Di zaman Rasulullah terdapat banyak sosok perempuan-perempuan yang ikut berperang bersama pasukan kaum muslim. Perempuan-perempuan tersebut biasa dijuluki sebagai seorang “Mujahidah”. Dalam kacamata Islam sebutan ini biasa diperuntukkan bagi pejuang perempuan, jika pejuang laki-laki disebut dengan “Mujahid”.
Keduanya memiliki pokok pengertian yang sama yaitu, “pejuang Islam yang berjihad di jalan Allah”. Berikut para pejuang perempuan yang memiliki jiwa pemberani, tangguh dan cerdas, serta memiliki andil cukup besar dalam mensyiarkan dan memperjuangkan agama Islam. Kiranya, melalui sedikit pengetahuan tentang beberapa mujahidah dapat memantik kesadaran para IMMawati untuk turut andil pula mengambil peran di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Pertama, Khaulah binti Azur. Dijuluki dengan kesatria berkuda hitam, seorang muslimah yang kuat jiwa dan raganya. Memiliki tubuh yang tinggi tegap dan langsing. Sejak kecil Khaulah pandai bermain padang serta tombak, dan giat berlatih sampai masanya ia mempergunakan keterampilannya untuk membela agama Islam. Khaulah turut andil dalam peperangan melawan pasukan Romawi di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid.
Kedua, Nusaibah binti Ka’ab. Ia merupakan perempuan pemberani dan tangguh. Banyak sekali peperangan yang diikuti olehnya demi membela agama tercinta. Salah satunya adalah perang Uhud. Rasulullah Saw. bersabda, “Ketika perang Uhud, Nusaibah binti Ka’ab ikut berperang dan Rasulullah berkata, “Tidaklah aku melihat ke sebelah kanan dan kiriku kecuali aku melihatnya berperang di dekatku”. Ia juga termasuk orang yang tekun dan ahli dalam hal ibadah.
Ketiga, Rufaidah binti Sa’ad. Ia merupakan pelopor pertama dunia keperawatan Islam, yang ada sejak zaman Rasulullah. Perempuan berhati mulia yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat di dunia Islam. Rufaidah menjadi sukarelawan yang merawat sahabat yang terluka ketika perang Khaibar dan perang Khandaq. Rufaidah dikenal sebagai perempuan cerdas yang gemar membaca dan mencatat Alquran. Beliau juga berasal dari keluarga yang terpandang dan kaya raya. Sejak masuk Islam kekayaannya selalu dipergunakan untuk membantu perjuangan Rasulullah.
Keempat, Ar-Rubayyi binti Mu’awwidz. Namanya memang tidak banyak dikenal seperti sahabiyah lainnya. Namun, pada masanya sosok mujahidah yang satu ini begitu terkenal. Bahkan baginda Rasulullah Saw. pun sangat menghormatinya. Seperti kebanyakan perempuan Anshar lainnya, Rubayyi merupakan sosok yang pemberani. Keberanian dan ketangguhannya di medan perang tidak menggerus sifat wanitanya yang lemah lembut. Bahkan, kehebatannya dalam berperang sama halnya dengan keilmuan yang dimilikinya, sehingga menjadikannya sebagai rujukan bertanya bagi sejumlah sahabat.
Kelima, Nailah binti Al-Farafishah. Istri dari Khalifah Ustman bin Affan. Dia terkenal dengan kecantikan serta kepandaiannya. Ketika terjadi fitnah yang memecah belah umat Islam pada tahun 35 Hijriyah, Nailah ikut mengangkat pedang untuk membela suaminya. Meskipun usaha yang ia lakukan tetap membuat suaminya terbunuh oleh para pemberontak kekhalifahan kala itu. Pada saat Ustman telah wafat pun, pemberontak tersebut menampari wajah Ustman, hingga Nailah berdo’a “Semoga Allah menjadikan tanganmu kering, membutakanmu dan tidak ada ampunan atas do’amu”.
