Hari Tani Nasional: Apakah Petani Sudah Sejahtera?

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Adi Swandana)

 

Tepat pada tanggal 24 September kemarin, kita semua sedang memperingati Hari Tani Nasional. Sekarang ini, sudah 64 tahun Hari Tani Nasional ditetapkan.

Penetapan Hari Tani Nasional ini tidak terlepas dari perjuangan kaum petani dalam membebaskan diri mereka dari belenggu penderitaan atau bahkan penindasan. Lantas, apakah saat ini para petani sudah benar-benar merasa sejahtera?

Atau jangan-jangan, mereka para petani justru merasa yang sebaliknya. Dan, masih menjadi tanda tanya, apakah nasib para petani di era Jokowi menjadi lebih parah dibanding zaman presiden yang terdahulu?

Setidaknya, penulis merangkum ada tiga permasalahan serius yang memang sudah berjalan dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi. Tentu tiga permasalahan ini menjadi keresahan dan kesengsaraan bagi para petani.

Permasalahan pertama yaitu mengenai budaya impor dan korporasi pangan. Cita-cita negara kita yang sudah didamba-dambakan sejak dulu, yakni mengenai kedaulatan dan ketahanan pangan rasanya sudah jauh dari kenyataan.

Kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Namun, pemerintah dalam kebijakannya kerap kali memperbesar kran impor pangan. Contoh nyatanya yakni mengimpor beras dengan jumlah yang tidak sedikit yakni 3,06 ton pada 2023 silam.

Selain itu, Jokowi juga menggerakkan korporasi pangan atau lebih dikenal dengan istilah food estate yang merugikan para petani. Kenapa petani dirugikan? Karena ada perubahan tata cara penanaman dari pemerintah dan juga modernisasi pertanian.

Hal ini merupakan buntut kerjasama antara pemerintah dan korporasi. Sehingga di dalam nalar pemerintah cenderung lebih memberikan kesejahteraan kepada korporasi yang ironinya justru menekan para petani dan berimbas pada ketidak sejahteraan bagi mereka.

Permasalahan kedua yang penulis amati, yakni Jokowi telah membangunkan Kembali sistem “Domein Verklaring Kolonial”. Apa yang dimaksud dengan istilah tersebut?

Istilah tersebut merupakan kalimat yang diartikan sebagai ”Tanah Milik Raja”. Sistem ini dilahirkan oleh pemerintahan kolonial Belanda di mana sistem ini menjabarkan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya adalah milik negara.

Sistem ini dilahirkan kembali melalui perhutanan sosial, perkebunan sosial, dan hak pengelolaan lahan untuk badan otorita. Konsep inilah yang menjadi acuan negara untuk mempertahankan tanah dan negara, sehingga mereka memiliki kewenangan untuk mencabut, memindahkan, dan menukar.

Padahal sudah tertulis jelas dalam konstitusi kita yang menegaskan bahwa negara hanya diberikan kekuasaan untuk mengatur dalam hal peruntukan, penggunaan, dan pemeliharaan, bukan malah memiliki seutuhnya.

Permasalahan ketiga yakni mengenai pemerintah yang menyikapi konflik agraria dengan cara represif. Dalam menyikapi konflik agraria, alih-alih suara rakyat didengar pemerintah justru menggunakan pendekatan represif dengan memobilisasi aparat keamanan dalam penanganan konflik agrarian.

Menurut data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 3.503 masyarakat menjadi korban selama sembilan tahun pada masa pemerintahan Jokowi dengan rincian 2.442 dikriminalisasi, 905 dianiaya, 78 tertembak dan 72 tewas. Dari data yang sudah ditunjukan oleh KPA, banyaknya korban jiwa membuktikan bahwa pemerintahan Jokowi gagal dalam menangani konflik agraria.

Berdasarkan dari beberapa penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa beragam konflik seputar hukum, politik dan agraria merupakan tugas yang harus diselesaikan dengan penuh tanggung jawab. Pemerintah telah menerapkan sejumlah langkah, tetapi masih dianggap belum dilakukan dengan cara terbaik.

Agar proses hukum agraria dapat dilaksanakan secara efektif sesuai dengan hukum yang berlaku, maka perlu diambil langkah-langkah yang proaktif. Dalam hal ini, pemerintah idealnya dapat mengambil langkah bijak dalam setiap keputusannya.

Dengan kata lain, kesejahteraan petani sebagai bagian dari masyarakat negara seharusnya menjadi prioritas untuk diberikan hak-haknya. Oleh sebab itu, Hari Tani Nasional sebaiknya menjadi momen refleksi bagi rakyat Indonesia, sebab di balik sebutan Negara Agraris nasib para petaninya justru masih begitu miris.


 

*Penulis adalah Ketua Bidang Organisasi IMM Komisariat Allende Periode 2022-2023.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *