Dalam video terbarunya, Pandji Pragiwaksono mengomentari Partai Gerinda dan pengusungan Marshel Widianto. Menurutnya, keputusan untuk membawa Marcel didasarkan pada popularitas, bukan kapasitas.
Tidak sedikit yang mungkin akan berpendapat bahwa langkah Gerindra tadi tidaklah aneh. Bukankah sebelumnya memang sudah banyak orang -dengan hanya- modal populer yang dicalonkan?
Pandji bukan tidak tahu hal tersebut. Ia menyadari, dan berkata seperti ini, “Tapi kan mau sampai kapan? Mau sampai kapan Gerindra? Mau sampai kapan Rakyat Indonesia? Mau sampai kapan rakyat Tangsel? Mau sampai kapan kita menyerah sama keadaan seperti ini? Kapan kita mau mulai untuk sesuatu yang ideal? Mau sampai kapan? Emang selama ini terjadi, ya udah. Tapi mau sampai kapan mau gini terus? Mau nyerah kita sama status quo?”
Hemat penulis, selain demokrasi kita, perkataan Pandji tadi akan sangat relate dengan banyak hal. Sebab ada banyak sekali masalah di sekitar kita.
Sayangnya, tidak sedikit dari beberapa masalah itu kita normalisasi sebagai suatu yang tidak bisa diubah. Seakan-akan, sudah paten. Mirisnya, ada beberapa yang sudah menyerah sebelum berjuang untuk menjawabnya dengan aksi nyata, sebuah solusi. Semua seakan pasrah. Lalu bagaimana dengan ikatan kita?
IMM dan Kepasrahan
Selama empat tahun sebagai mahasiswa, saya banyak melihat hal semacam itu di kalangan mahasiswa organisasi lintas kampus. Misalnya keluhan seputar kultur politik kampus yang katanya sulit diubah, hingga mahasiswa yang cenderung pragmatis ketika diajak melestarikan gerakan positif.
Dalam konteks IMM misalnya, tidak sedikit Komisariat yang masih berjibaku dengan problem perihal sumber daya manusia. Mulai dari kader-kader yang sulit diajak menumbuhkan minat baca, kader-kader kurang aktif di berbagai kegiatan, maupun sulitnya mengumpulkan kader-kader untuk berbagi peran menjalankan satu kegiatan bersama.
Banyak faktor yang dituding sebagai penyebab masalah-masalah itu muncul. Mulai dari rendahnya minat literasi, ketakutan akan masa depan (Emang kalau aku aktif di IMM, dapat apa?), hingga tuntutan akademik yang semakin tinggi.
Apa ikhtiar para aktor pimpinan? Ada yang membuat lapak baca maupun menerbitkan majalah setiap bulannya untuk meningkatkan literasi. Ada yang tak lelah menginisiasi ngopi, jalan-jalan, hingga futsal untuk mengumpulkan kader-kader dan membentuk kohesivitas kelompok mereka. Masih banyak lagi upaya kreatif lainnya.
Meski sayangnya, ketika hasilnya dinilai kurang maksimal -atau bahkan tidak ada-, pilihannya seakan-akan hanya menyerah dengan keadaan. Ada yang nyeletuk, “Iyowes piye mane, wong arek-arek sibuk kuliah. IMM yo gaiso ngekei jaminan karir.” hingga berujar, “Embo lah mas, aku tak dadi tumbuh-tumbuhan ae.”
Ada memang yang masih percaya di tengah ragu. Meski harus dilalui dengan perasaan sedih saat melihat banyak temannya “berguguran” satu per satu. Maupun ketika program kerja yang dibuat dengan ambisi besar, malah sepi peminat. Tidak sedikit loh, seorang pimpinan yang menangis dalam kesendiriannya. Sementara lainnya, ada yang hanya membiarkan saja masalah di ikatan itu terjadi. Ada yang karena sudah merasa mentok dan buntu, memilih mengikuti alur saja.
Menghadapi realitas itu, meski tidak semua, namun banyak yang saya temui memilih menyerah dengan keadaan ketimbang mengubahnya. Mungkin akan ada yang menyanggah, “Lah, sudah berusaha tapi hasilnya gini-gini saja?” Kalau sudah sampai di fase ini, mungkin kita bisa mengkaji lagi sebuah surat cinta dari Tuhan.
Salah satunya dalam Q.S. Ar-Ra’d ayat 11 yang berbunyi, “Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
Gerakan Riset dan Ikhtiar Maksimal
Meski bukan satu-satunya, namun riset dapat menjadi alternatif kita dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul. Hal ini lah yang coba dilakukan oleh Cendekiawan Institute akhir-akhir ini.
Kemarin, kami melakukan riset mengenai pengaruh pemahaman ideologi IMM terhadap keaktifan berorganisasi. Latar belakang riset ini adalah kenyataan bahwa selama ini kita berhadapan dengan problem keaktifan berorganisasi. Muncul pertanyaan, “Apa yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan keaktifan berorganisasi pada kader-kader?”
Hasilnya, pemahaman ideologi berpengaruh terhadap keaktifan berorganisasi sebanyak 45,6%. Artinya jika kita ingin meningkatkan keaktifan kader, maka pemahaman ideologi IMM harus benar-benar diperhatikan.
Riset tersebut hanya dilakukan di satu Komisariat dengan sampel sebanyak 40 responden. Namun desain riset ini bisa digunakan untuk meneliti di Komsiariat lainnya. Bahkan jika bisa, desain riset ini bisa dikaji lagi untuk mendapatkan bentuk yang lebih sesuai.
Riset ini juga menghasilkan instrumen pengukuran pada variabel pemahaman ideologi IMM. Kami pun masih mengkaji kemungkinan dari apakah instrumen ini dapat digunakan untuk melihat dampak dari satu aktivitas ideologisasi. Misalnya, instrumen berupa kuesioner ini diberikan kepada kader-kader dalam bentuk pre test maupun post test.
Bidang Kader dapat melihat dampak suatu acara perkaderan dengan dibantu instrumen ini. Misalnya, kader mengisi pre test sebelum Masta dan mengisi post test selepas Follow Up. Hasil pre test dan post tes nantinya diuji menggunakan analisis linier sederhana untuk mengetahui tingkat pengaruhnya.
Hasilnya akan dapat membantu untuk mengetahui apakah rangkaian kegiatan dapat meningkatkan pemahaman ideologi atau bahkan sebaliknya. Dengan cara ini, kita pun dapat mengetahui persentase tingkat pengaruhnya. Bukan kah ini menguntungkan sebagai bahan evaluasi bersama?
Bukan hanya itu, masih ada beberapa riset lainnya. Saat kami bertemu dengan IMM Komisariat UPN Veteran Jawa Timur, salah satu masalah yang didiskusikan adalah soal keraketan di Komisariat. Melalui studi literatur, kami melihat bahwa apa yang kami maksud itu, bahasa ilmiahnya adalah kohesivitas kelompok.
Kami lalu tertarik untuk mengetahui bagaimana tingkat kohesivitas kelompok di Komsiariat ini, lalu mencari faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Hasilnya akan sangat berguna untuk memprioritaskan mana saja yang harus didahulukan sebagai program kerja dalam rangka mengatasi masalah ini.
Selain itu, kami juga bertemu dengan teman-teman di IMM UNESA. Adapun masalah yang didiskusikan adalah perihal literasi. Karena kami bersama ingin meningkatkan literasi, maka desain riset pun terarah untuk mengetahui apa saja faktor yang membuat kader-kader memiliki kapasitas literasi yang baik.
Hasil temuan ini akan membuktikan apa saja variabel yang memiliki pengaruh terhadap literasi tadi. Selain itu juga untuk mengetahui variabel mana saja yang sangat dominan mempengaruhi? Nantinya, hasil riset ini akan menjadi dasar untuk membuat program literasi yang maksimal.
Riset lainnya yang sedang kita kerjakan adalah soal fenomena sarjana dan lapangan pekerjaan. Dari banyak data dan yang kita lihat sehari-hari, kita menemukan ada banyak sekali sarjana yang bekerja tidak sesuai dengan jurusannya. Di sisi lain, tidak sedikit yang masih kesulitan dalam menata karirnya. Bahkan, ada yang masih kesulitan mencari pekerjaan.
Maka, kami pun kepikiran, bagaimana jika seandainya saja, IMM mampu memetakan potensi kader-kadernya sejak dini. Potensi-potensi itu, kemudian kita lihat peluangnya di sektor pekerjaan formal. Misalnya, banyak kader yang berpotensi menjadi akademisi. Lalu kita cek melalui diskusi dengan pakar, soal apa saja yang perlu disiapkan sejak dini untuk menjadi akademisi? Apa saja skill dan pengalaman yang harus dimiliki? Bagaimana peluangnya? Bagaimana daya serap di sektor ini? Dsb.
Itu masih pada poin akademisi. Bagaimana jika kita memiliki data menyeluruh soal berbagai tipologi potensi? Jika kita punya semua data-data itu, bukankah kita dapat membuat IMM menjadi organisasi yang lebih menarik sekaligus menjawab kebutuhan.
Berbagai program kerja dapat ramai, sebab cocok dengan kebutuhan kader untuk menekuni potensinya. Bukan tidak mungkin, diaspora kita semakin kencang. Nantinya, kita akan mampu meletakkan kader dimana-mana, bukan dengan orang dalam, namun membentuk kader yang memang memiliki daya saing.
Semua itu perlu riset. Sebab dalam proses mendesain riset ini, kami masih belum menemukan instrumen yang pas dengan tujuan tersebut. Apalagi perihal potensi, tidak serta merta hanya dengan menanyakan “Kamu minatnya di mana?” Sebab potensi secara konseptual pun sangat kompleks. Bahkan tidak sedikit yang gagal membaca potensi diri. Maka kami percaya, bahwa dengan riset, suatu hal dapat lebih jelas untuk diidentifikasi.
Riset tersebut hingga hari ini masih dirancang untuk mendapatkan instrumen yang cocok. Namun, ini bukan hasil kerja Cendekiawan Institute sendiri. Selain Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan, riset ini juga dibantu oleh beberapa rekan-rekan di Pimpinan Cabang. Kolaborasi adalah poin penting dalam memecahkan masalah bersama.
Bukan hanya soal IMM, namun riset yang kami lakukan juga dalam konteks masyarakat. Hari ini sudah dijalankan riset untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kehadiran jamaah di Masjid. Sebab melalui diskusi dengan beberapa takmir, sebenarnya ini adalah problem yang cukup mendesak untuk dicari solusinya.
Maka Cendekiawan Institute dalam aspek ini berusaha memberi kontribusinya. Karena yang bisa kami lakukan adalah riset, itu lah yang dimaksimalkan. Sebab untuk bermanfaat di masyarakat, bukan hanya dengan baksos. Namun juga memberikan sumbangan keilmuan. Hari ini, riset tersebut sudah dalam proses pengumpulan sampel. Kita tunggu saja hasilnya.
Masih ada beberapa riset lagi yang tidak kami jelaskan di sini. Namun kenapa riset? Sebab dari tinjauan literatur yang kami dalami, riset adalah upaya penting untuk membangun pemahaman dengan lebih valid. Kami percaya, hasil dari riset dapat membantu untuk lebih membangun kerangka berpikir yang kuat. Tentunya, lebih kuat dari sekadar asumsi mentah.
Bukan berarti hasil riset itu selalu benar. Tentu kami menyadari bahwa hasilnya bisa salah, sebab kurangnya pemahaman akan teori maupun metodologi. Namun, hal itu di masa depan nanti, dapat dilanjutkan dengan mengadakan kritik terhadap isi riset. Nantinya, kritik itu dapat menjadi landasan untuk riset baru yang lebih kuat. Sehingga hasilnya akan mampu lebih membawa manfaat.
Bagi Cendekiawan Institute, ini adalah ikhtiar untuk tidak menyerah dengan keadaan. Sebagaimana yang dikatakan Pandji di awal tadi, “Tapi mau sampai kapan mau gini terus? Mau nyerah kita sama status quo?” Iya, mau sampai kapan kita menyerah dengan keadaan?
Kami pun selama ini merasa gagal untuk memecahkan masalah. Sempat ingin menyerah, namun jangan-jangan, masalahnya justru ada di kami yang masih kurang ilmunya. Di titik ini lah kami belajar dan bereksperimen. Sejauh mana riset bisa kita lakukan dan membantu mewujudkan tujuan ikatan.
Terlebih, kita memilih IMM dengan kesadaran akan peran sebagai mahasiswa yang percaya kepada ide-ide besar Muhammadiyah. Dan, bukan kebetulan bahwa hari ini kita berproses di dalamnya, melalui IMM ini.
*Penulis adalah Anggota Bidang RPK PC IMM Kota Surabaya dan Ketua Cendekiawan Institute.