Saya pernah berkata kepada teman-teman yang berkuliah di fakultas pendidikan, selama guru belum sejahtera maka fakultas pendidikan hanya akan menciptakan masyarakat pra sejahtera baru. Dalam hati, jujur saya tidak ingin perkataan ini menjadi kenyataan. Karena saya sendiri merupakan orang yang berkuliah di fakultas pendidikan dan pasti akan mempengaruhi masa depan nanti.
Namun perkataan semacam ini tidak mengada-ada. Kehidupan saya tidak jauh dari dunia pendidikan. Sejak kecil, saya dikelilingi oleh pelaku pendidikan. Bapak saya seorang guru, kedua kakak saya pun juga seorang guru. Bahkan rumah saya dikelilingi gedung sekolah. Sejak kecil pembahasan keluarga saya tidak jauh dari permasalahan sekolah, gaji guru, bahkan kesejahteraan guru, terutama guru honorer.
Seringkali saya mendengar, bahkan terkadang saya menemukan slip gaji guru-guru yang mengajar di dekat rumah saya. Gaji rata-rata mereka tidak sampai satu digit. Beberapa guru malahan cuma digaji Rp. 300.000. Saya sering berpikir bagaimana cara mereka bertahan hidup menghidupi keluarga dan anak mereka dengan gaji yang minimalis itu. Belum lagi ketika gaji mereka ditunda pembayarannya.
Padahal kita tahu, guru adalah posisi yang paling terhormat di negeri ini. Tak berlebihan jika berkata guru adalah penentu nasib bangsa. Karena generasi selanjutnya ditentukan oleh didikan dari guru. Namun, untuk posisi sepenting dan terhormat ini, gaji guru malah seperti guyonan. Guru honorer terutama, mereka yang paling menderita dengan gaji dan beban kerja selain mengajar. Belum lagi kalau diimingi kata “mengabdi”.
Bermacam-macam perkataan orang terkait hal ini. Semisal, “Kalau gaji guru kecil, kenapa masuk fakultas pendidikan dan mencoba jadi guru?” Sering saya ditanya orang tentang ini dan jawaban saya tentu, “Biyen ga kepikiran”. Namun sekarang saya malah bertanya balik, apakah profesi dengan gaji rendah itu harusnya dihapus atau harusnya dihargai dengan lebih baik?
Jika dipikir kembali, seharusnya orang-orang tidak boleh menyarankan jangan menjadi guru. Sebaiknya, menyuarakan agar gaji guru ditingkatkan dan guru disejahterakan dengan layak. Meski demikian, tetap ada juga yang menyarankan, “Kenapa tidak cari sekolah elit yang gajinya besar?”
Sebetulnya hal itu sudah sering dilakukan beberapa guru sekarang. Terutama guru dari generasi muda. mereka sering berpindah-pindah sekolah tempat mengajar karena gajinya kurang cocok.
Namun apa hasilnya? Ketika mereka pindah, maka posisi yang mereka tinggalkan akan diisi dengan orang lain dan orang itu yang akan merasakan penderitaan selanjutnya. Jadi berpindah tempat mengajar bukanlah solusi dari rendahnya gaji guru.
Harusnya berapa gaji yang dibayarkan ke guru? Ada sebuah cerita yang saya dengar dari seorang guru. Suatu ketika di sekolah datang alumni yang ingin mengambil ijazah. Ketika datang, dia sempat mengobrol kepada gurunya kalau sudah bekerja sebagai buruh pabrik di kota.
Kemudian alumni tersebut menceritakan gajinya yang sudah UMR. Ironisnya guru yang diajak mengobrol ini gajinya hanya seperdelapan gaji muridnya.
Menurut saya pribadi, gaji guru harus diatur agar cukup untuk kehidupan sehari-hari. Selayaknya UMR yang dihitung berdasarkan kebutuhan sehari-hari pekerja. Gaji guru harus dihitung seperti itu pula. Sebab guru juga manusia yang perlu makan, minum, menyekolahkan anaknya, membayar listrik, dll.
Guru bukanlah alat pengajaran yang bisa diperlakukan seenaknya, bukan pula robot yang diperintah mengurus administrasi, bukan pula penitipan anak yang ditinggal orang tuanya kerja. Maka dari itu, selama nasib guru belum sejahtera, maka bagi saya fakultas pendidikan dan universitas pendidikan hanyalah tempat calon masyarakat pra sejahtera berkumpul.
*Penulis adalah Anggota Bidang HPKP PC IMM Kota Surabaya.