
Oleh: Rafif Burhanuddin Muhammad – Ketua LSO KM3 PC IMM Surabaya
…kitalah cendekiawan berpribadi,
susila cakap takwa kepada Tuhan…
~Mars IMM
Dalam dunia yang terus berubah tak menentu, cendekiawan memiliki beban tugas yang terus bertambah. Selain dituntut pada penguasaan kepakaran ilmu, mereka pula yang bertanggung jawab mengentas problem yang sedang menjerat masyarakat—melalui ilmunya.
Dalam hikayat dan sejarah, peran intelektual senantiasa menempati posisi terhormat lebih tinggi dalam struktur sosial masyarakat dan peradaban. Dari Socrates, Rasulullah, Konfusius, Ibnu Khaldun, Mpu Prapanca hingga Tjokroaminoto, dst., selalu dicari masyarakat untuk paling depan bicara sebagai penerjemah realitas. Dan jika posisi cendekiawan dihargai dalam struktur masyarakat, maka ini menandakan akan adanya peningkatan taraf kemajuan hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.
Selaras dengan kebutuhan hadirnya sosok kecendekiawanan ini, IMM didirikan untuk tujuan yang sama: “mengusahakan terbentuknya akademisi islam yang berakhlak mulia.”
Ihwal Definsi Kecendekiawanan
Kata “kecendekiawanan” dalam Ikatan kiranya menemukan bentuk nyatanya dalam Trikompetensi Dasar, khususnya intelektualitas. Istilah ini menjadi semboyan yang kerap diulang dalam setiap jenjang kaderisasi. Namun berjalan waktu timbul pertanyaan: Sudahkah makna ‘intelektualitas’ ini sudah membekas dan terhayati dalam alam pikiran kader? Sudahkah kata itu sudah merepresentasikan makna “akademisi islam yang beraklah mulia” sesuai tujuan ikatan?
Kiranya kita perlu merujuk pada SPI sebagai pedoman perkaderan kita. SPI (2021) mendefinsikan intelektualitas ikatan sebagai,
intelektual ikatan bukan ilmuwan untuk ilmu semata, namun ilmuwan untuk kemaanusiaan, didasari sebagai usaha pendekatan diri kepada Tuhan.[1]
Definsi ini begitu tepat selaras dalam merepresentasikan makna akademisi ‘islam’ dalam Ikatan, ketimbang menggunakan definsi lainnya.[2] Pendefinisian inipun dinilai mampu mengandungi ketiga dimensi utama IMM: religiusitas-intelektualias-humanitas.
Meski demikian, agaknya pendefinisian ini dirasa masih kurang, karena belum diiringi dengan pendasaran dalil dari nash. Pendasaran pijakan teologis sangat dibutuhkan, karena merupakan dasar suatu nilai (mabda). Dalam worldview islam, sebuah ilmu selalu terkait dengan keimanan. Maka, membicarakan peran intelektual akan sangat mendasar jika dimulai dari nash (wahyu). Pijakan ini penting, supaya budaya ilmiah kita tidak kehilangan dasar—tercerabut dari akarnya. Dan ‘pendasaran’ ini supaya menjadi lumrah dalam tradisi ilmiah ikatan kita. Dari sinilah diperlukan ‘pendasaran’.
Adapun ‘pendasaran’ mengenai ihwal kecendekiawanan dan ‘akademisi islam yang berkahlak mulia’ termaktub indah dalam Surah At-Taubah 122:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَࣖ
“Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya”
Ayat dalam At-Taubah 122 ini setidaknya dapat kita tadabburi:
(1) thaifatun minhum; pengorganisiran gerakan ilmu,
(2) liyatafaqqahuu fiddiin; penguasaan pengetahuan ‘faqih’
(3) liyundziru qaumahum; transformasi sosial dari ilmunya.
Dari tiga elemen penting yang menegaskan peran dan strategi kecendekiawanan dalam mewujudkan masyarakat ilmu.
