Abdolkarim Soroush: Kritik Otoritas Pemahaman Keagamaan

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Muhammad Habib Muzaki)

 

Islam sebagai agama yang memiliki lebih dari satu miliyar penganut yang tersebar di seluruh dunia, tidak hanya menawarkan pandangan mengenai spiritualitas dan etika semata, akan tetapi juga banyak menyentuh berbagai aspek kehidupan termasuk perdamaian yang meliputi aspek sosio-politik.

Konsep perdamaian dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan ketenangan batin semata, akan tetapi juga mengandung aspek dari dimensi sosial dan politik. Sehingga dalam sejarah panjang Islam, terdapat berbagai interpretasi dan pendekatan terhadap bagaimana umat Islam memperoleh kedamaian dalam konteks global.

Dewasa ini, pemahaman keagamaan Islam cukup banyak mengalami perkembangan. Salah satunya adalah berkembangnya pemahaman absolutisme atas otoritas keagamaan Islam. Pemahaman keagamaan yang mana merupakan hasil dari pemikiran manusia merupakan suatu hal yang tidak dapat dijadikan sebagai kebenaran absolut.

Akan tetapi banyak berkembang dalam umat Islam tentang bagaimana pemahaman akan absolutisme otoritas keagamaan Islam, sehingga muncul beberapa tokoh yang mulai mengkritik akan adanya paham absolutisme otoritas keagamaan ini. Salah satu tokoh dengan kritik otoritas keagamaan yang akan dibahas kali ini adalah Abdolkarim Soroush.

 

Sekilas Tentang Soroush

Abdolkarim Soroush merupakan nama pena yang dipakai oleh Fajarollah Hossein Dabbagh, dimana nama tersebut mulai dipakai sejak pertama kali Soroush mempublikasikan puisi-puisi yang ditulisnya. Nama Abdolkarim memiliki arti hamba tuhan yang mulia, sedangkan Soroush memiliki arti malaikat penyampai wahyu.

Nama Soroush mulai dikenal dan diidentikkan dengan nama besar Martin Luther dalam versi Islam. Tokoh yang dikenal nama Soroush ini dilahirkan di Tehran Iran pada tanggal 16 Desember tahun 1945, yang mana bertepatan dengan tanggal 10 Muharram.

Sejak kecil Soroush memiliki ketertarikan tersendiri dengan dunia puisi yang mana hal tersebut dipengaruhi oleh ayahnya yang sangat mengagumi tulisan Sa’di dalam buku Boostan. Sehingga Sa’di sangat mempengaruhi model kepenulisan dari Soroush.

Pendidikan yang diperoleh Soroush dimulai dari sekolah dasar konvensional di Tehran Selatan selama 6 tahun, yaitu di Qomiyyah School, kemudian lanjut pendidikan menengah di Alavi Tehran, yang menggunakan konsep pendidikan integrasi ilmu keagamaan dan sains, sehingga dalam hal ini Soroush menempuh pendidikan keagamaan dan pendidikan umum secara bersamaan.

Setelah menamatkan pendidikan menengah di Alavi, Soroush memilih untuk masuk Universitas Tehran pada Fakultas Farmakologi. Pada saat menjadi mahasiswa, Soroush cukup dipengaruhi oleh pemikiran dari filsuf ternama Murtadha Muthahhari. Dua karya Muthahhari yang paling berkesan bagi Soroush adalah Usul-e Falsafe wa Rawis-e Rialism dan Tafsir Al-Mizan. Keseriusan Soroush dalam belajar dibuktikan dengan tulisan pertamanya yang ditulis pada 1967 tentang The Philosophy of Evil.

Setelah lulus dari pendidikan tinggi, Soroush mengikuti wajib militer selama 2 tahun, dimana pada waktu itu juga dia manfaatkan waktunya untuk mengikuti pengajian rutin di Hussainiyyah Irsyad yang dimentori oleh ‘Ali Syari’ati. Setelah mengikuti wajib militer, Soroush melanjutkan pendidikan di London pada tahun 1973 di Universitas London pada jurusan kimia analitis.

Kemudian setelah menyelesaikan program magister, Soroush melanjutkan program doktoral di Chelsea College of Science and Technology, yang kemudian bergabung dengan King’s College di London pada jurusan sejarah dan filsafat sains. Pendidikan doktoral inilah yang memperkenalkan Soroush dan mengantarkannya lebih dalam untuk memahami pemikiran Immanuel Kant dan David Hume.

Selama di London, Soroush juga terpengaruh oleh ide-ide Popperian yang berkaitan erat dengan positivisme logis dan filsafat analitik. Meskipun demikian Soroush tidak dapat menyelesaikan pendidikan doktoralnya sebagaimana mestinya.

Pada bulan September 1979, yang mana beberapa bulan setelah terjadinya revolusi Iran, Soroush kembali ke Iran dan diberikan jabatan sebagai Direktur Kebudayaan Islam pada Tehran’s Teachers College.

Kemudian pada tahun 1980 beberapa Universitas di Iran mulai di tutup dengan alasan politis. Soroush kemudian menjabat sebagai dewan penasehat yang tergabung dalam dewan kehormatan pada revolusi kebudayan. Dewan kehormatan didirikan oleh pemerintah Iran saat itu sebagai bentuk reaksi terhadap penetrasi berbagai pemikiran barat pada kurikulim pendidikan di Iran.

Soroush telah mengundurkan diri sebagai pengajar di Universitas dan fokus mengelola akademi filsafat Iran. Pada akhirnya Soroush aktif dan mengelola Research Centre for Humanities and Social Science hingga saat ini. Sejak tahun 1990, Soroush juga aktif dan konsisten untuk menjadi kritikus terhadap pemerintahan.

Bahkan pada tahun 2009, Soroush mengirimkan surat terbuka kepada Ayatollah Khomeini yang mana surat tersebut berisikan kritik terhadap model ortodoksi baru yang menjadi model dalam pemerintahannya, dimana absolutisme otoritas keagamaan cukup tinggi. Dikarenakan kejadian tersebut, Soroush dengan pemikiran kritisnya dipaksa meninggalkan Iran.

 

Kritik Otoritas Pemahaman Keagamaan

Bagi Soroush, pemahaman keagamaan tidak dapat dijadikan sebagai acuan kebenaran yang absolut, dikarenakan semua itu masih merupakan hasil dari pemikiran manusia. Absolutisme otoritas keagamaan menjadi sasaran utama dari pemikirannya.

Soroush mempertanyakan kembali soal absolutisme dan rigiditas dalam praktik keagamaan, dalam hal ini Soroush sedang melakukan konstruksi atas sebuah kondisi sebagai dasar perubahan pola politik sebagaimana pembaharuan dalam keagamaan. Setiap orang memiliki kualitas keilmuan yang berbeda yang dipengaruhi oleh lingkungan dan derajat keilmuan, sehingga pemikiran keagamaan yang bervariasi tersebut merupakan sifat yang manusiawi.

Menurut Soroush, agama turun atas kehendak Tuhan, akan tetapi dalam penafsiran dan interpretasinya terhadap agama tergantung pemahaman dari manusianya. Maka dari itu ilmu agama hadir dengan sifat manusiawi yang bergantung atas derajat keilmuan dari para mufasirnya.

Adanya ketentuan atas unsur-unsur yang konstan dan yang varian tidak akan diperoleh sebelum pemahaman terhadap agama, melainkan setelah memahami agama. Sehingga hal ini memberikan kebebasan dalam memahami agama, dimana pengetahuan dan pemahaman agama dari setiap orang dapat diapresiasin sebagaimana mestinya.

Soroush juga menegaskan bahwasanya agama itu tidak akan berubah, akan tetapi pemahaman, penafsiran, dan ilmu agama akan berubah menyesuaikan zaman. Bagi Soroush, sifat perubahan yang menjadi keniscayaan dalam pemahaman dan penafsiran agama ini dapat mencegah lahirnya klaim absolutisme otoritas kebenaran di antara pemahaman dan penafsiran agama yang ada.

Hanya agama lah yang memiliki kebenran mutlak, untuk pemahaman dan penafsirannya tidak ada yang memiliki kebenaran mutlak dan absolut. Soroush menegaskan bahwasanya selama ini yang kita hadapi adalah ilmu agama yang memahami agama, dan bukan agama itu sendiri.

Adapun hal terburuk ketika klaim otoritas kebenaran tersebut muncul adalah keberadaan perbudakan agama. Sehingga memunculkan pertanyaan mendasar seperti “mengapa agama justru memperbudak pemeluknya?”, “mengapa fatwa fuqaha Arab dan non-Arab bertentangan dengan warisan budayanya?”, hingga “mengapa filsuf Islam berbeda dengan kaum sufi?”.

Pertanyaan tersebut menjadikan Soroush berpandangan bahwasanya umat Islam harus paham posisinya sebagai pemeluk agama dan sebagai penerima ajaran Tuhan. Dalam hal ini umat Islam adalah ilmuan dan pembelajar agama yang mengupayakan pemahaman terhadap apa yang dikehendaki Tuhan dalam Al-Qur’an, sehingga ketika satu ilmuan memahami pemahaman tertentu, pemahaman tersebut tidak dapat dipaksakan seperti halnya yang terjadi dalam waliyatul faqih di Iran.

Pada dasarnya, Soroush tidak bermaksud untuk memperbarui, merelatifkan, atau bahkan mendekonstruksi agama. Dalam hal ini justru Soroush berupaya untuk menjelaskan secara epistemologis akan arti sebuah pemahaman keagamaan. Bagi Soroush, selama tarnsformasi pemahaman keagamaan ini tidak dilakukan, maka upaya untuk membangkitkan kembali agama, selamanya tidak akan berjalan dengan sempurna.

Hal tersebut menunjukkan bahwasanya adanya hubungan yang bersifat dialogis antara pengetahuan agama dan pengetahuan non-agama (pengetahuan umum). Pengetahuan agama akan mengalami perkembangan seiring berkembangnya pengetahuan non-agama. Sehingga bagi Soroush, absolutisme terhadap otoritas pemahaman keagamaan tidaklah dibenarkan.


 

*Penulis adalah Sekretaris Bidang Organisasi PC IMM Kota Surabaya.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *