Polemik Membaca Novel PDF: Literasi Digital atau Tindakan Kriminal?

Sumber foto: Ilustrasi dari Gemini Oleh: Shintya Iftitah Dzikrullah – Sekretaris LSO Cendekiawan Institute Walaupun Indonesia kerap dikenal sebagai negara...

Sumber foto: Ilustrasi dari Gemini

Oleh: Shintya Iftitah Dzikrullah – Sekretaris LSO Cendekiawan Institute

Walaupun Indonesia kerap dikenal sebagai negara dengan tingkat minat baca yang rendah, budaya membaca masih digemari oleh sebagian masyarakat. Sebagian orang tetap mempertahankan kebiasaan membaca sebagai upaya menambah wawasan dan merawat daya pikir kritis. Di era globalisasi, aktivitas membaca tidak lagi dimaknai secara sempit sebagai kegiatan membaca buku cetak semata.

Saat ini, banyak orang justru memperoleh pengetahuan melalui platform digital, seperti Instagram, TikTok, X (Twitter), website, hingga platform video YouTube. Akses terhadap bacaan seolah menjadi sangat mudah tanpa harus mengeluarkan biaya untuk membeli buku atau media bacaan fisik lainnya. Namun, seiring dengan kecanggihan teknologi yang dimanfaatkan manusia, muncul sejumlah kekhawatiran, salah satunya ketidakselarasan antara praktik literasi digital dan etika di ruang digital.

Fenomena membaca dokumen PDF baik novel maupun jurnal ilmiah yang seharusnya berbayar kini kerap ditemukan dan disebarluaskan secara gratis, terutama di kalangan anak muda. Praktik ini bahkan telah dianggap lumrah oleh sebagian masyarakat. Di media sosial, tidak jarang ditemukan akun yang membagikan tautan unduhan novel, baik dalam bentuk dokumen PDF maupun hasil pemindaian buku fisik yang diubah menjadi PDF.

Begitu cepat teknologi mempermudah penyebaran informasi sehingga para penulis kerap kesulitan melacak pihak yang menjadi sumber utama penyebaran ilegal tersebut. Sementara itu, pembaca yang merasa diuntungkan sering kali tidak menyadari bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk ketidakpedulian terhadap etika dan hak cipta di dunia digital. Ironisnya, praktik ini justru kerap dibenarkan sebagai upaya memperluas akses membaca, khususnya bagi kalangan anak muda yang tidak mampu membeli buku. Padahal, bagi penulis dan penerbit, fenomena ini menimbulkan kerugian karena karya mereka disebarluaskan secara ilegal tanpa izin dan tanpa pemberian royalti.

Dalam konteks literasi digital, tren ini memang mencerminkan antusiasme masyarakat terhadap kegiatan membaca secara lebih intensif berkat kemudahan akses bacaan. Hal ini tentu berbeda dengan pola membaca instan melalui aktivitas menggulir konten cepat saji di TikTok atau Instagram. Namun, sangat disayangkan apabila semangat membaca tersebut tidak diimbangi dengan kesadaran etis dalam menghargai hak cipta dan jerih payah penulis.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta secara tegas melindungi karya orisinal di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, serta mengatur sanksi pidana bagi pelanggar, termasuk pelanggaran yang dilakukan melalui sistem elektronik. Dengan demikian, penyebaran karya secara ilegal merupakan tindakan kriminal yang melanggar hukum.

Terlepas dari aspek hukum, persoalan ini juga menyentuh ranah budaya, yakni bagaimana masyarakat belajar saling menghargai karya intelektual. Apabila kebiasaan membaca buku atau novel bajakan terus-menerus dianggap wajar, maka perlahan budaya menghormati kreativitas dan usaha intelektual akan memudar. Oleh karena itu, diperlukan upaya penyadaran bersama agar literasi tidak berkembang dengan mengorbankan nilai etika.

Jika semangat membaca telah tertanam, alangkah baiknya hal tersebut diimbangi dengan kesadaran untuk menghargai karya orang lain. Literasi digital dapat dilakukan melalui berbagai alternatif legal tanpa merugikan pihak mana pun, seperti memanfaatkan platform Wattpad, Gramedia Digital, Google Play Books, maupun perpustakaan digital perguruan tinggi.

Pada akhirnya, membaca dan literasi digital bukan sekadar soal menambah pengetahuan, tetapi juga tentang belajar menghargai karya orang lain. Dunia digital memang menyajikan informasi yang nyaris tak terbatas, tetapi di sanalah tanggung jawab moral setiap pengguna diuji menggunakan teknologi secara bijak, adil, dan beretika.

Editor: Muhammad Syafril Harsya

  • About
    Redaksi IMM Surabaya

Leave A Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like