Thaifatun minhum: Pengorganisiran Gerakan Ilmu
Dalam sejarah islam, setiap kemajuan peradabannya selalu dibangun ditopang oleh budaya ilmu yang baik. Ambillah contoh Zaman Rasul dan Khulafaur Rasyidin, Baitul Hikmah Abbasiyah, Alhambra Andalusia, dst. Berlaku sebaliknya, mundurnya peradaban islam selalu ditandai ketika jauhnya umat islam dari budaya ilmu. Ilmu menjadi konsekuensi bangkit atau jatuhnya umat.
Dalam At-taubah 122, sepintas tergambarkan bagaimana Nabi mengorganisir sebuah gerakan keilmuan. Sebelum itu dalam asbabunnuzulnya ayat ini di tanzil mengenai peristiwa kala itu Nabi mengirim para sahabat untuk pergi ke medan perang, namun. Namun, tidak semuanya diperintahkan berangkat. Sebagian diminta tetap tinggal bersama beliau. Bukan tanpa alasan. Mereka yang tinggal itu diberi tugas penting juga, yaitu untuk belajar langsung dari Rasulullah tentang ayat-ayat Al-Qur’an. Tujuannya agar ketika pasukan itu kembali ke Madinah, sahabat yang telah diajari itu menjadi pengajar kepada sahabat yang pulang dari berperang. (Tafsir Ibnu Katsir)
Uraian sejarah tadi mengindikasikan di dalam kondisi genting sekalipun dalam situasi berkecamuk perang, ternyata Nabi memberi perhatian pada pengembangan ilmu tidak melupakan kepada pembinaan kalangan ahli ilmu.
Jika ditarik lebih luas, setiap fase dakwah Nabi selalu dibarengi dengan pembinaan ilmu, baik yang dilakukan oleh beliau sendiri maupun oleh sahabat. Misalnya dapatlah kita temui bagaimana Rasul membina sahabatnya di awal dakwah melalui rumah Arqam (baitul arqam), lalu ta’lim rutin majelis Nabi di masjid Nabawi, juga membina ashabussuffah.
Dalam hal ini Nabi tidak sekedar membina, mengajari semata, tapi membangun iklim keilmuan. Komunitas-komunitas kecil seperti baitularqam mampu membentuk iklim ilmu yang baik bagi pembelajaran. Pun dalam majelis Nabi, iklim keilmuan dapat dilihat bagaimana antusisasme sahabat rutin mengikuti halaqah Nabi, seringnya muncul pertanyaan-pertanyaan ringan hingga yang berat, hingga kekhusyuan para sahabat, dan lain sebagainya dapat kita temui dalam berbagai riwayat hadits.
Dapatlah kita ambil tauladan Nabi, bahwa gerakan keilmuan selalu dimulai dari minoritas dalam skala kecil. Dari sini jajaran IMM dapat mengevaluasi langkah pergerakannya. Sejauh mana keseriusan dalam membangun iklim circle keilmuan dalam tiap fase pergerakannya? Dalam hal ini, dari program kerja IMM—terkhusus RPK—, LSO, bahkan lingkar-lingkar komunitas kecil.
Di samping itu, penulis menyarankan agar diadakan perjenjangan bagi tiap perkaderannya, semisal dari tingkat komisariat dari kader dasar, tengah dan pimpinan punya target bacaan / buku tertentu[3] sebagai indikator kemampuan yang bisa diterka dari kader tesebut. Lalu jika dia ingin melanjutkan di perkaderan Madya, maka dia harus tuntas dengan kewajiban bacaan / penguasaan ilmu dasar tadi. Begitupun Madya ke Paripurna. Alhasil penguasaan ilmu / bacaan yang sama ini mampu menjadi tolok ukur yang dapat dilihat, sehingga kualitas iklim keilmuan tetap terjaga.
Pengorganisiran gerakan keilmuan ini, memberi efek tumbuhnya pribadi terpelajar, kepakaran suatu bidang, yang mendalami ilmu, yang menjadi faqih dengan ber-tafaqquh fiddiin.
Tafaqquh Fiddin: Penguasaan Pengetahuan
Setelah iklim ilmu terbina dengan baik. Muncullah bibit-bibit pembelajar. Mereka orang-orang yang bertafaqquh. Dalam bahasa Arab, Tafaqquh tergolong dalam bentuk wazan (pola kata) tafa’ala yang mengindikasikan adanya makna keterulangan, usaha keras, kesungguhan, dll. Sehingga secara arti tafaqquh dapat dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh memahami sesuatu secara mendalam.
Faqih dalam khazanah islam, selalu diidentikkan dengan seorang ahli fiqh. Juga dalam ayat At-Taubah 122 menyiratkan mereka yang bertafaqquh dalam ilmu Ad-Din. Namun kita perlu menyepakati pendefinisian kata Ad-Din ini. Secara lebih luas, Ad-Din, syariah islam juga mencakup segala urusan dari peribadatan hingga keduniaan.[4] Syariat yang dibawakan Nabi juga mengajarkan urusan muamalah dari bangun tidur sampai membangun peradaban. Inilah Ad-Din Al-Islam. Sehingga ketika memahami kata ini cara pandang kita tidak tersempitkan hanya pada urusan peribadatan saja.
Karena itu, seorang muslim memiliki kewajiban mendalami ilmu apapun, dari aqidah, fiqih, sains, humaniora hingga teknologi mutakhir sekalipun. Karena memahaminya termasuk upaya kita membaca ayat-ayat (tanda-tanda) Allah baik qauliyah (wahyu) dan kauniyah (alam semesta dan manusia) yang tersebar di alam semesta.[5] mempelajarinya juga menjadi tugas seorang khalifah fil ardh, ilmu yang diberikan Allah kepada manusia sejak awal penciptaan[6] tidak lain dimaksudkan sebagai bekal bawaan manusia—sebagai khalifah—supaya mampu memakmurkan bumi Allah.
Sehingga sudah menjadi pertanggungjawaban manusia yang dibekali ilmu itu harus mengimplementasikan ilmu yang ia miliki. Agar ilmu tadi bisa tertanam dan tumbuh dalam dalam upaya pemakmuran alam semesta. Dari sinilah orang yang bertafaqqahu tadi harus melakukan pengimplementasian pada masyarakat dengan liyundziru qaumahum.
Liyundziru Qaumahum: Transformasi Sosial
Dari asbabunnuzul At-Taubah 122 ini, para sahabat yang belajar bersama Nabi, salah satu tujuannya adalah untuk mengingatkan para sahabat lain yang pulang berperang dengan ilmu yang ia peroleh. Dalam islam, ajaran dan anjuran untuk menyampaikan sebuah ilmu untuk menyadarkan dan melakukan perubahan ke arah lebih baik (transformasi) dalam masyarakat begitu ditekankan. Istilah ini lebih kita kenal sebagai Dakwah.
Yang membedakan umat islam dengan umat para Nabi sebelumnya adalah kewajibannya untuk berdakwah. Dakwah adalah ajaran islam yang merepresentasikan fungsi transformasi sosial. Dakwah tidak hanya sesempit mengingatkan (yundziru) semata, namun lebih jauh makna mengingatkan terssebut mengandung makna untuk melakukan perubahan tatanan kehidupan sosial, dengan menebar kebaikan (amar maruf) dan mencegah kerusakan (nahi munkar) yang berorientasi mewujudkan masyarakat yang utama (khayru ummah). [7]
Akademisi Islam di Ikatan
Agaknya dengan mentadabburi satu ayat tadi ini sebagai jawaban atas pertanyaan dari mana semestinya kita mulai membangun iklim ikatan kita, dan dengan cara seperti apa semestinya iklim tersebut terbangun dengan baik. Uraian ayat tadi dapat kita gunakan memiliki pijakan atau mabda’ yang kokoh untuk melanjutkan pergerakan.
Pengembangan Keilmuan yang menjadi ruh IMM terkhusus bidang RPK (Riset dan Pengembangan Keilmuan) dapat memulai pergerakannya dengan beberapa langkah yang berhasil diterpakn Rasulullah dan generasi sebelum kita.
