Hermeneutika Gerakan Dakwah Ikatan

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Muhammad Habib Muzaki)

 

Muhammadiyah memaknai dakwah sebagai gerakan transformasi sosial, bukan sekadar ritual keagamaan.

Haedar Nashir mengulas, jika ditelusuri genealoginya, dalam Statuten Muhammadiyah 1912 (Anggaran Dasar Pertama Muhammadiyah), Kyai Dahlan dan pencetus awal merumuskan bahwa ada tiga landasan utama gerakan dakwah Muhammadiyah.

Ketiganya yaitu: 1) Menyebarluaskan Ajaran Agama. 2) Memajukan hal ihwal agama. 3) Menggembirakan kehidupan beragama. Semua ini mencerminkan semangat untuk memperbarui agama dalam rangka menjawab tantangan zaman (zeitgeist).

Kyai Dahlan kecewa melihat ulama saat itu tidak memikirkan solusi bagi masalah-masalah sosial. Banyak kyai mengisi taklim, menjadi khatib, tapi yang diajarkannya tak mampu memberi solusi untuk masalah di sekelilingnya.

Agama berhenti di mimbar masjid, sepulang mengaji orang-orang menahan lapar tak punya uang untuk makan. Itulah yang menggetarkan hati kyai Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah.

 

Mubaligh Ikatan

Sayangnya, mubaligh kegiatan tabligh di Ikatan sekarang, seakan mengulangi pola yang sama. Di IMM, mayoritas masih membatasi tabligh pada kajian dan khutbah dari mimbar ke mimbar. Sesempit itu. Tentunya, tak ada bedanya dengan illat “kyai mimbar” di masa kyai Dahlan dulu.

Seakan tugas mubaligh hanya kultum, Imam lalu mendapat dapat amplop salam. Karena lemahnya gerakan tabligh ini, akibatnya iklim religiusitas di ikatan terasa kering.

Oleh karenanya, tiga rumusan pikiran Kyai Dahlan dahulu, sebagai representasi gerakan tabligh itu haruslah di-hermeneutika-kan oleh para mubaligh hari ini.

Dalam artian merujuk dari sumber langsung lalu mengambil makna inti dakwah yang diperjuangkan kyai Dahlan secara substansial, agar dikontekstualisasikan pada realitas kekinian.

Upaya menjernihkan maksud tabligh di ikatan begitu penting, supaya nilai-nilai asli “tabligh” dapat ditangkap oleh mubaligh ikatan, yang sayangnya, makna luasnya telah menyempit sebatas proker turun-temurun. Alhasil, jadilah mubaligh dakwah bil proker.

Tulisan ini mencoba menggali apa saja substansi tabligh yang dilakukan kyai Dahlan dahulu, lalu direfleksikan kepada kondisi Ikatan hari ini.

 

Meredefinisikan Tabligh

Lebih luas tentang tabligh, Kuntowijoyo dalam Sani (2011) menyatakan bahwa tabligh yang dilakukan kyai Dahlan memiliki dua tujuan: menentang idolatri ulama dan penghilangan mistifikasi agama.

Saat itu (tahun 1912-an), kyai atau mubaligh menjadi orang sakral karena tugasnya menyampaikan ayat-ayat Tuhan. Konsekuensi sosialnya mereka memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Ulama dianggap sakral, diangkat ke posisi tinggi, namun cenderung menjauhkan mereka dari masyarakat.

Kyai yang bersinggasana di mimbar itu diubahnya menjadi penyampai agama sebagai orang sehari-hari. Hal ini dicontohkan kyai Dahlan yang melebur dengan membantu para mustadhafin. Agama menjadi accesible kepada semua orang.

Manfaatnya harus dirasakan seluruh orang. Karena memang semestinya begitu, rahmatan lil alamin. Mubaligh hari ini harus menemukan kemuliaan dakwah bukan di atas mimbar, tetapi dalam keberpihakannya pada kaum lemah dan tertindas.

Dakwah bagi Kuntowijoyo (2004) selain pemberdayaan sosial (humanisasi) juga ada upaya pembebasan (liberasi). Kyai Dahlan juga melakukannya dengan membeaskan hidup orang mustadhafin dari kemiskinan terstruktur, status quo saat itu.

Suksesnya tabligh yang dilakukan Kyai Dahlan karena mampu menemukan kunci persoalan masyarakat dengan membaca tanda-tanda zaman. Dengan berpikir melampaui batas tradisi dan zamannya.

Seorang mubaligh haruslah selalu baru dalam berpikir. Mubaligh hari ini harus peka kepada apa-apa yang sedang mengekang.

Concern mubaligh bukan sekadar permasalahan fikih, sah atau tidaknya ibadah, tapi kesejahteraan sosial sebagai implementasi nilai keagamaan yang mereka pelajari dan sampaikan itu harus mereka perhatikan.

Agama adalah huda (petunjuk), rahmah (kasih sayang, kebaikan), dan busyro (kabar gembira). Konsekuensi logisnya, Allah Swt menurunkan Islam kepada manusia, supaya dengan petunjuk itu masalah kemanusiaan dapat diselesaikan. Sehingga manusia merasakan kegembiraan dan kebaikan dengan kehadiran agama.

Bagaimana dakwah menjadi menggembirakan jikalau masyarakat yang didakwahi (mad’u) terjerat masalah-masalah di hidupnya.

Muhammad Iqbal dalam Mohamad (2021) pernah menyatir para sufi yang mengejar keilahian itu. Bahwasannya Rasulullah, Muhammad yang sudah sampai mi’raj langit tertinggi itu masih memilih untuk kembali ke dunia untuk menyampaikan risalah bagi umat manusia. Untuk menyelesaikan masalah kemanusiaan universal.

Nurcholis Madjid (1999) memaparkan kalaulah ulama (mubaligh) adalah pewaris Nabi, dan tugas para Nabi adalah pengajar sekaligus penegak dan penjaga moralitas (moral force) dalam masyarakat (liutammi makarima Al-Akhlaq).

Dalam Q.S. At-Taubah ayat 122, tugas mubaligh juga selain liyatafaqqahu fi Ad-Din (mendalami keilmuan agamanya) ialah untuk liyundziru qaumahum (merealisasikan keilmuannya tadi kepada kaumnya).

Oleh karenanya, memperjelas definisi tabligh beriringan dengan memperjelas dan mengevaluasi peta berpikir dan berdakwah para mubaligh Ikatan kita hari ini. Meminjam istilah Imam Ghazali sebelum membenahi kondisi umat semestinya para ulama melakukan naqd dzati (mengevaluasi ulang diri sendiri), barulah setelahnya melakukan ishlah (perbaikan) (Al-Kilani, 2019).

 

Dakwah yang Dibutuhkan Hari Ini

Sedari awal IMM diprospek sebagai tujuan eksponen Muhammadiyah di lingkungan mahasiswa. Dan, yang menjadi tugas substansial Muhammadiyah adalah sebagai gerakan dakwah. Sani (2011) menyatakan bahwasannya Ikatan adalah lahan dakwah Muhammadiyah pada kaum akdemisi.

Tidak salah memang jika bidang tabligh dan pelatihan kemubalighan orientasinya adalah untuk menyiapkan dai di masa yang akan datang. Cakap dalam dalam ilmu syariat, fikih, hingga akidah.

Akan tetapi kurang tepat juga, jika mubaligh Ikatan ini melupakan mad’u (target dakwah) utamanya. Yaitu dunia mahasiswa dan segala problematikanya.

Jikalau mad’u kyai Dahlan adalah masyarakat Kauman dan Keraton Yogyakarta dengan segala carut marut sosio-politiknya. Maka, mubaligh Ikatan harusnya menaruh perhatian lebih dengan mad’u para mahasiswa dan kondisi ikatannya.

Dari dinamika politik, perkaderan, sosiologi, hingga kanan-kiri arus pemikiran yang berkembang terus bergulir di dalamnya, mubaligh Ikatan semestinya memiliki kecakapan untuk memahami realitas lapangan dakwahnya.

Ini juga dilakukan para ulama dahulu. Imam Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin juga mengkritik para ulama yang sibuk berdebat masalah khilafiyah, dan memotivasi mereka agar melakukan amal nyata yang lebih penting dan tindakan praktis (praktek aksi langsung) (Al-Kilani, 2019).

Ini juga dipraktikkan kyai Dahlan, saat itu problemnya gerakan Islam tidak terorganisir dengan baik, maka sang kyai belajar cara berorganisasi dan kepengurusan dengan Boedi Oetomo (Purwanto, 2023).

Maka mubaligh Ikatan perlu menirunya. Jika yang menjadi masalah kepemimpinan, maka jadilah mubaligh yang pakar teori kepeimpinan, untuk membantu mad’u menyelesaikan masalah. Ini juga berlangsung di Komisariat, akar rumput yang merepresentasikan prodi dan fakultasnya.

Jika mad’u-nya adalah orang-orang ekonomi, maka jadilah mubaligh yang ekonom, mengerti kondisi makro dan mikro ekonomi, lebih-lebih adu aset saham. Jika di lingkungan filsafat, maka jadilah mubaligh yang filsuf, khatam sekalian teori Marx hingga as-sabiqunal awwalunnya filsuf Yunani kuno. Jika di lingkungan sastra, maka jadilah mubaligh yang sastrawan, dst.

Dengan itu diharapkan ketika segala lini tersentuh dan terdapat peran mubaligh di sana, maka akan ada nafas Islam di setiap gerakan kita. Dan, besar harapan terwujudnya iklim religiusitas di ikatan.

Banyak sebenarnya tantangan dakwah kita di ikatan jika kita mau menyadari. Di beberapa Komisariat tumbuh subur lingkungan kader yang tidak sholat, tentunya ini perlu di analisa, kenapa bisa terjadi demikan.

Ada juga teori-teori politik di ikatan yang ter-frameowk pemikiran dari Barat tanpa menyaring dahulu, dari kiri ke kanan. Dan, bermacam-masalah lainnya. Itu semua perlu peran mubaligh untuk berani masuk, mengkaji, menganalisa, lebih-lebih merisetnya untuk memberikan solusi agar nafas Islam tetap hidup di tiap gerakan kita.

 

Dakwah Kolaboratif

Jika bukan pakar di sana, maka berkolaborasilah. Muhammadiyah sendiri ketika mendapati masalah baru, mereka menerakpan Ijtihad kolektif (jama’iy), yakni dengan mengumpulkan beberapa pakar untuk berdiskusi dan mengkajinya.

Para mubaligh Ikatan pun demikian, membuka kolaborasi dengan segala sektor yang ada. Misalnya, jika ingin melakukan analisa dakwah secara tepat, maka berkolaborasi dengan Cendekiawan Intitute untuk melakukan riset.

Jika ingin tahu cara untuk dakwah ke masyarakat secara tepat dan efektif, maka kolaborasinya dengan Ruang Pemberdayaan. Atau bagaimana agar dakwah ini terdigitalisasikan di media sosial, maka bisa berkolaborasi dengan teman-teman yang ada di Bidang Media dan Komunikasi. Masih banyak lagi contoh lainnya.

Karena memang harus diakui, tantangan zaman semakin hari semakin pelik dan beragam, sementara tidaklah mungkin mubaligh secara perseorangan sendiri mampu menguasai semua hal itu.

Pun dengan adanya sisi kolaborasi itu kita tidak saling lempar tugas, yang bagian dakwah biar urusannya Tabligh dan KM3, yang ke masyarakat SPM, yang politik biar urusannya HPKP, yang mengkader biar Instruktur. Padahal semuanya satu sama lain harus saling bersinergi. Bukannya terdikotomi. Supaya dengannya agama, ilmu dan amaliah tidak terpisah-pisah.

Al-Kilani (2019) mengamati penyebab kemunduran umat Islam di abad pertengahan dikarenakan terjadinya disintegrasi antara madrasah para ulama dengan institusi-institusi pemerintahan. Hal ini yang membuat macetnya kemajuan Islam, karena berjalan sendiri-sendiri. Aku di sini dan kau di sana.

Oleh karenanya, dakwah tidak harus one man show, tapi dengan kolaborasi, gerakan tabligh akan lebih matang dan masif menjawab problematika dakwah.

Inilah substansi tabligh dan dakwah yang dicita-citakan kyai Dahlan. Menghadirkan corak dakwah yang mencerahkan bagi umat. Semoga penyegaran makna tabligh ini tidak berhenti di tulisan, tapi berlanjut dalam diskusi-diskusi, dan bermuara pada pengaplikasian nyata.

Meminjam quotes Jenderal Soedirman dengan sedikit modifikasi, “Jadi kader dan mubaligh Muhammadiyah itu berat, kalau ragu dan bimbang lebih baik pulang.”


 

*Penulis adalah Anggota Bidang RPK IMM Komisariat Al-Faruq Periode 2023-2024, Ketua Umum KM3, dan Anggota Cendekiawan Institute.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *