catatan 3; Kritik untuk Bidang Kader

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Muhammad Habib Muzaki)

 

Kira-kira, 12 menit yang lalu, DPD IMM Jawa Timur telah resmi dilantik. Sekiranya, jika ada satu bidang yang harus sangat disorot, maka itu adalah Bidang Kader.

Pasalnya, banyak sekali PR untuk bidang satu ini. Salah satunya adalah kurang jelasnya beberapa poin di dalam Sistem Perkaderan IMM (2022).

Hal ini tentu masalah. Sebagai rujukan utama untuk semua kegiatan perkaderan, tentu SPI adalah kunci. Sebab SPI adalah landasan filosofis, ideologis, dan yuridis bagi organisasi.

 

Sebenarnya, Kita Menuju Apa?

Tujuan IMM, agaknya masih membingungkan. Bunyinya adalah, “Mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah”.

Apa itu akademisi Islam yang dimaksud? Dalam KBBI, akademisi adalah orang yang berpendidikan tinggi atau anggota akademi.

Sementara itu, dalam Perpres RI No. 11 Tahun 2022, akademisi adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Konsep akademisi mana yang dipakai oleh IMM? Apakah IMM punya pemaknaannya sendiri terhadap diksi akademisi? Kalau iya, lantas apa?

Di sisi lain, istilah akademisi nampaknya juga seringkali tertukar dengan istilah intelektual, cendekiawan, atau bahkan ilmuwan.

Kita sering mendengar istilah seperti intelektual profetik maupun cendekiawan muslim. Apakah semua itu sama dengan akademisi Islam?

Kita perlu mempertimbangkan apa yang pernah dikatakan oleh Radius Setiyawan dalam sebuah artikel berjudul Mengapa Memilih Akademisi? (Urgensi Membumikan Kata Akademisi Islam).

Ia menulis begini, “Kata intelektual profetik dalam posisi domino secara otomatis akan mereduksi eksistensi kata akademisi Islam yang jelas-jelas itu menjadi tujuan Ikatan.”

Tulisan lama itu sebenarnya mencoba untuk mempertanyakan makna akademisi Islam di tengah populernya diksi intelektual profetik. Artinya, pertanyaan definitif semacam ini sangat penting, yang sayangnya belum dituntaskan hingga sekarang melalui SPI.

 

Trilogi dan Tri Kompetensi

Harus diakui bahwa, penjelasan trilogi dan tri kompetensi di dalam SPI sangatlah ngalor-ngidul. Tidak ada pendefinisian yang jelas soal apa itu trilogi. Apakah ia arena gerakan? Atau ia adalah batas teritori gerakan IMM?

Pendefinisian religiusitas, intelektualitas, dan humanitas juga tidak jelas. Apa perbedaan ketiganya? Memang, ketiganya adalah sesuatu yang bersifat holistik, saling terintegrasi satu sama lain. Namun tetap saja, ketiganya harus diberikan definisi yang tuntas.

Di sisi lain, dalam bahasa kuantitatif, ketiganya dapat disebut sebagai variabel, dan haruslah memiliki dimensi serta indikator. Hal ini penting agar ketiganya memiliki bentuk yang jelas.

Kejelasan ini berguna untuk melakukan pengukuran. Sehingga kita bisa tahu, apakah kader sudah mencapai kompetensi tersebut atau belum.

Sebenarnya, SPI sudah menyebutkan hal-hal yang terkait standar kompetensi tersebut. Tepatnya pada bagian output DAD, DAM, dan DAP.

Namun sayangnya, output ini tidak jelas asal-muasalnya. Misalnya pada output DAD di aspek religiusitas, yaitu tartil dalam membaca Al-Qur’an dan dapat menuliskannya, ibadah mahdlah sesuai Majelis Tarjih, serta memahami ideologi Muhammadiyah.

Ketiga tentu adalah positif. Namun, mengapa hanya tiga itu? Apa dasarnya? Apakah bagi kader dasar, religiusitas hanya “sesingkat” itu?

Semua pertanyaan ini muncul bukan tanpa sebab. Yaitu karena memang belum jelasnya apa itu religiusitas yang dimaksud oleh SPI. Hal yang sama berlaku juga pada intelektualitas dan humanitas.

