Ponorogo Charter (Bagian Pengantar)

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Muhammad Habib Muzaki)

 

Umat Islam di Indonesia memiliki riwayat baik dalam proses berdialog. Seperti apa yang telah dicatat dalam sejarah terkait perumusan dasar negara.

Perubahan rumusan nilai dasar negara dalam peristiwa Jakarta Charter atau yang disebut sebagai Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, menjadi momentum bersejarah yang akan terus diingat terkait betapa kritis dan terbukanya umat Islam dalam menyikapi keberagaman suara yang ada di Indonesia.

Sikap inilah yang patut untuk diteladani bagi umat Islam hari ini di tengah-tengah kejumudan yang merajalela. Oleh karenanya, perubahan perlu diyakini sebagai sebuah keniscayaan.

Seperti yang diamini oleh gerakan Muhammadiyah, melalui gerakan tajdidnya atau gerakan pembaharuannya (Nashir, 2014). Bahwa kehidupan akan selalu menjadi panggung atas kemenangan benderangnya cahaya perubahan terhadap pekatnya bayang-bayang kegelapan kejumudan. Sekalipun ia dibuat pincang di hadapannya, perubahan pasti akan terjadi.

Demikian semangat dan sikap keteladanan yang telah ditunjukkan oleh para pembesar Indonesia di masa lampau. Hal itu perlu untuk senantiasa dirawat dan dibudayakan, khususnya dalam kancah Musyawarah Daerah (Musyda) XXII IMM Jawa Timur.

Mengutip Lukacs, hakikat kehidupan merupakan serangkaian proses gerak dialektis yang kompleks, dan peranan untuk mengurai suatu kompleksitas tersebut perlu untuk diemban (Karyanto, 1997).

Dalam konteksnya, kecerdasan serta ketelitian dalam melihat laju perkembangan zaman yang dicurahkan dalam proses dialogis merupakan bentuk kesantunan proses distribusi kekuasaan yang telah dipercayakan pada DPD IMM Jawa Timur selama satu periode penuh. Utamanya kesantunan dalam mengakomodir berbagai ide serta gagasan segenap kader IMM Jawa Timur.

Musyda IMM Jawa Timur yang dilangsungkan di Kabupaten Ponorogo, eloknya meneladani peristiwa Jakarta Charter, utamanya perihal keterbukaan terhadap ide serta gagasan baru yang membawa mesin pemikiran serta pergerakan IMM Jawa Timur tidak tergerus oleh relasi-relasi reifikatif dalam proses implementasinya (Lukacs, 1971).

Maka dari itu, rumusan gagasan yang diiringi nilai-nilai Trilogi IMM dan pembacaan terhadap urgensi perkembangan zaman melatarbelakangi tercetusnya poin-poin dalam naskah Ponorogo Charter atau Piagam Ponorogo oleh PC IMM Kota Surabaya.

Harapannya, rumusan ini menjadi gema dalam selongsong ruang hampa, menembus riuh-riuh isi kepala segenap kader IMM Jawa Timur. Memberi sinyal yang memanggil diri mereka, untuk tidak hanya menjadi saksi, tetapi juga menjadi aktor bagi terwujudnya perubahan-perubahan besar bagi ikatan yang dicintai serta dikasihi ini.

Senafas dengan tema pada Musyda XXII IMM Jawa Timur “Ta’awun untuk Jawa Timur” yang menyeru kepada gerak kolaboratif untuk mengukir perubahan kearah yang lebih baik, rumusan Ponorogo Charter ini ditujukan untuk menghadapi proses infantilisasi gerakan mahasiswa oleh mereka yang memilih untuk pasif di tengah-tengah kesenjangan serta ketidakadilan.

Sudah sepatutnya DPD IMM Jawa Timur menjadi aktor yang mengawal tindakan-tindakan demikian. yang justru menutup keran-keran kebermanfaatan untuk di distribusikan secara meluas.

Lebih lanjut, DPD IMM Jawa Timur perlu menjadi pembesar gerakan mahasiswa di tengah-tengah pengkerdilan yang secara nyata telah dinampakkan. Bahwa mahasiswa dengan gerakan kritisnya perlu kembali ke tahtanya yang agung, memanfaatkan privilege kaum terpelajar muda yang menjadi fasilitator pemberdayaan akar rumput, untuk diakui kedaulatannya.

Berikutnya, kepada para calon ketua umum serta barisan kontestan calon formatur yang sedang memperjuangkan kelayakannya untuk melanjutkan tonggak kepemimpinan, kepada mereka diucapkan selamat memantaskan diri.

Siapapun yang berhak dan tidak berhak menerima mandat kepemimpinan dari proses musyawarah ini sepatutnya menjunjung tinggi nilai ksatria dalam dirinya. Bahwa keteduhan proses musyawarah sejatinya juga dicerminkan terhadap kesungguhan mengawal, mengimplementasikan, serta mengevaluasikan gagasan yang nantinya akan disepakati.

Perlu diketahui, objektivikasi yang diemban oleh pemimpin tiada lain adalah mengikis kesenjangan, menghadirkan kesetaraan. Kepada mereka, gagasan dan ide ini digantungkan untuk menjadi peta pemikiran serta pergerakan bagi DPD IMM Jawa Timur di periode berikutnya.


 

*Penulis adalah Anggota Bidang Organisasi PC IMM Kota Surabaya.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *