Bagaimana seorang kader harus berpikir dalam ikatan? Tulisan ini bermula ketika saya merasakan kegelisahan di ikatan kita, karena kurang suburnya tradisi berpikir di akar rumputnya. Carut marutnya pergerakan dan stagnansi ikatan kita per hari ini, tak lain karena tidak ada landasan pemikiran yang matang sebelum melakukan pergerakan. Sederhananya, bertindak tanpa berpikir.
Setiap kader IMM “fardhu ‘ain” bergerak dengan berpikir, amal ilmiah. Lalu pertanyaannya adakah tuntunan berpikir dalam ikatan kita? Secara tersirat dalam ideologi IMM melalui trikompetensi dasar sebenarnya membimbing kita bagaimana seharusnya kita berpikir dan bertindak (SPI, 2021).
Namun, religiusitas, intelektualitas dan humanitas itu banyak yang hanya menafsirkan sebagai kompetensi seorang kader dalam dimensi “bergerak dan beramal” saja, tanpa terpintas bahwa di balik trikompetensi itu juga tersirat anjuran dan dimensi untuk berpikir melaluinya.
Tiga poin itu jika kita lacak ternyata memiliki kesamaan pada komponen pemikiran lain, yang ternyata inheren dengan epistemologi untuk berijtihad dalam Muhammadiyah, dan filsafat ilmu, hingga pokok bangunan Islam yang masing-masing mencakup tri-komponen. (Saya memakai istilah tri-komponen karena ketiga komponen menjadi satu kerangka tersendiri lalu berhubungan satu sama lainnya).
Jika disederhanakan maka dapat dipahami menjadi beberapa tri-komponen seperti demikian:
Koponen | Wahyu | Akal | Realitas |
Trikompetensi | Religiusitas | Intelektualitas | Humanitas |
Muhammadiyah | Bayani | Burhani | Irfani |
Filsafat Ilmu | Ontologi | Epistemologi | Aksiologi |
Pokok Islam | Iman | Ilmu | Amal |
Lalu sederhananya kita bisa mengabtraksikan proses berpikir ketika melibatkan epistemologi ini, maka dapat diabstraksikan seperti ini:
Proses berpikir ini melibatkan peran wahyu-akal-realitas. Sederhananya, fungsi wahyu sebagai inspirasi perlu diinterpretasikan oleh akal. Lalu hasil interpretasi akal akan direalisasikan dalam dunia realitas. Pun sebaliknya, realitas yang ditangkap indra perlu dicerna oleh akal, lalu akal akan mengkorelasikannya kepada wahyu. Proses berpikir ini bersifat sirkular (saling terhubung) dan bukannya partikular (terpisah).
Tidak seperti para pemikir barat. Kita sebagai muslim tidak semena-mena menolak fungsi dan posisi wahyu sebagai sumber ide utama. Kita membutuhkan bimbingan wahyu untuk menerjemahkan realitas yang ada. Sebaliknya, realitas yang ada sebenarnya juga sudah secara tersirat jauh-jauh hari disampaikan kondisinya di dalam wahyu. Namun bukan berarti akal tidak menjadi penting. Fungsi akal dengan instrumen berpikirnya yang apriori justru menjadi penting ketika diletakkan alat untuk menjembatani proses realitas ke wahyu dan sebaliknya.
Kecocokan komponen-komponen ini dimulai dari epistemologi Muhammadiyah berupa: bayani, burhani, dan irfani. Sebenarnya tri-komponen ini meminjam pemikiran Al-Jabiri dalam konstruksi pemikirannya yang dipakai untuk menerjemahkan realitas melalui pendekatan teks wahyu (bayani), lalu optimalisasi akal (burhani) dan pertimbangan intuisi dan perasaan (irfani) (Ridwan, 2023). Sama halnya berpikir dalam ikatan tidak boleh melepas ketiga aspek tersebut. Saling terhubung.
Al-Jabbiri dan Muhammadiyah
Tri-komponen trikompetensi dasar IMM sama subtansinya dengan epistemologi Muhammadiyah. 1) Religiusitas-bayani, dimana aspek religius seorang kader berasal dari implementasi dari makna ajaran wahyu agama. 2) Intelektualitas-burhani, yang subtansi keduanya berupa pemanfaatan akal budi untuk megembangkan pengetahuan. 3) Humanitas-irfani, dimana hubungan manusia dengan manusia lain membutuhkan kepekaan rasa yang nanti berkembang menjadi moral dan norma.
Filsafat Ilmu
Lalu dalam kerangka filsafat ilmu (Akhyar, 2022): ontologi, epistemologi, aksiologi, ternyata jika tiga komponen ini dicocokkan lagi, masih semakna. 1) Ontologi yang dipakai untuk melacak realitas (being) yang mendasar hakiki dan absolut, fungsi ini sama seperti fungsi bayani yang pembahasannya mencakup agama dan ketuhanan. 2) Epistemologi yang membahas secara mendalam proses memperoleh ilmu, sumber-sumbernya, struktur dan semacamnya, fungsi ini sama dengan burhani yang berupa optimalisasi akal untuk mengembangkan pengetahuannya. 3) Aksiologi yang objek bahasannya meliputi etika, nilai-nilai, norma hingga moral masihlah berkorelasi dengan irfani yang mengedepankan perasaan sebagai manusia yang dikembangkan menjadi nilai moral dalam kehidupan.
Islam
Pun dalam pokok bangunan islam, tri-komponen berupa: iman, ilmu, amal pun tiga komponen itu masih berkorelasi. Iman yang mewakili religiusitas-bayani. Lalu Ilmu yang mewakili intelektualitas-burhani. Dan, amal yang mewakili humanitas-irfani.
Meminjam ungkapan Ibu Karlina Supelli, Filsuf dan astronom Indonesia, menjelaskan tentang apa itu proses berpikir, “Berpikir bukan menarik kesimpulan logis, tapi nalar bukam proses berpikir, juga harus melibatkan moral, melibatkan ingatan, masa lalu, kini dan masa depan”. Hal ini menunjukkan bahwa berpikir haruslah komprehensif, luas dan menyeluruh.
Dengan berpikir secara komprehensif, kita bisa lebih berhati-hati dalam menerjemahkan realitas sebagai objek tanpa terkena bias. Instrumen analisa ini juga dapat kita gunakan untuk menyelesaikan masalah dan menjawab tantangan sosial, isu-isu terbaru, seperti politik, ekonomi, masalah agama dengan lebih tepat, dengan melibatkan aspek wahyu-akal-perasaan.
Kita sebagai muslim juga tidak lagi pesimis dan inferior dengan menjiplak cara berpikir barat. Dengan epistemologi ini kita tidak akan ekstrem religius dengan menolak realitas dunia. Juga tidak menjadi intektualis ekstrem dengan menyandarkan segalanya pada ilmu pengetahuan. Punn tidak menjadi humanis ekstrem yang menitikberatkan pada nilai kemanusiaan dengan melepas sumber-sumber wahyu. Dengan epistemologi ini kita bisa lebih luwes dan luas dalam berpikir tanpa harus kehilangan sisi religiusitas kita sebagai seorang muslim.
Mengaca kepada kader ikatan dan IMM hari ini. Epistemologi ini seharusnya memberikan warna baru dalam gerakan kita. Tidak lagi grusah-grusuh dalam beramal. Kader harusnya matang dalam berpikir sebelum melakukan pergerakan. Gerakan harus berbasis ilmu. Amal harus ilmiah. Maka untuk menjadi ilmiah harus dibenahi dulu cara berpikirnya.
Amal harus ilmiah dan ilmu untuk amaliah. Berkebalikan dengan kritik Kuntowijoyo (2004) pada ilmuwan barat: ilmu untuk ilmu. IMM hari ini justru lebih parah karena amal untuk amal, ilmu belakangan saja. Biar RPK saja yang mikir. Maka semua bidang di IMM, di tiap dimensinya, mari kembali berilmu amaliah dan amal ilmiah. Mari berpikir sebelum bergerak!
*Penulis adalah Anggota Bidang RPK IMM Komisariat Al-Faruq Periode 2023-2024 dan Anggota Cendekiawan Institute.