Matinya Keilmuan Ikatan

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Muhammad Habib Muzaki)

 

”…Unggul dalam Intelektual.”

“…Kitalah cendekiawan berpribadi!..”

“..Ilmu Amaliah-Amal Ilmiah…”

“..Akademisi islam yang berakhlak mulia..”

Sebelum itu, kita perlu mensyukuri bahwa ikatan kita didirikan oleh para intelektual yang matang dan penggerak di zamannya; Djazman, Rosyad Sholeh, Sudibyo Markus, dkk.

Maka tidak heran jika yang terumuskan dalam ideologi gerakan IMM bermunculan kata-kata yang bermuatan keilmuan sebagai cerminan dari apa yang dicita-citakannya.

Dalam asbabun nuzul-nya pun, IMM juga lahir untuk merespon untuk memperkuat dan membina peran akademisi dan intelektual Muhammadiyah di lingkungan mahasiswa. Namun, sudahkah gerakan kita selama ini sesuai dengan apa yang dicita-citakan para founding fathers kita?

Tulisan ini sebenarnya berupa rangkuman singkat dari FGD Cendekiawan Institute yang berkolaborasi bersama LawanKata IMM Al-Faruq dengan mengangkat tema: Intelektualitas IMM Tidak Jelas (24/6/2024).

Kita sama-sama menyadari bahwa ruh Intelektualitas dalam ikatan hari ini terasa semakin gersang. Dalam realita lapangan, kata intelektualitas itu berhenti sekadar jadi jargon dan formalitas hafalan kader belaka. Ia seperti kata yang kehilangan konteksnya.

 

Gerakan Keilmuan Masih Morat-Marit

Kenapa dan apa yang menyebabkan gerakan keilmuan di akar rumput menjadi tandus dan tak lagi subur? Padahal, grassroot Komisariat diidam-idamkan sebagai ujung tombak pergerakan IMM, karena mereka lah yang bersinggungan langsung di wilayah pergerakan kampus.

Lalu dari wacana keilmuan dan dambaan cita-cita akademisi Islam itu, sudahkah benar-benar terwujud dalam setiap nafas gerakan kita? Kalau iya, sudah berapa persen kecilnya? Maaf, maksud saya, “besarnya”?

Sebelum itu, apa jangan-jangan kita yang salah paham apa makna intelektualitas itu?

Jika kita bertanya kepada para kader apa itu intelektualitas? Saya bayangkan mereka menjawab: “intelek itu cerdas”, “disiplin menuntut ilmu di kampus”, “berprestasi di kuliah’’, dll. Apakah benar?

Merujuk pada SPI (Sistem Perkaderan Ikatan) dalam bab Trilogi dan Trikom, intelektualitas Ikatan sebenarnya sudah dijabarkan. Namun masih bersifat abstrak dan berpretensi disalahartikan terutama oleh kader dasar.

Di SPI tertera kalimat: memiliki sensitivitas sosial/berpikir futuristik/tercipta masyarakat ilmu. Oke ini bagus dan saya terkesan. Namun ini masih bias dan belum konkret untuk diaplikasikan dalam gerakan.

Maka tidak bisa disalahkan jika kader mempunyai interpretasi sendiri kalimat-kalimat itu, bisa saja mereka menafsirkan:

“Oh menjadi intelektual berarti harus pandai di kelas, punya kepekaan sosial, tapi ga perlu lah terjun ke masyarakat, kan peka saja sudah cukup.”

Atau, “saya harus jadi intelektual yang selalu baca buku, bikin diskusi buku, buka gerai-gerai buku di taman. Berefek atau tidak, efisien atau tidak, itu gak penting. Yang penting ini buku adalah bukti kita gerakan intelektual!”

Lalu, “Ayo kita galakkan kajian filsafat!” “Ayo kajian feminisme!” Oke bagus. Tapi sudahkah gerakan itu sesuai maksud “intelektual” gerakan kita?

Lebih luasnya, maksud gerakan intelektual kita ingin mewujudkan masyarakat ilmu sekaligus upaya transformasi atau perubahan sosial.

Meski dalam penjabaran SPI mengakui bahwa intelektual ikatan terdapat sedikit perbedaan dengan konsep intelektual organik-nya Gramsci, dimana inteklektual bertanggung jawab sekaligus bergerak dalam pengejawantahan ilmunya untuk masyarakat.

Intelektual IMM lebih condong kepada konsep Raushan Fikr-nya Ali Syariati dan Profetiknya Kuntowijoyo, dimana intelektual yang tidak hanya berkecimpung di keilmuan, melebur dalam problematik masyarakat, namun perlu diimbangi dengan nilai transendensi, keilahian dalam spiritnya (SPI, 2021).

Lagi-lagi, cita-cita itu agaknya terlalu muluk melangit, namun belum bisa menyentuh dasar bumi yang memaksa cara dan bukti konkret. Perlu penjelasan yang “sama dan tepat” untuk dipahami kader yang majemuk itu.

Agar satu sama lain saling sadar, tidak saling termakan bias apalagi mengklaim gerakannya sudah shahih sebagai gerakan intelektual.

Sehingga tidak heran jika gerakan keilmuan tidak pernah jelas tersusun sistematis. Tidak ada padanan yang dapat disepakati dan sebagai tolok ukur bersama agar gerakan keilmuan ini berjalan dan terbina secara terstruktur.

Di satu sisi, di SPI memang ada indikator atau output dari “intelektualitas” kader dasar. Disebutkan ada dua indikator:

Pertama, memiliki etos belajar yang tinggi. Kedua, progresifitas dalam mengembangkan potensi pribadi

Namun, saya ingin bertanya jujur kepada pembaca yang budiman. Dua indikator ini apakah sudah bisa dibilang memenuhi ukuran standar intelektual kader dasar?

Apakah dua indikator ini juga dapat berpotensi disalah artikan pengkader karena dapat bias maksud dan tafsirnya? Apakah para pengkader sudah benar-benar memakai dan mengukur “intelektualitas” kader dengan indikator ini?

Jika iya, dengan cara apa? Atau jangan-jangan indikator ini hanya sebagai pajangan yang karena terkesan sangat sederhana sekaligus terlalu abstrak sehingga tidak terlalu penting dipakai?

Sebagai buktinya, mari kita refleksikan, sudah berapa banyak gerakan kita, program kerja kita di setiap bidangnya yang sudah terilhami spirit keilmuan? Apakah ilmu kita sudah kita proyeksikan untuk amaliah?

Juga amaliah kita, gerakan kita, proker kita, sudahkah berbasis ilmiah dengan mendiskusikan terlebih dahulu, merujuk kepada sumber-sumber ilmiah, atau lebih-lebih merisetnya? Atau jangan-jangan kita masih grusah-grusuh dalam bergerak.

Di sisi lain, juga tidak ada bahasan keilmuan yang sepadan dan berbobot di ikatan kita, tahun ke tahunnya bahasan di Komisariat selalu sama, pengantar kepada kader dasar, ini juga menjadi bukti bahwa keilmuan kita mandek, jalan di tempat.

Tiap gerakan amaliah kita sebenarnya sudah masif. Namun seakan kehilangan ruh ilmiahnya. Setiap kader dan pimpinan dituntut untuk mampu mengembalikan “ruh” di setiap kegiatan formal kita.

Tidak heran jika IMM hari ini tidak matang di bidang keilmuan. Tanah pijakannya tandus tak teraliri air segar untuk tumbuh. Semua ini menjadi bukti bahwa gerakan intelektualitas di ikatan masih morat-marit dari akar sampai strukturalnya.

Dan, dengan mandeknya keilmuan ini, tanpa sadar kita telah menzalimi cita-cita para founding father ikatan kita. Meminjam frasa Nietzsche dalam Zharatustra, “Keilmuan Ikatan telah mati, dan kita lah yang membunuhnya.”


 

*Penulis adalah Anggota Bidang RPK IMM Komisariat Al-Faruq Periode 2023-2024 dan Anggota Cendekiawan Institute.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *