Berlari dan Menyelami Samudera Cinta Rumi

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Rafif Burhanuddin M

 

“Maulana Rumi telah menyulap bumiku menjadi permata, dengan tanah liatku, ia bentuk semesta laksana surga” (Sir Muhammad Iqbal)

Salah satu tokoh pemikir islam kontemporer, Muhammad Iqbal menggambarkan Maulana Rumi sebagai simbol utama tentang ‘cinta’. Maulana Rumi merupakan salah seorang sufi yang sering menggemakan nada-nada cinta disetiap aliran dalam semesta melalui syair-syair yang dibuatnya.

Rumi mendefinisikan cinta sebagai suatu rasa yang memiliki kecenderungan terhadap sesuatu secara total. Dan cinta lebih penting daripada diri sendiri, serta akan melakukan apapun secara sukarela terhadapa apa-apa yang dicintainya. Tentang cinta, setiap manusia akan mengalami kebimbangan dalam mengartikannya (Octafany, 2021). Bahkan kita semua akan mengalami kebingungan dalam mendefinisikan ‘cinta’ itu sendiri. Cinta ialah cinta itu sendiri, tiada siapapun yang tau secara pasti mengenai cinta.

 

Biografi

Lahir di Balkh pada 30 September 1207 dan meninggal pada 17 Desember 1273 (Schimmel, 2024), dengan nama lengkap Jalaluddin Muhammad al-Baikh al-Qunuwi, bahkan Prof. Hamka menyebutkan bahwa Rumi memiliki nama lengkap Jalaluddin Muham-mad bin Muhammad bin Husayn al-Khatibi al-Bakri (Octafany, 2021). Sejak bertemu dengan gurunya Syamsuddin At-Tabrizi, Maulana Rumi kemudian berubah menjadi seorang pecinta, dan berkat beliaulah Rumi menghasilkan karya-karya terbesarnya.

Karya-karya Maulana Rumi masyhur berisi nasihat-nasihat, syair, dan berbagai ajaran tentang mistisme tasawuf. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain; Diwan as-Syamsi At-Tabrizi , Fihi Ma Fihi, Matsnawi, Rubaiyat, dan masih banyak lagi. Karya-karya yang dihasilkan oleh Rumi menjadi peninggalan paling monumental sepanjang sejarah, bahkan penyair-penyair sebelum Rumi, seperti Fariduddin Attar mengatakan bahwa kelak Rumi akan menjadi seorang yang menyalakan api spiritual dunia (Hajriansyah, 2015).

Semua karya Rumi menggemakan cinta atau mahabbah sebuah konsep paling agung dalam dunia sufi. Harun Nasution, dalam Octafany, 2021 mendefinisikan cinta yang dimaksud ialah cinta terhadap Tuhan. Hal tersebut ditegaskan oleh Abu Yazid Al-Bustomi yang menjelaskan cinta artinya mengabaikan segala sesuatu yang berasal dalam dirinya sendiri dan menganggap besar hal kecil yang berasal dari yang dicintai/dikasihi.

Ketika beralih membahas cinta, apa yang dapat kita ketahui tentang cinta. Bahkan Rumi menuliskan dalam Matsnawi :

Apapun yang  kukatakan dalam eksposisi dan penjelasan tentang Cinta, ketika sampai pada Cinta (itu sendiri), aku merasa malu dengan (penjelasan) itu. Ketika pena tergesa-gesa dalam menulis, pena itu terbelah pada dirinya sendiri begitu sampai pada Cinta.

Dalam menguraikannya (Cinta), akal terbaring (tanpa daya) seperti keledai di dalam lumpur; Cinta (sendiri) yang mengucapkan penjelasan tentang cinta dan kerudung kekasih. Bukti dari matahari adalah matahari (sendiri); jika kamu memerlukan bukti, janganlah memalingkan wajahmu darinya.”

Dari bait diatas, dijelaskan bahwa Maulana Rumi pun tidak mampu mendefinisikan secara pasti tentang cinta. Cinta merupakan proses pemurnian diri, sebagaimana yang dijelaskan oleh Haris Nasution bahwa cinta yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan.

Konsep cinta atau mahabbah Maulana Rumi ini dalam prosesnya untuk mencintai Tuhan tidak dapat secara langsung menuju kepada Tuhan, namun diperlukannya perantara yaitu dengan cara mencintai makhluk ciptaan-Nya. Seorang pecinta harus memiliki hati yang bersih dan suci, karena bagi seorang sufi hati merupakan jalan spiritual panjang menuju Tuhan (Hajriansyah, 2015).

Hati menjadi pusat spiritual cinta, oleh karena itu Rumi mengatakan :

Sejak kudengar dunia Cinta

Kuserahkan hidupku, hatiku

dan mataku di jalan ini

Mulanya, aku meyakini bahwa cinta

dan yang dicintai adalah berbeda

Kini, kupahami mereka adalah sama

Aku melihat keduanya dalam kesatuan

Dari syair puisi di atas, Rumi mengisyaratkan bahwa demi cinta semua yang berbeda jika dipandang melalui kacamata cinta akan menjadi sama dalam satu kesatuan. Cinta akan mengubah apapun yang berbeda menjadi satu kesamaan, karena begitulah cinta merupakan keindahan yang tak dapat dirasionalkan.

Akan tetapi, dalam memandang cinta kepada Tuhan, Rumi mengatakan bahwa cinta membutuhkan perantara karena terdapat keterbatasan akal dalam memandang Tuhan (Jannah, 2020). Pada level awal, akal dapat membantu membedakan manusia dengan binatang. Bagi Rumi, akal juga menjadi cahaya yang mengalir dalam hati, sehingga kebenaran dan kepalsuan dapat dibedakan melalui serpihan lenteranya. Namun untuk level yang lebih tinggi, akal hanya dapat mengantarkan manusia pada gerbang cinta ketuhanan.

 

Mistisme Cinta

Perihal cinta, tiada siapapun yang mengerti tentangnya. Cinta merupakan pemurnian sejati dari jiwa, yang tidak dapat diwakilkan melalui sebuah kata-kata. Maulana Rumi, berkata :

Sungguh, cinta dapat mengubah yang pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara berubah telaga, derita beralih nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat

Dari ungkapan di atas, Rumi ingin memberikan sebuah penjelasan bahwasanya melalui cinta kita dapat mengubah segalanya. Cinta yang sejati mampu mengubah sepercik debu menjadi bongkahan emas, artinya segala sesuatu yang nampak biasa saja, tidak bernilai, akan menjadi sesuatu yang sangat bernilai bila dipandang melalui kacamata cinta.

Penjelasan Rumi selaras dengan apa yang dituliskan oleh seorang penyair dari India, Rabindranath Tagore, yang menyatakan bahwa cinta haruslah mengantarkan pada sifat yang luhur dan bersifat transendental suci. Kesucian cinta akan abadi untuk selamanya, layaknya emas yang dipanaskan dalam tungku api yang panas, nilai sebuah cinta tak akan pernah hilang bagaimanapun bentuk cinta tersebut.

Salah satu aspek paling mendalam dari pemikiran Rumi adalah konsep kesatuan dalam cinta. Ia melihat bahwa melalui cinta, segala perbedaan melebur menjadi satu kesatuan. Ini tercermin dalam syairnya:

“Mulanya, aku meyakini bahwa cinta

dan yang dicintai adalah berbeda

Kini, kupahami mereka adalah sama

Aku melihat keduanya dalam kesatuan”

Meskipun Rumi mengakui peran penting akal dalam kehidupan manusia, ia juga menyadari keterbatasannya dalam memahami misteri cinta dan Ilahi. Baginya, akal hanya dapat mengantarkan manusia ke gerbang cinta ketuhanan, tetapi untuk melangkah lebih jauh, diperlukan lompatan iman dan cinta yang melampaui logika.

Ajaran Rumi tentang cinta memiliki resonansi yang kuat bahkan di era modern. Di tengah dunia yang sering diwarnai konflik dan perpecahan, pandangan Rumi tentang cinta sebagai kekuatan pemersatu dan transformatif menawarkan perspektif yang mencerahkan. Konsep cinta Rumi juga relevan dalam konteks pengembangan diri dan spiritualitas kontemporer. Penekanannya pada pemurnian hati dan transcendensi diri melalui cinta memberikan panduan bagi mereka yang mencari makna yang lebih dalam dalam kehidupan.

“Agamaku adalah agama cinta, ke mana pun dia berlayar, maka cinta itu adalah agamamu dan keimananku.” –Ibn Arabi


 

*Penulis adalah Kader IMM Komisariat Educare.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *