Pembicaraan tentang Islam yang murni rupanya belum selesai. Pencarian mengenai asal-usul Islam masih terus dilakukan, bagaimana gambaran Islam yang awal itu menjadi bahan diskusi yang cukup menarik bagi para sarjana.
Meskipun kita dapat temukan jawaban tentang potret Islam awal pada kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama muslim terdahulu (baca: tradisionalis), akan tetapi banyak juga sarjana modern (baca: revisionis) yang mempertanyakan ulang terkait keotentikan kitab-kitab tersebut. Satu contoh pertanyaan, apakah gambaran Islam awal yang tertulis pada kitab sesuai dengan fakta sebenarnya?
Kenyataan yang harus diterima adalah bahwa diskusi dengan tema Islam yang murni memang belum selesai. Kita dapat saksikan lahirnya gerakan-gerakan pembaharu pada awal abad ke-20, yang menyuarakan jargonnya dengan tegas yakni “Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah”.
Adanya dakwah dari gerakan pembaharu yang mengajak masyarakat/umat untuk kembali kepada Islam yang murni, serta beragama sedekat-dekatnya (meniru) seperti zaman Nabi Muhammad Saw. Gerakan reformasi Islam yang paling signifikan saat ini adalah Salafiyah. Hal yang melatarbelakangi lahirnya gerakan ini adalah sebagian dari kaum muslim konservatif menyadari betapa pentingnya membangkitkan kembali spirit “salaf shalih”.
Istilah tersebut biasanya dikaitkan dengan tiga generasi pertama muslim. Mereka sangat menghargai generasi salaf shalih hingga mereka menyebut dirinya sebagai salafiyun (pengikut kaum salaf) (Sirry, 2017). Hampir sama namun tetap berbeda. Muhammadiyah organisasi keagamaan yang lahir pada tahun 1912 di Indonesia menyebut dirinya sebagai gerakan pembaharu.
Hal yang melatarbelakangi lahirnya gerakan ini adalah upaya perumusan kembali ajaran Islam, yang kemudian di gagas dalam sebuah jargon kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, sebagai respons atas perubahan sosial akibat proses modernisasi oleh pemerintah kolonial Belanda.
Di samping seruan jargonnya itu, Muhammadiyah juga mendirikan lembaga-lembaga sosial-keagamaan seperti rumah sakit dan panti asuhan, serta lembaga pendidikan yang mengadopsi unsur-unsur modern. Seruan keagamaan ini sebenarnya dimaksudkan untuk memasukkan Islam ke dalam kehidupan kontemporer, dan memberi pemeluknya cita-cita kemajuan (Fauzia, dkk, 2004).
Biasanya cerita mengenai gambaran Islam yang awal dinarasikan sebagai berikut: Nabi Muhammad lahir di Makkah pada tahun 570 M. Dia adalah seorang pedagang yang jujur dan dapat diandalkan sebelum menjadi nabi. Di Gua Hira, pada usia empat puluh tahun, Nabi Muhammad menerima wahyu pertama dari Allah Swt melalui malaikat Jibril. Wahyu ini berlanjut selama dua puluh tiga tahun hingga dia meninggal pada tahun 632 M.
Kitab suci Al-Qur’an, yang terdiri dari 114 surah, berfungsi sebagai pedoman utama bagi umat Islam. Islam dengan cepat menyebar melalui kekhalifahan Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, dan banyak dinasti lainnya setelah wafatnya Nabi Muhammad. Dakwah, perdagangan, dan kadang-kadang penaklukan adalah cara penyebaran ini dilakukan.
Dari penjelasan deskripsi di atas, para sarjana muslim menerima dengan wajar, sebab memang seperti itulah gambar tentang kemunculan Islam yang tertulis dan tersebar. Bagi sarjana muslim, kitab sirah/biografi Nabi dan sejarah kemunculan Islam yang ditulis oleh ulama terdahulu seperti Ibnu Ishaq (wafat tahun 767M) dan Tabari (wafat tahun 923M), memiliki posisi sangat penting.
Karena kitab yang ditulis itu menjadi sumber rujukan yang utama dalam merekonstruksi gaya hidup Nabi dan sejarah munculnya Islam. Meski, kitab-kitab itu ditulis ratusan tahun setelah Nabi wafat, akan tetapi diyakini kitab itu menyajikan data-data yang faktual dan tidak diragukan (Sirry, 2017).
Problemnya adalah, sejauh mana catatan ulama muslim terdahulu itu benar-benar akurat sehingga mengandung fakta-fakta historis yang tidak dipengaruhi oleh kepentingan tertentu pada masa mereka menulis? Demikianlah, tulisan ini diakhiri dengan pertanyaan, semoga pembahasannya berlanjut.
*Penulis adalah Sekretaris Bidang Media dan Komunikasi IMM Komisariat Ushuluddin FIAD.