Pada output DAD di aspek intelektualitas, ada dua yaitu memiliki etos belajar yang tinggi dan progresitifas dalam mengembangkan potensi pribadi.

Apa itu etos belajar? Teori apa yang digunakan untuk mendefinisikan etos belajar? Belajar yang bagaimana? Apa itu belajar? Di sisi lain, apa itu potensi pribadi? Teori apa yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi potensi?

Mengapa intelektualitas untuk kader dasar hanya sebatas dua itu? Lalu, mengapa berpikir kritis malah diletakkan sebagai output DAM? Apakah kader dasar tidak perlu berpikir kritis?

Lalu bagaimana dengan humanitas? Mengapa output DAD adalah menjadikan masjid sebagai basis interaksi sosial, sedangkan output DAM adalah mampu melakukan transformasi sesuai dengan disiplin ilmu pengetahuan yang dimiliki?

Soal transformasi sesuai dengan disiplin ilmu, mengapa hal ini masuk ke humanitas dan bukan intelektualitas?

Sekali lagi, religiusitas, intelektualitas, dan humanitas sangat penting untuk diperjelas lewat sebuah definisi. Jika perlu, lewat etimologi, hingga genealogi, untuk menghasilkan suatu variabel yang matang.

Varibel dari ketiganya nanti, akan memiliki suatu dimensi hingga indikator yang dapat diukur. Dengan demikian, pengukuran dapat lebih mudah dilakukan untuk memastikan kader sudah mencapai standar kompetensi.

 

Mengilmiahkan SPI

Berdasarkan observasi penulis sendiri, selama ini, pengetahuan kita soal perkaderan lebih bersifat foklor daripada ilmiah. Perkaderan yang dilakukan pun lebih sering berbasis pengalaman dibanding ilmu.

Ilmu sebenarnya juga termasuk bagian dari pengetahuan. Suriasumantri (2013) menjelaskan bahwa imu adalah pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah.

Kebenaran yang dihasilkan dari kegiatan metode ilmiah dapat lebih dipertanggungjawabkan. Sebab melibatkan metodologi untuk menghasilkan pengetahuan yang valid dan kemungkinan benarnya lebih tinggi dibanding pengetahuan biasa.

Dalam konteks perkaderan, maka ilmu berbeda dengan pengetahuan yang didapatkan melalui pengalaman mengkader. Bagaimana menyelesaikan masalah perkaderan hari ini, terlebih di tengah zaman yang senantiasa berubah dengan cepat? Penulis rasa, kata kuncinya ada di ilmu. Maka, riset pun menjadi harga mati.

Dalam hal ini, riset-riset tentang perkaderan dapat dilakukan untuk menghasilkan ilmu sebagai dasar untuk mengembangkan muatan-muatan yang terkandung di dalam SPI.

Misalnya, bagaimana merubah kader yang awalnya tidak suka membaca menjadi gemar membaca? Kita bisa melakukan studi pustaka sebagai riset pertama.

Kemudian, mencari Komisariat yang telah berhasil melakukannya. Kita bisa melakukan riset di Komisariat tersebut untuk membuktikan hipotesis awal. Hal ini dapat menjadi riset lanjutan.

Setelah banyak dilakukan riset di berbagai tempat, dengan metode dan pendekatan yang beragam, hal ini dapat dimasukkan di dalam SPI agar rumusan di dalamnya menjadi lebih ilmah.

Tentunya, harapan ini dapat kita lemparkan kepada Bidang Kader DPD IMM Jawa Timur. Dengan banyaknya cabang dan Komisariat yang dimiliki, DPD IMM Jawa Timur dapat lebih memaksimalkan potensi sumber daya ini untuk bersama mengembangkan SPI.

Sebuah hasil yang nantinya, dapat disuarakan sampai di tingkat pusat. Dengan ini, harapannya SPI di masa depan dapat menjadi rujukan yang lebih metodologis.


 

*Penulis adalah Sekretaris Bidang RPK PC IMM Kota Surabaya dan Anggota Cendekiawan Institute.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *