Distopia: Indonesia (C)emas 2045, Bonus yang Menjadi Beban?

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Muhammad Habib Muzaki)

 

Sering kali kita menafsirkan bahwa bonus demografi adalah suatu hal yang baik bagi suatu negara atau wilayah. Namun bagaimana jika bonus yang didambakan tadi berubah menjadi beban dan distopia?

Agaknya kita perlu berkaca pada negara-negara lain yang pernah mengalami bonus demografi. Korsel dan China adalah contoh dari kesuksesan memanfaatkan bonus demografi. Namun lain halnya dengan Brasil dan Afrika Selatan, bonus yang mereka dambakan berubah menjadi “beban”.

Jika ditanya, siapa yang paling bertanggung jawab akan kegagalan atau kesuksesan dalam pemanfaatan bonus demografi? Jawabannya, pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah akan sangat berpengaruh.

Seperti Korsel misalnya, pemerintahan mereka merubah strategi Pendidikan mereka menjadi Pendidikan “orientasi produksi”. Sebuah sistem Pendidikan yang membekali mereka pengetahuan dan skill yang dibutuhkan untuk menyukseskan pengembangan ekonomi, khususnya di bidang produksi dan industri manufaktur (PRB, 2012).

Contoh lainnya adalah pemerintah China. Mereka melakukan peningkatan yang substansial dalam investasi pendidikan dan pengembangan kemampuan masyarakat. Caranya adalah dengan mendatangkan banyak tenaga pengajar dari Amerika Serikat untuk mengajar generasi muda mereka yang duduk di universitas (Rahmadi, 2021).

Setelah kedua negara ini berhasil dalam mengembangkan pendidikannya demi menciptakan sumber daya manusia yang mumpuni, mereka juga membangun industrialisasinya. China dengan industri komponen elektronik dan Korsel dengan industri gadgetnya.

Kemudian selain kedua aspek tersebut, Korsel juga melakukan pemerataan dalam ekonomi mereka. Mulai dari mengembangkan industri pertanian, perikanan, manufaktur, hingga perkapalan. Tidak hanya itu, mereka juga melebarkan sayapnya pada industri yang memiliki nilai jual tinggi. Seperti industri kimia, besi, dan baja. Semua ini kemudian berdampak positif bagi neraca perdagangan Korsel (PRB, 2012).

Dua negara tersebut adalah contoh dari “utopia” bonus demografi. Kemudian, distopia seperti apa dari bonus demografi? Untuk merasakannya, mari kita terbang sejenak ke Brasil dan Afrika Selatan.

Seperti yang kita ketahui bahwa Brasil dan Afrika Selatan adalah merupakan dua contoh dari kegagalan dalam memanfaatkan bonus demografi. Seperti yang tercatat dalam sejarah bahwa periode bonus demografi yang dialami Brasil dimulai dari tahun 1970 dan berakhir pada tahun 2018.

Brasil gagal memanfaatkan bonus demografi tersebut karena pada saat itu negara ini sedang mengalami resesi ekonomi. Sehingga, pertumbuhan perekonomian mereka tidak stabil. Kemudian disusul oleh kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan sumber dayanya dialokasikan untuk mengamankan kebutuhan sosial dan pensiun.

Karena hal ini, Brasil mengalami defisit dalam anggaran mereka. Kemudian berakhir pada ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan pendidikan yang berkualitas, kesehatan, infrastruktur, dan lapangan pekerjaan (Rahim, 2020).

Dari kasus Brasil ini kita dapat mengambil Kesimpulan bahwa kebijakan pemerintah sangat berpengaruh terhadap kesuksesan dalam menangani bonus demografi. Bermula dari salahnya prioritas alokasi anggaran yang dilakukan pemerintah, kemudian berakibat pada ketidakmampuan untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan juga lapangan pekerjaan.

Kemudian Afrika Selatan, masalah utama yang dihadapi oleh negara ini adalah tingginya angka pengangguran. Selain itu, dibarengi juga dengan dengan pertumbuhan yang tidak seimbang antara jumlah angkatan pekerja dengan jumlah lapangan pekerjaan.

Hanya sebagian dari angkatan kerja tersebut yang mendapatkan pekerjaan. Selain itu ada masalah lain yang dihadapi oleh Afrika Selatan, yaitu masalah pendidikan. Afrika Selatan gagal melakukan sinkronisasi antara kurikulum pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja, sehingga pada saat itu mengakibatkan tingkat pengangguran sebesar 53% pada generasi milenial. Mereka menganggur karena tidak terserap pasar tenaga kerja (Rahim, 2020).

