadiyah.
Dalam konteks ini, kita bisa mempertanyakan. Apakah elok dengan konvoi? Membawa logo ikatan dan personalia yang masih terikat dengan struktural.
Kemana jargon “anggun dalam moral, unggul dalam intelektual”-nya? Apakah ini sudah sesuai dengan nilai-nilai moralitas Muhammadiyah dalam menyikapi politik yang sesungguhnya? Lalu apakah begini cara orang-orang intelektual ketika ingin berdiaspora? Jika tidak, lantas mengapa kita mengklaim diri sebagai orang yang bermoral dan unggul dalam intelektual.
Apakah berdiaspora termasuk dengan cara-cara yang tidak etis? Bagaimana nanti para instruktur menjawab pertanyaan-pertanyaan kader-kader Komisariat atas hal yang dipertontonkan dengan bangganya ini?
Apakah ini telah menjadi contoh yang mereka berikan atas jawaban diaspora politik kader? Dengan cara pragmatis dan transaksional? Apakah ini yang disebut politik kebangsaan?
Saya kemudian mengingat apa yang telah di katakan oleh Ayahanda Haedar Nashir selaku ketua PP Muhammadiyah menjelang kontestasi politik lima tahunan kemarin.
Beliau berkata, “Kalau tidak paham posisi organisasi dan situasi secara komperhensif, sebaiknya kader Muhammadiyah belajar seksama agar tidak gagal paham. Bila berdasarkan kemauan dan persepsi pribadi, apalagi bersifat parsial dan tendensius, hilanglah eksistensi organisasi yang besar ini.” (Kompas, 2023).
Saya pikir kita sebagai mahasiswa yang dicap sebagai kaum intelektual sudah bisa menafsirkan apa yang dikatakan oleh ayahanda Haedar tersebut. Mari kita bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh para petinggi di ikatan saat ini.
Mungkin pada tulisan ini, pembaca banyak melihat tanda tanya. Karena memang sejatinnya ini adalah representasi dari seorang kader di akar rumput atas tindakan yang dilakukan oleh para elit petinggi di keluarga besar ikatan kita yang tercinta ini.
Saya harap ada kajian mendalam tentang apa yang telah terjadi saat ini: Apakah langkah yang dilakukan sudah benar? Dengan alasan apa? Jangan pula dari para elit organisasi malah cosplay menjadi pemerintah, yang ketika dimintai jawaban malah cuman tahu diam saja.
Bagi kader yang mengklaim diri sebagai aktivis, marilah kita berpolitik untuk rakyat, sesuai dengan apa yang kita gaung-gaungkan ketika masih duduk di bangku perkuliahan. Mari kita wujudkan kemakmuran yang kita cita-cita kan itu sejak lama. Jangan ketika perut sudah kenyang, mulut enggan untuk mengeluarkan kata-kata.
Terakhir saya ingin mengutip perkataan dari K.H. Ahmad Dahlan, yang mungkin sudah sering terlintas di telinga kita, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.”Mari kita renungi makna dari pesan tersebut, jangan hanya dijadikan sebagai sebuah kata-kata saja.
*Penulis adalah Kader IMM Komisariat Leviathan.