Dari Perempuan-Perempuan tangguh pada zaman Rasulullah tersebut kita bisa melihat bahwa tidak selamanya seorang perempuan yang dikenal dengan sifat yang lemah lembut, tidak bisa berperan dalam memperjuangkan agama Islam. Justru, dari sosok merekalah seharusnya para perempuan-khusunya para IMMawati-dapat mengambil pelajaran bahwa peran seorang perempuan tidak terbatas melulu dalam kehidupan mengurus pekerjaan di rumah tangganya. Lebih dari itu, perempuan juga mampu berperan untuk memperjuangkan agama beserta syariatnya.
Meskipun di zaman sekarang yang disebut dengan zaman modern, sudah tidak seperti di zaman Rasulullah yang sering terjadinya peperangan. Tentunya menjadi seorang mujahidah tidak harus dengan turut andil dalam perang di medan perang seperti perempuan-perempuan yang disebutkan di zaman Rasulullah tadi.
Dengan menjadi aktivis, kita juga dapat menjadi seorang “Mujahidah Modern” yang bisa memberdayakan kaum perempuan. Yaps, ini termasuk salah satu contoh peran dari sosok aktivis perempuan di ranah mahasiswa Muhammadiyah yaitu yang biasa disebut dengan IMMawati.
Menjadi seorang IMMawati sekaligus muslimah, yang turut aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan memang tidaklah mudah. Selain menjalankan peran kita sebagai seorang aktivis yang harus menjalankan program-program demi terwujudnya tujuan dari organisasi tersebut. Pribadi sebagai seorang muslimah pun juga diuji di dalamnya. Kebanyakan yang mereka ketahui menjadi seorang aktivis organisasi hanyalah seputar ikut rapat, diskusi santai dan bercengkrama dengan lawan jenis.
Padahal di waktu yang sama, kita sebagai seorang muslimah tetap harus memahami kondisi lingkungan sekitar dan menjaga diri sesuai batasan-batasannya. Dengan itu, kita harus tetap mengingat tujuan kita menjadi seorang aktivis perempuan adalah ingin berjuang menuju jalan Allah.
Bagi para IMMawati hendaknya bisa memanfaatkan peluang-peluang sebagai seorang aktivis dengan berdakwah sebanyak-banyaknya sesuai dengan apa yang telah di syariatkan agama Islam. Karena seorang IMMawati tentunya harus mengikuti apa yang telah dipegang teguh oleh organisasi Muhammadiyah, yaitu Alquran dan Sunnah.
Sebagai IMMawati pun tetap dapat memegang sebutan “mujahidah”, apabila mereka turut berkontribusi untuk aktif di dalam organisasi tersebut. Dalam hal ini, turut aktif menjadi penggerak dari organisasi tersebut; terutama bisa membantu untuk memberdayakan IMMawati-IMMawati yang lain, agar lebih berani untuk menjalankan perannya.
Dengan mengadakan sebuah kajian keilmuan agama seperti seputar fikih wanita, yang mana nantinya kita sebagai seorang perempuan lebih bisa memahami bagaimana aturan-aturan dasar agama tentang perempuan. Atau kita juga bisa mengadakan sharing seputar keilmuan umum bisa di ranah medis atau bahkan dunia politik.
Melalui ikhtiar di atas, pengetahuan dan pengalaman seorang aktivis perempuan, seperti IMMawati ini bisa berkembang. Wawasan-wawasan baru di berbagai bidang pun akan didapatkan yang tentunya hal tersebut sangat menarik untuk dipelajari dan akan bermanfaat dikemudian hari.
Dengan demikian, sebagai seorang perempuan juga harus bisa berdiri di kaki sendiri tanpa harus bergantung dengan laki-laki. Menjadi perempuan yang mandiri tanpa meremehkan peran laki-laki itu juga termasuk menghargai masing-masing kodrat dan peran antara laki-laki dan perempuan, seperti yang sudah dijunjung dalam agama Islam.
*Penulis adalah Sekretaris Umum IMM Komisariat Ushuluddin dan Filsafat dan Anggota KM3.