Sekolah Muhammadiyah: Antara Modernitas dan Spirit Keislaman

Oleh: Syarif Hidayat – Anggota Bidang Sosial Pemberdayaan Masyarakat PC IMM Kota Surabaya Pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam...

Oleh: Syarif HidayatAnggota Bidang Sosial Pemberdayaan Masyarakat PC IMM Kota Surabaya

Pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan peradaban bangsa. Dalam konteks Indonesia, lembaga pendidikan Islam memiliki peran penting dalam mencetak generasi yang tidak hanya memiliki kecakapan intelektual, tetapi juga berakhlak mulia. Di antara berbagai organisasi keagamaan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, Muhammadiyah menempati posisi istimewa sebagai gerakan Islam modernis yang sejak awal berdirinya telah menjadikan pendidikan sebagai medan dakwah utama.

Pendidikan merupakan salah satu instrumen strategis dalam pembangunan bangsa dan pembentukan karakter masyarakat. Organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah menjadi peran penting dalam pengembangan sistem pendidikan nasional. Didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912, Muhammadiyah menempatkan pendidikan sebagai pilar utama dalam gerak dakwah dan pembaruan sosial. Seiring dengan perjalanan sejarahnya, sekolah-sekolah Muhammadiyah telah menjadi lembaga pendidikan yang menyatukan semangat modernitas dengan nilai-nilai keislaman yang mendalam.

Sekolah-sekolah Muhammadiyah, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, menjadi manifestasi konkret dari visi KH. Ahmad Dahlan dalam menyinergikan nilai-nilai Islam dengan semangat kemajuan. Namun, dalam perjalanan panjangnya, institusi pendidikan Muhammadiyah juga menghadapi tantangan serius, terutama dalam menjaga keseimbangan antara tuntutan modernitas dan komitmen terhadap spirit keislaman. Narasi ini bertujuan untuk merefleksikan dinamika tersebut dengan merujuk pada pandangan-pandangan tokoh Muhammadiyah serta relevansinya dalam konteks pendidikan abad ke-21.

Namun demikian, dinamika sosial, teknologi, dan kultural abad ke-21 menghadirkan tantangan baru. Sekolah Muhammadiyah tidak hanya dituntut untuk meningkatkan kualitas akademik dan daya saing global, tetapi juga harus menjaga integritas spiritualitas dan karakter Islam sebagai identitas dasar. Dalam konteks inilah muncul perdebatan mengenai keseimbangan antara modernitas dan spirit keislaman dalam pendidikan Muhammadiyah. Apakah institusi pendidikan Muhammadiyah mampu merespons perkembangan zaman tanpa kehilangan akar ideologisnya? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan merujuk pada pandangan-pandangan tokoh Muhammadiyah dan dinamika kontemporer yang melingkupinya.

Visi Pendidikan Pemikiran KH. Ahmad Dahlan

KH. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah, memiliki pandangan yang progresif dalam memaknai pendidikan Islam. Ia menolak dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, serta mengkritik sistem pendidikan tradisional yang tertutup terhadap perkembangan zaman. Bagi beliau, pendidikan harus menjadi sarana untuk memajukan umat, bukan sekadar tempat menghafal dogma tanpa penghayatan terhadap nilai-nilai kehidupan nyata.

Dalam berbagai ceramahnya, KH. Ahmad Dahlan sering menekankan pentingnya tajdid (pembaharuan) dalam pemahaman Islam, termasuk dalam metode pendidikan. Salah satu warisan intelektual beliau yang terkenal adalah penekanan pada surat Al-Ma’un, yang mengandung pesan kuat tentang pentingnya kepedulian sosial dan praktik keislaman yang kontekstual. Sekolah Muhammadiyah sejak awal didirikan bukan hanya untuk mencetak lulusan yang mahir membaca kitab, tetapi juga mereka yang mampu menjawab tantangan zaman melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pendidikan Muhammadiyah Dalam Perspektif Historis dan Ideologis

Muhammadiyah lahir dari semangat tajdid (pembaruan) yang dibawa oleh KH. Ahmad Dahlan, seorang ulama progresif yang terpengaruh oleh pemikiran pembaruan Islam dari Timur Tengah, khususnya Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Dalam pandangannya, pendidikan Islam tidak cukup mengajarkan aspek ritual dan dogma, melainkan juga harus membuka wawasan ilmiah dan sosial peserta didik. Oleh karena itu, sejak awal, sekolah Muhammadiyah mengintegrasikan pelajaran agama dan ilmu pengetahuan umum dalam satu kurikulum yang terpadu, berbeda dari sistem pesantren tradisional yang saat itu dominan.

KH. Ahmad Dahlan dalam banyak pengajiannya menekankan pentingnya amal saleh sebagai bentuk konkret dari keimanan. Ajaran surat Al-Ma’un menjadi inspirasi dasar dalam membentuk model pendidikan yang tidak hanya religius secara tekstual, tetapi juga memiliki kepedulian sosial. Inilah fondasi filosofis dari sekolah Muhammadiyah: membentuk insan beriman, berilmu, dan beramal.

Modernitas Dalam Pendidikan Muhammadiyah

Sekolah Muhammadiyah dikenal sebagai pionir pendidikan modern di kalangan umat Islam Indonesia. Sejak awal abad ke-20, lembaga ini telah mengadopsi sistem klasikal, penggunaan kurikulum terstruktur, dan metode pengajaran modern yang menggabungkan agama dan ilmu umum. Dalam konteks kekinian, banyak sekolah Muhammadiyah telah menerapkan sistem pendidikan berbasis teknologi, pembelajaran digital, serta kurikulum nasional yang diselaraskan dengan standar global.

Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, tokoh Muhammadiyah yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah harus mampu mencetak generasi yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki daya saing dalam kancah global. Menurutnya, “Muhammadiyah adalah gerakan modern Islam yang selalu terbuka terhadap ilmu dan teknologi, selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam.”

Sekolah-sekolah Muhammadiyah, khususnya di kota-kota besar, telah berhasil mengintegrasikan teknologi pembelajaran, sistem informasi manajemen pendidikan, dan program unggulan seperti bilingual class, kurikulum Cambridge, dan pengembangan karakter berbasis proyek. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan Muhammadiyah tidak tertinggal dalam merespons modernitas.

Spirit Keislaman Sebagai Identitas Dasar

Meskipun mengadopsi pendekatan moderen dalam sistem pendidikan, sekolah Muhammadiyah tetap menjadikan nilai-nilai Islam sebagai fondasi utama. Pembinaan akhlak, pembiasaan ibadah, dan pemahaman Al-Qur’an dan Hadis menjadi bagian integral dari proses pembelajaran. Bagi Muhammadiyah, kemajuan ilmu dan teknologi tidak boleh memisahkan peserta didik dari identitas keislaman mereka.

Prof. Dr. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah harus membentuk manusia paripurna, yakni manusia yang unggul secara intelektual dan moral. Dalam salah satu pidatonya, ia menyampaikan: “Sekolah Muhammadiyah harus mampu mencetak kader-kader umat dan bangsa yang berkarakter Islami, berjiwa nasionalis, dan mampu menjadi agen perubahan di tengah masyarakat.

Spirit keislaman ini bukan sekadar aspek simbolik atau ritualistik, melainkan dibangun dalam pendekatan yang kontekstual. Pendidikan akidah, fikih, dan akhlak dalam sekolah Muhammadiyah diarahkan untuk membentuk kepekaan sosial, kesadaran lingkungan, serta semangat rahmatan lil ‘alamin. Model seperti ini menegaskan bahwa pendidikan Islam yang berkemajuan tidak hanya fokus pada aspek vertikal-spiritual, tetapi juga pada tanggung jawab horizontal-sosial.

Tantangan Kontemporer dan Jalan Tengah

Di tengah arus globalisasi dan perkembangan teknologi informasi yang masif, sekolah Muhammadiyah menghadapi tantangan berat. Di satu sisi, mereka dituntut untuk bersaing dalam kualitas pendidikan formal dan teknologi; di sisi lain, mereka harus menjaga integritas nilai-nilai Islam yang menjadi fondasi gerakan. Fenomena liberalisasi nilai, penetrasi budaya populer, serta kecenderungan sekularisasi di kalangan generasi muda menjadi perhatian serius bagi para pengelola pendidikan Muhammadiyah.

Sebagian pengamat bahkan mengkritik bahwa semangat modernitas dalam beberapa sekolah Muhammadiyah berpotensi mengaburkan identitas keislamannya. Kecenderungan mengejar akreditasi, prestasi akademik, dan penguasaan bahasa asing—meski penting—tidak boleh menyingkirkan nilai-nilai spiritual dan kebajikan sosial yang merupakan jantung dari misi Muhammad

Menanggapi hal ini, Dr. Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa sekolah Muhammadiyah harus mampu menemukan wasathiyah (jalan tengah) antara modernitas dan tradisi. Pendidikan Muhammadiyah, menurutnya, tidak boleh terjebak dalam dikotomi lama-moderen, tetapi harus merumuskan sintesis yang kreatif antara Islam sebagai nilai dan kemajuan sebagai kebutuhan.

Tantangan dan Keseimbangan

Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah Muhammadiyah menghadapi tantangan internal dan eksternal dalam menjaga keseimbangan antara modernitas dan keislaman. Di satu sisi, kompetisi antar lembaga pendidikan mendorong orientasi pada capaian akademik, sertifikasi internasional, dan branding institusi. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa semangat keislaman bisa mengalami reduksi menjadi formalitas tanpa substansi.

Dr. Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, menyoroti fenomena ini dengan mengajak seluruh pengelola pendidikan Muhammadiyah untuk tidak terjebak dalam pragmatisme dan komersialisasi. Ia mengingatkan bahwa “Pendidikan Muhammadiyah harus tetap berpijak pada nilai-nilai keislaman yang substantif, tidak hanya mengejar prestasi akademik semata, tetapi juga menanamkan visi profetik dalam diri siswa.”

Keseimbangan ini bisa dicapai melalui inovasi kurikulum integratif, peningkatan kompetensi guru dalam pendidikan karakter Islami, serta kolaborasi dengan komunitas sebagai bagian dari pendidikan berbasis nilai dan pengalaman. Dengan demikian, sekolah Muhammadiyah dapat tetap adaptif terhadap perubahan zaman tanpa kehilangan jati diri.

            Sekolah Muhammadiyah merupakan manifestasi dari semangat pembaruan Islam yang berakar pada nilai-nilai keilmuan dan keislaman. Sejak masa KH. Ahmad Dahlan hingga kini, lembaga ini telah menjadi pelopor dalam mengintegrasikan pendidikan agama dan umum secara harmonis. Dalam era globalisasi yang penuh tantangan, sekolah Muhammadiyah dihadapkan pada tugas berat untuk tetap relevan secara akademik dan konsisten secara ideologis.

            Dengan menjaga semangat tajdid, memperkuat nilai-nilai Islam, serta terbuka terhadap kemajuan ilmu dan teknologi, pendidikan Muhammadiyah memiliki potensi besar untuk menjadi model pendidikan Islam berkemajuan yang berkontribusi nyata bagi pembangunan bangsa. Seperti pesan KH. Ahmad Dahlan: “Jadilah seorang Muslim yang bekerja untuk kemajuan zaman, bukan tertinggal oleh zaman.” Maka, pendidikan Muhammadiyah hari ini harus mampu melahirkan generasi unggul yang moderat, cerdas, dan berakhlak mulia.

Editor: Muhammad Syafril Harsya

  • About
    Redaksi IMM Surabaya

Leave A Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like