Sebelum mendapatkan bonus demografi, Afrika Selatan pada awalnya memang sedang menghadapi masalah angka pengangguran yang cukup tinggi. Kemudian hadirlah bonus demografi yang semakin memperparah kondisi pengangguran pada negara tersebut.

Perkembangan industrialisasi, perkembangan pendidikan, perkembangan jumlah angkatan kerja di negara tersebut tidak sinkron sehingga mengakibatkan terjadinya angka pengangguran yang lebih tinggi lagi.

Kemudian bagaimana dengan Indonesia, mau ke arah manakah Indonesia ini, distopia atau utopia? Mari kita lihat dalam hal pendidikan terlebih dahulu. Kita bisa melihat ranking Indonesia dalam PISA (Program For International Student Assessment).

Kemendikbud (2023) menjelaskan bahwa Indonesia pada tahun 2022 mengalami kenaikan 5-6 peringkat PISA dan hal ini lebih baik dari tahun 2018. Namun rata-rata nilai pada tahun 2022 dalam hal matematika, membaca, dan sains mengalami penurunan dibanding nilai pada 2018 (OECD, 2022).

Dalam aspek lain misalnya, Nadiem Makarim pernah mengatakan bahwa, “Banyak sekali kita mendapat masukan dari berbagai macam rekruter, berbagai macam perusahaan di Indonesia bahwa mereka sulit sekali mendapatkan lulusan yang siap kerja ya, 8 dari 10 perusahaan di Indonesia.” Hal ini disampaikan saat peluncuran Merdeka Belajar Episode 20: Praktisi Mengajar (Medcom.id, 3/6/2024).

Dari dua data di atas kita dapat mengambil Kesimpulan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih dipertanyakan. Mulai dari kemunduran nilai rata-rata pada PISA 2022 hingga kurikulum pendidikan yang tidak sinkron dengan kebutuhan dunia kerja. Dua kekurangan tersebut akan menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya angka pengangguran seperti yang dialami oleh Afrika Selatan.

Sejak Q3 2020, angka pengangguran di Indonesia menurun cukup signifikan, yaitu dari angka 7,07% ke angka 4,82% pada Q1 2024. Meski demikian, sepertinya negara belum bisa menjamin bahwa mereka yang sekarang sedang menyandang gelar pekerja memiliki gaji yang layak.

Oke, kita akan coba menggunakan indikator pendapatan per kapita untuk melihat seberapa parah ketimpangan gaji tersebut. Di tahun 2022, pendapatan per kapita mayarakat Indonesia di angka Rp71 Juta per tahun atau kurang lebih 5,9 juta per bulan. Apakah saat ini semua orang mendapatkan gaji 5,9 juta per bulan? Tentu tidak.

Indikator yang digunakan untuk mengukur pendapatan per kapita adalah mean (rata-rata). Misal dalam annual report PT. Bank Central Asia Tbk. (BBCA) terdapat laporan pendapatan yang didapatkan oleh para direktur yang sebanyak 12 orang sebesar 504 Miliar.

Jika dirata-rata, maka masing masing akan mendapat sebesar Rp 3,5 M tiap bulannya. Meski ini hitungan kasar dan jumlah tersebut bukan full cash (Sebab ada yang berupa fasilitas dan lain-lain). Pendapatan per kapita 12 orang ini bisa mengangkat rata-rata pendapatan 1.000 orang dengan gaji real sebanyak Rp3,5 per bulan, menjadi 44,9 juta per bulan.

Jelas indikator mean ini sangat tidak efisien. Karena seorang yang berpendapatan kecil akan terangkat rata-ratanya karena ada orang yang berpendapatan lebih besar. Seharusnya kita menggunakan indikator modus (angka paling banyak muncul), untuk mengetahui lebih detail kondisi pendapatan dan keuangan masyarakat.

Kemudian dalam hal industrialisasi. Kita akan menggunakan indikator Manufacturing PMI. Bermula ada kenaikan yang cukup signifikan pada Q1 2024 ke angka 53,7, kemudian mengalami penurunan yang cukup signifikan di bawah batas minimal Manufacturing PMI (50) ke angka 49,3 di bulan Juli. Dari indikator ini, kita bisa melihat bahwa Indonesia mengalami pelemahan dalam hal pertumbuhan ekonomi dan jumlah lapangan pekerjaan.

Dari indikator-indikator yang disampaikan di atas, kita dapat mengambil Kesimpulan bahwa, sekarang Indonesia sedang tidak berada pada jalur yang benar untuk menyambut bonus demografi.


 

*Penulis adalah Anggota Bidang RPK IMM Komisariat Al-Faruq.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *