Perayaan Kemerdekaan Tanpa Keadilan Sosial adalah Bentuk Pengingkaran

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Muhammad Habib Muzaki)

 

Dalam merayakan hari kemerdekaan, selain upacara bendera juga dilakukan lomba-lomba dan perayaan-perayaan lain sesuai dengan tradisi atau adat masing-masing daerah.

Hal ini tidak dilarang, namun selain memperhatikan syariat dan norma sosial, juga jangan lupakan untuk melakukan refleksi di umurnya yang sudah menginjak 79 tahun.

Dalam ajaran Islam, pentingnya refleksi tidak dapat diabaikan. Islam mengajarkan bahwa setiap perayaan, termasuk perayaan kemerdekaan, harus disertai dengan renungan mendalam tentang makna dan tujuan sejati dari apa yang dirayakan.

Sebagaimana Allah Swt mengingatkan kita dalam Q.S. Al-Anfal ayat 27, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan (janganlah) mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”

Kini, kita sudah 26 tahun setelah reformasi 1998 dan 21 tahun sebelum Indonesia Emas 2045 ketika usia Proklamasi Kemerdekaan RI mencapai 100 tahun. Apakah negeri tercinta kita akan mencapai tujuan utamanya, yakni mewujudkan negara yang maju, merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur yang berasaskan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?

Jangan-jangan malah sebaliknya, cita-cita tersebut hanya diimpikan oleh kaum utopis dan Indonesia akan menjadi negeri distopia?

 

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Indonesia adalah negara yang menganut sistem ekonomi pancasila atau ekonomi kerakyatan, yaitu sebuah sistem ekonomi pasar dengan pengendalian pemerintah atau “ekonomi pasar terkendali”. Biasa disebut juga sebagai sistem ekonomi campuran, maksudnya campuran antara sistem kapitalisme dan sosialisme.

Dari sistem tersebut tentu dipakai untuk menerapkan salah satu rumusan/rumus dari pancasila, yakni sila kelima (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Akan tetapi dalam realitasnya apakah demikian? Atau yang terjadi adalah sebuah “ketimpangan”?

Di sektor pendidikan, faktanya sekitar 80% populasi Indonesia berpendidikan terakhir SMP, hanya 6,4% yang mengenyam pendidikan tinggi. Dalam peringkat Global Talent Competitiveness Index 2022, Indonesia berada di urutan ke-82 dari 133 negara di dunia, di bawah negara tetangga ASEAN lainnya.

Sekitar 76% pengangguran adalah lulusan SD dan SMP, ini salah satunya disebabkan oleh rendahnya keterampilan dan keahlian yang mereka miliki. Sehingga, mengatasi pendidikan artinya mengatasi banyak masalah di masa mendatang.

Pada sektor kemiskinan, sekitar 7 dari 10 (68%) orang Indonesia atau 187 juta warga tidak mampu membeli makanan dengan gizi seimbang. Sekitar 8 dari 10 petani Indonesia tergolong petani gurem dan kecil dengan penguasaan lahan di bawah 2 hektar.

Karena kemiskinan pula, 1 dari 5 balita Indonesia mengalami stunting. Kesehatan fisik dan mental masih menjadi masalah. Keduanya kebanyakan berakar dari isu kemiskinan. Sehingga, mengatasi kemiskinan artinya juga mengatasi banyak masalah di masa mendatang.

Masalah pendidikan dan kemiskinan adalah dua masalah utama dari daftar masalah yang harus diselesaikan oleh negeri ini sebelum usia 100 tahun terlewati.

Karena sensus penduduk tahun 2020 menunjukkan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 191 juta jiwa atau 70,7% dari total penduduk. Persoalannya, bonus demografi ini akan menjadi keuntungan jika kita berhasil mewujudkan generasi muda terdidik dan berkualitas. Jika tidak, ia akan berubah menjadi“tsunami demografi”.

Masalah pendidikan dan kemiskinan juga membuka lebar jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin. Kota-kota besar di Indonesia menjadi tempat dimana ketimpangan sosial dan ekonomi tergambar jelas.

Kota adalah tempat dimana orang-orang dengan kekayaan melimpah dapat hidup dengan nyaman. Sementara di sudut sudut kota, banyak keluarga miskin berjuang untuk sekedar hidup.

 

Perayaan Kemerdekaan Tanpa Keadilan Sosial Adalah Bentuk Pengingkaran

Mengutip Howard Zinn dalam bukunya yang berjudul Disobedience and Democracy (1968), “There is a danger in overemphasizing symbols at the expense of substance. A flag may wave in every yard, and we may still be a nation far from justice.”

Zinn mengajak kita untuk tidak hanya merayakan simbol kemerdekaan, tetapi juga merenungkan dan memastikan bahwa substansi dari kemerdekaan, yakni kebebasan, keadilan, dan penghormatan terhadap semua budaya dan identitas, benar-benar terwujud.

Perayaan-perayaan yang berlebihan hanyalah klaim atas keadilan sosial yang tidak dapat dilangsungkan oleh negara. Perayaan momentual semacam ini lebih menyerupai sirkus yang hanya menghibur sesaat. Dalam perspektif Islam, ini adalah pengingkaran terhadap nilai keadilan yang merupakan salah satu pilar utama syariah.

Allah Swt berfirman dalam Q.S. An-Nisa ayat 58, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” Perayaan kemerdekaan tanpa keadilan sosial adalah bentuk pengingkaran terhadap perintah Allah Swt.

 

Dimulai dari Diri Sendiri

Memaknai kemerdekaan tidak hanya bisa dilakukan melalui upacara dan perayaan, tetapi harus diwujudkan dalam aksi nyata.

Kita dapat mulai dengan memberdayakan komunitas-komunitas yang terpinggirkan, mendukung keadilan sosial, dan memastikan bahwa setiap individu di negara ini, dari Sabang sampai Merauke, merasakan manfaat dari kemerdekaan yang bersama rayakan.

Amanat Pancasila sebagai dasar negara, yang sejalan dengan ajaran Islam, harus menjadi pedoman bagi seluruh pemangku kekuasaan dalam menjalankan tugasnya.

Nilai-nilai keadilan sosial, persatuan, dan penghormatan terhadap keragaman budaya yang terkandung dalam Pancasila adalah cerminan dari prinsip-prinsip Islam yang mengajarkan kasih sayang dan keadilan bagi seluruh umat manusia.


 

*Penulis adalah Ketua Umum IMM Komisariat Mipha.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *