Ponorogo Charter (Bagian Kajian Isu Part I)

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Muhammad Habib Muzaki)

 

Kekuasaan, idealnya dijalankan beriringan dengan nilai-nilai moral (Maarif, 2019). Sebagaimana keniscayaan, hancurnya sebuah kekuasaan akan terjadi bilamana hal esensial tersebut tidak lagi dianggap penting.

Dalam hal ini, DPD IMM Jawa Timur sebagai institusi yang dilimpahkan amanah untuk menggunakan kekuasaan, sudah semestinya mengakomodir pandangan-pandangan alternatif dalam proses pendistribusian kebermanfaatan dari kekuasaan yang diembannya.

Pandangan-pandangan yang nantinya akan merumuskan haluan dalam bentuk rekomendasi kebijakan, utamanya yang memang berkaitan dengan kesejahteraan mahasiswa (DiNitto & Johnson, 2016). Pemberian rekomendasi ini tentu didasarkan atas kajian terhadap isu-isu mutakhir yang sedang atau telah berlangsung di jajaran akar rumput.

Tidak hanya itu, pertimbangan yang dibuat dalam merumuskan rekomendasi kebijakan ini juga didasarkan atas kekuatan dan daya tawar politik DPD IMM Jawa Timur untuk berkolaborasi bersama mitra-mitra strategis, baik di dalam ataupun di luar jaringan pemerintahan.

Dalam konteks ini, setidaknya ada tiga kajian isu yang diangkat oleh PC IMM Kota Surabaya, yaitu 1) Spiritualisme Kritis, 2) Ekspansi Akademisi, dan 3) Filantropi Pendidikan.

 

Spiritualisme Kritis

Dalam diri seseorang, tidak menutup kemungkinan dirinya memiliki identitas yang plural (Sen, 2007). Penghormatan terhadap identitas tersebut apabila dikaji lebih mendalam dapat menjadi sebuah kekuatan dan tantangan dalam tubuh IMM.

Contohnya, seseorang bisa jadi merupakan inidividu yang tumbuh di lingkungan nahdliyin. Sehingga, meski ber-Muhammadiyah nantinya, aspek-aspek kenahdliyinannya akan sedikit banyak dipraktekan. Sekalipun secara prinsip lebih cenderung kepada Muhammadiyah.

Irisan-irisan identitas tersebut yang tentunya tidak boleh diabaikan tanpa memandang potensi besar yang dimilikikinya. Sayangnya, keangkuhan demi keangkuhan identitas masih kerap dipertontonkan.

Klaim kebenaran tunggal ajaran agama masih menjadi persoalan yang kerap terjadi, terlebih di negara yang penuh dengan keberagaman etnis seperti Indonesia ini. Tercatat, terjadi kenaikan dalam jumlah kasus yang berkaitan dengan intoleransi beragama (Tempo, 24/3/2023).

Mewarisi trah Islam profetik, praktik keberagamaan IMM tentu tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan kebermanfaatan sosial yang dibawanya (Abdurrahman, 1995). Bahwasanya, perilaku sosial mencerminkan bagaimana seseorang menganut nilai-nilai transendensi yang diajarkan melalui Al-Qur’an dan hadits.

Terlebih lagi, di tengah-tengah keberagaman umat beragama, akan sangat amat merugikan jika klaim kebenaran agama bersifat tunggal dan mengabaikan nilai pluralitasnya. Sepatutnya, mengedepankan kebermanfaatan atas segala ajaran-ajaran yang dianjurkan lebih utama daripada memperdebatkan benar tidaknya suatu ajaran.

Demikian konsep praktek beragama yang acap kali dipandang sebelah mata dengan meminjam terminologi Ayu Utami (2019), yaitu spiritualisme kritis. Suatu konsep hidup keberagamaan dalam keberagaman yang mengutamakan kesalihan beragama dalam memprioritaskan kebermanfaatan sosial ajarannya.

Praktek ini sejalan dengan tren insklusivitas Muhammadiyah yang ditampilkan melalui fenomena KrisMuha (Kristen Muhammadiyah), suatu terminologi yang menyorot keterbukaan Muhammadiyah dalam mengakomodir mahasiswa ataupun kelompok lintas agama dalam mengenyam pendidikan atau menikmati kebermanfaatan program dari Persyarikatan (Ilham, 2023).

Fenomena ini tentu disambut baik oleh masyarakat luas bagaimana Muhammadiyah tidak sedikitpun memaksakan klaim kebenaran tunggal ajaran Islam terhadap kelompok lintas agama. Sikap keterbukaan inilah yang perlu untuk dikaji secara komprehensif untuk menjadi pondasi-pondasi penguat gerakan IMM Jawa Timur dengan mempertimbangkan potensi-potensi yang dapat disalurkan oleh basis massa IMM yang lebih beragam di akar rumput.

Tidak terkecuali mereka yang berdinamika di lingkungan yang lebih beragam, utamanya di perguruan tinggi negeri (PTN) kerap dilema terhadap proses afirmasi identitas basis massanya yang beragam tersebut. Sebagai bentuk adaptasi dengan kondisi di sekelilingnya, tidak jarang basis massa IMM di PTN terjebak dalam dilema pada proses rekrutmen kadernya.

Dengan tingginya persaingan dengan organisasi eksternal lain yang mentereng dan mengakar jejaringnya di dalam kampus, membatasi rekrutmen kader IMM hanya dalam lingkup alumni, warga, atau jejaring Muhammadiyah tentu tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk menggerakkan roda organisasi. Pembacaan situasi tersebut memunculkan alternatif untuk merangkai keberagaman basis massa sebagai aset pergerakan IMM di lingkup kampus tersebut.

Dalam hal ini, konflik latar belakang yang kerap ditemui seringkali berkisar pada pemahaman Islam (seperti kader yang tidak berhijab) hingga kader lintas agama (tidak beragama Islam). Kendati demikian, belum ada garis tegas yang dapat melegitimasi tindakan perekrutan yang amat sangat kontras yang makin menguatkan dilema proses rekrutmen tersebut.


 

*Penulis adalah Anggota Bidang Organisasi PC IMM Kota Surabaya.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *