Oleh: Deni Muriawan – Ketua Umum PK IMM Kaizen 2024-2025
Surabaya – Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai gerakan kader dan dakwah intelektual, mengemban mandat besar dalam proses regenerasi kepemimpinan umat. Dalam konteks ini, kaderisasi bukan sekadar prosedur atau tahapan formal yang harus dilalui oleh anggota baru, melainkan proses ideologis dan praksis yang bertujuan membentuk watak, pola pikir, dan orientasi gerakan kader IMM.
Dalam setiap fase dan ruang perkaderan, Trilogi IMM Religiusitas, Intelektualitas, dan Humanitas harus menjadi dasar pijakan dan arah capaian. Ketiga nilai ini bukan hanya warisan simbolik, tetapi kompas ideologis yang harus dihidupkan dan dibumikan dalam seluruh aspek kehidupan kader, organisasi, dan perjuangan sosial.
Namun, fakta di lapangan berkata lain. Masih banyak proses kaderisasi yang berjalan dalam kerangka formalitas. Orientasi program sering kali berkutat pada pelaksanaan agenda tanpa pendalaman nilai. Religiusitas hanya dimaknai sebagai ritual simbolik. Intelektualitas dijalankan sebatas penguasaan materi, bukan pencarian makna. Humanitas jarang diaktualisasikan dalam bentuk keberpihakan nyata pada persoalan sosial di sekitar kita.
Trilogi IMM
Religiusitas dalam trilogi IMM seharusnya tidak berhenti pada tadarus dan shalat berjamaah selama pelatihan. Ia adalah laku spiritual yang menumbuhkan integritas moral dan orientasi hidup yang bersandar pada nilai-nilai Islam. Seorang kader IMM harus tumbuh menjadi pribadi yang menjadikan nilai agama sebagai fondasi dalam berpikir, bersikap, dan mengambil keputusan baik di ruang akademik, organisasi, maupun masyarakat.
Sementara itu, intelektualitas sebagai unsur kedua dari trilogi IMM, idealnya tidak berhenti pada penguasaan wacana. IMM bukanlah organisasi pelestari teks semata, tetapi gerakan yang menuntut kadernya mampu berpikir kritis, rasional, dan solutif. Intelektualitas dalam IMM harus diarahkan untuk membaca realitas secara objektif, menganalisis problematika umat dan bangsa secara tajam, serta menghasilkan ide-ide baru yang mampu mendorong perubahan sosial.
Namun, realitasnya masih banyak proses kaderisasi yang belum memberi ruang bagi diskusi reflektif, eksplorasi gagasan, atau stimulasi daya nalar kader. Forum-forum pelatihan lebih sering diisi dengan materi-materi satu arah dan minim partisipasi aktif peserta.
Humanitas, sebagai dimensi ketiga, juga tidak kalah penting untuk dibumikan. IMM tidak hanya mencetak aktivis berilmu dan beriman, tetapi juga harus melahirkan kader yang memiliki keberpihakan terhadap kemanusiaan. Nilai humanitas berarti kader IMM harus memiliki sensitivitas sosial, empati terhadap penderitaan rakyat kecil, dan komitmen untuk memperjuangkan keadilan sosial.
Di tengah era disrupsi informasi dan polarisasi politik saat ini, kader IMM dituntut untuk menjadi agen perdamaian, juru bicara kebenaran, dan penggerak rekonsiliasi sosial. Sayangnya, aspek ini sering terpinggirkan dalam pelatihan kader yang lebih menekankan aspek struktural dan teknis organisasi daripada pembangunan nilai-nilai kemanusiaan.
Proses Kaderisasi
Maka dari itu, kaderisasi IMM perlu mengalami pembaruan paradigma. Kaderisasi adaptif bukan berarti menanggalkan nilai-nilai dasar, melainkan bagaimana nilai itu dikontekstualisasikan dengan tantangan zaman. IMM harus mampu mereformulasi metode kaderisasi agar tidak ketinggalan dari dinamika mahasiswa dan masyarakat.
Tantangan seperti individualisme digital, pragmatisme gerakan, dan krisis etika di kalangan intelektual muda harus dijawab oleh IMM dengan pendekatan kaderisasi yang kreatif, interaktif, dan berbasis kebutuhan zaman. Misalnya dengan menghadirkan pelatihan berbasis studi kasus, ruang dialog ideologis, diskusi terbuka lintas perspektif, serta keterlibatan langsung dalam proyek-proyek pengabdian masyarakat.
Di sisi lain, pendekatan kaderisasi juga harus lebih personal dan berkelanjutan. Tidak cukup hanya mengandalkan satu-dua jenjang pelatihan formal seperti Darul Arqam Dasar (DAD) atau Darul Arqam Madya (DAM). IMM harus menghidupkan tradisi mentoring, pengasuhan ideologis, dan penugasan terukur untuk kader yang telah mengikuti pelatihan. Proses pembinaan harus dilakukan secara terus-menerus, melibatkan pimpinan komisariat hingga cabang, agar tercipta kesinambungan antara nilai, pemahaman, dan aksi kader di lapangan.
Lebih dari itu, kaderisasi tidak boleh berhenti pada tahap pelatihan formal. Perlu ada proses pembinaan berkelanjutan. IMM harus menciptakan ekosistem pengasuhan kader, mulai dari pembinaan ideologi, pendampingan akademik, hingga penguatan spiritual dan emosional. Di sinilah peran para alumni, instruktur, dan pimpinan sangat penting dalam menciptakan kesinambungan kaderisasi.
Usaha Kolektif
Membumikan trilogi IMM bukanlah tugas satu-dua orang, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh struktur dan kader. Nilai religiusitas, intelektualitas, dan humanitas harus menjadi napas dalam gerak organisasi, bukan hanya jargon di spanduk pelatihan. IMM tidak boleh puas dengan banyaknya kader yang tercatat dalam data, tetapi harus memastikan mereka menjadi kader yang berpikir, bergerak, dan hidup dalam nilai-nilai perjuangan.
Di tengah krisis kepemimpinan dan dekadensi moral yang melanda bangsa, IMM harus tampil menjadi jawaban. Tapi itu hanya mungkin jika kaderisasinya melahirkan kader-kader yang kuat secara spiritual, tajam secara intelektual, dan tulus dalam keberpihakan sosial. Dan semua itu bermula dari keberanian kita merefleksi, mengevaluasi, dan membenahi proses kaderisasi. Agar IMM tetap hidup, bernyawa, dan berdampak.
Dengan begitu, IMM dapat terus berkontribusi dalam melahirkan generasi pemimpin umat dan bangsa yang berakar kuat pada nilai Islam, berwawasan luas, dan berpihak pada kemanusiaan. Kaderisasi adaptif dan berkemajuan adalah jalan menuju itu semua. Dan membumikan trilogi IMM bukan sekadar tugas organisasi, tetapi amanah sejarah yang harus ditunaikan oleh setiap kader yang mencintai gerakan ini dengan sepenuh jiwa dan pikiran. (*)