Ketika Senioritas Merenggut Nyawa: Refleksi Psikologi atas Kasus Timothy di Udayana

oleh: Maheswari Ayu Pratiwi Ketua Bidang Kader Komisariat Allende 2024 Setiap kali berita tentang kematian mahasiswa akibat kekerasan muncul, kita...

oleh: Maheswari Ayu Pratiwi

Ketua Bidang Kader Komisariat Allende 2024

Setiap kali berita tentang kematian mahasiswa akibat kekerasan muncul, kita seolah menonton ulang tragedi yang sama. Nama Timothy dari Universitas Udayana hanyalah satu dari sekian banyak korban yang tak sempat menyelesaikan mimpinya karena budaya senioritas yang menelan akal sehat.

Kasus ini bukan kejadian tunggal, melainkan bagian dari rantai panjang kekerasan di dunia pendidikan Indonesia dari sekolah menengah hingga perguruan tinggi yang seakan tak pernah benar-benar selesai. Ketika kampus yang seharusnya menjadi ruang aman untuk belajar justru berubah menjadi tempat ketakutan, maka ada sesuatu yang sangat keliru dalam cara kita memahami makna “pembinaan”.

Budaya senioritas sering dibungkus dengan dalih pengkaderan, pembentukan karakter, atau proses pendewasaan. Namun, dibalik kata-kata mulia itu, tersembunyi ego dan kebutuhan untuk mempertahankan hierarki kekuasaan. Dalam kacamata psikologi sosial, fenomena ini bisa dijelaskan melalui teori konformitas dari Solomon Asch di mana individu cenderung mengikuti perilaku kelompok meski bertentangan dengan nilai moral pribadinya.

Di lingkungan kaderisasi atau organisasi kampus, tekanan sosial untuk “patuh pada senior” bisa begitu kuat hingga seseorang lupa bahwa yang ia lakukan sesungguhnya menyakiti orang lain. Lebih parah lagi, teori deindividuasi dari Philip Zimbardo menggambarkan bagaimana seseorang bisa kehilangan rasa tanggung jawab pribadi saat menjadi bagian dari kelompok besar. Inilah yang membuat kekerasan, ejekan, dan penghinaan bisa terjadi tanpa rasa bersalah, karena pelaku merasa tindakannya adalah bagian dari “aturan bersama”.

Tragisnya, kekerasan semacam ini seringkali dinormalisasi. Kita terbiasa mendengar alasan “dulu juga kami digituin”, “ini mah ngga ada apa-apanya dulu kami lebih parah” dan lain sebagainya, seolah penderitaan menjadi tradisi yang pantas diwariskan. Padahal, dari sisi psikologis, normalisasi kekerasan hanya memperkuat siklus traumatik yang menular dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Mahasiswa baru belajar bahwa untuk diterima, mereka harus patuh dan diam melakukan apa saja yang diperintahkan. Mahasiswa lama belajar bahwa untuk dihormati, mereka harus menindas. Dalam iklim seperti ini, empati pelan-pelan mati, dan manusia kehilangan sisi kemanusiaannya di ruang yang seharusnya mendidik.

Yang lebih menyedihkan, di Indonesia, belum banyak tindakan serius yang benar-benar memberikan efek jera kepada pelaku pembulian. Banyak kasus berhenti di meja mediasi, disapu dengan alasan “demi nama baik kampus”. Padahal dari perspektif psikologi hukum, impunitas seperti ini justru memperkuat perilaku agresif. Ketika pelaku tidak mendapatkan konsekuensi yang tegas, mereka belajar bahwa kekerasan adalah cara yang sah untuk mempertahankan dominasi. Inilah yang disebut reinforcement sosial negatif perilaku buruk yang terus muncul karena tidak ada hukuman nyata yang membuat pelaku belajar untuk berhenti.

Kasus Timothy seharusnya menjadi cermin besar bagi seluruh institusi pendidikan. Bahwa pendidikan tanpa nilai kemanusiaan hanyalah formalitas tanpa makna. Tidak ada pembenaran apapun bagi kekerasan yang mengatasnamakan pembentukan karakter.

Kampus Harus Menghilangkan Budaya Dominasi

Jika kampus tidak berani merevisi budaya senioritas yang toxic, maka tragedi serupa hanya tinggal menunggu waktu. Dari perspektif psikologi moral, ini adalah bentuk disengagement moral ketika individu melepaskan tanggung jawab etisnya dengan alasan “semua orang juga melakukannya”. Di titik inilah peran psikologi menjadi penting, bukan hanya untuk memahami perilaku pelaku, tapi juga untuk membangun sistem pencegahan berbasis empati dan kesadaran sosial.

Kita tidak bisa terus menutup mata dan berharap perubahan terjadi dengan sendirinya. Kampus harus mulai menanamkan budaya dialog, bukan dominasi. Senior harus menjadi contoh, bukan penguasa. Pendidikan yang sejati adalah proses memanusiakan manusia, mengajarkan bagaimana menjadi individu yang berakal, berperasaan, dan beradab. Harusnya kasus Timothy menjadi peringatan keras bahwa setiap bentuk kekerasan yang kita biarkan, sesungguhnya sedang kita wariskan. Dan mungkin, di antara tawa, seragam organisasi, dan yel-yel kebanggaan itu, ada jiwa yang perlahan kita bunuh bersama.

  • About
    Redaksi IMM Surabaya

Leave A Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like