Sehingga dalam memandang sebuah pengembangan keilmuan dan iklim untuk menumbuhkan cendekiawan ikatan tidak dapat dipisahakan antara 3 unsur tadi:
(1) thaifatun minhum; pengorganisiran gerakan ilmu,
(2) liyatafaqqahuu fiddiin; penguasaan pengetahuan ‘faqih’,
(3) liyundziru qaumahum; transformasi sosial dari ilmunya.
Dimana untuk memahami ketiga unsur tadi harus dipandang dengan cara pandang yang holistik dan tidak terpisah satu sama lainnya.
Berbeda dengan yang selama ini terjadi di kebanyakan kader IMM dimana keilmuan tidak berorientasi untuk amaliah dan transofrmasi. Ilmu kehilangan medan amalnya. Jangan sampai para cendekiawan di ikatan kita tersempitkan cara pandang mereka terhadap ilmu hanya terbatasi urusan pirbadi. Juga jangan sampai pimpinan di IMM di setiap jenjangnya luput dalam tujuan ikatan ini, “mengusahakan terbentuknya akademisi islam”. Maka indikator sederhana untuk mengukur apakah kaderisasi di IMM itu berhasil atau tidak adalah, silahkan dicek apakah perkaderan yang terjadi disana dalam beberapa tahunnya berhasil mencetak seorang akademisi, cendekiawan atau tidak. Sederhana.
Tolok ukuran keberhasilan perkaderan IMM adalah jika berhasil mewujudkan tujuannya. Dan tujuan mewujudkan akademisi islam itu syarat pertamanya adalah memperhatikan pengembangan iklim keilmuannya. Jika tidak, IMM hari ini hanya berkahir pada event organizer saja, tidak lebih.
DAFTAR PUSTAKA:
Kuntowjoyo, Islam sebagai Ilmu. Yogyakarta : Tiara Wacana, 2007
Iqbal, Muhammad. Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam. Bandung. Mizan Pustaka, 2021
Madjid, Nurcholis. Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat. Jakarta, Dian Rakyat. 2009
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam Faham Agama dan Asas Akhlak. Kuala Lumpur: IBFMM, 2013.
DPP IMM. Sistem Perkader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, 2021
[1] DPP IMM. Sistem Perkader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, 2021
[2] Melalui khazanah pemikiran modern, kita sedikit akrab dengan definisi kecendekiawanan atau intelektualitas seperti yang dikembangkan oleh Gramsci. Baginya, intelektual tidak hanya seorang yang merepresentasikan ilmu tertentu. Intelektual juga memiliki fungsi representasi sosial, melakukan penyadaran untuk melakukan perubahan dalam kehidupan masyarakat[2]. Jujun Suriasumantri mengartikan ilmuwan sebagai orang yang menguasai ilmu, yang dengan ilmunya mampu menjelasakan, mengontrol dalam perertanggung-jawabannya pada kehidupan sosial. Namun, pendefinsian ini menjadi kurang karena kurang menempatkan posisi transendensi keagamaan.
[3] Semisal buku-buku Tokoh Muhammadiyah dan IMM: Dalam perkaderan dasar selama dididik di komisariat sebelum ke madya setidaknya mengkhatamkan buku: Manifesto Gerakan Intelektual Profetik, Islam sebagai Kritik Sosial, Ahlul Haq wa As-Sunnah Syarh HPT Muhammadiyah, dll.
[4] Lihat Islam Faham Agam dan Akhlak Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengenai arti Ad-Din, dimana mengandung makna pertundukan seorang hamba (ibadah) dan urusan peradaban (muamalah duniawiyah).
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam Faham Agama dan Asas Akhlak. Kuala Lumpur: IBFMM, 2013.
[5] Iqbal, Muhammad. Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam. Bandung. Mizan Pustaka, 2021
[6] ulasan mengenai Al baqarah 31 dalam Madjid, Nurcholis. Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat. Jakarta, Dian Rakyat. 2009
[7] Baca lebih lengkap dalam Kuntowjoyo, Islam sebagai Ilmu. Yogyakarta : Tiara Wacana, 2007
