Pengertian dari tauhid menurut bahasa Arab ialah wahhada-yuwahhidu-tauhidan yang mempunyai arti menjadikan Esa. Adapun tauhid dalam segi istilah yaitu mengesakan, menunggalkan Tuhan, atau dapat dikatakan suatu ketentuan yang mengukuhkan bahwa Tuhan itu Esa (Arya, 2023).
Tidak ada yang serupa bagi-Nya, tidak beranak dan tidak pula diperanakan, Tuhan yang menciptakan alam semesta dan segala isinya, yang mengatur dan memelihara, juga yang memusnahkan. Kemudian hakikat dari tauhid sendiri yaitu mengesakan Allah Swt. Bentuk macam-macam dari tauhid yaitu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma’ wa sifat.
Dalam tafsiran menurut Sayyid Muhammad Rasyid Rida, tauhid rububiyah yaitu dalam arti kata Esa Allah Swt. dalam penciptaan, penentuan perjalanan makhluk, pentabdiran alam, penentuan syariat bukan hanya bertujuan untuk memberi keyakinan keoada mu’attilin dan musyrikin tentang rububiyah Allah Swt., bahkan yang lebih utama adalah untuk mengemukakan hujjah tentang kepalsuan melakukan syirik terhadap Allah Swt. (Abdullah dan Ibrahim, 2010).
Sedangkan tauhid uluhiyyah yakni sebagai mentauhidkan Allah Swt. dan beribadah hanya kepada Allah Swt. dan tidak menyekutukan Allah Swt. dengan yang lain, jika hak peribadatan diberikan kepada yang lain selain Allah Swt., maka berlakulah penyelewengan dan terjadinya syirik kepada Allah Swt. dalam konteks tauhid. Kemudian tauhid asma’ wa sifat yakni sebagai mengesakan Allah Swt. dari segala nama dan sifat-sifat-Nya, karena Allah Swt. hanya layak bersifat dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan.
Urgensi seorang muslim dalam memperdalam ilmu tauhid agar dapat menjadikan nilai-nilai tauhid sebagai pokok dasar kecintaan dalam beribadah kepada Allah Swt. Menurut Syaikh Abdurrahman as-Sa’di, menjelaskan bahwasanya pentingnya tauhid, sebab tauhid merupakan asal yang agung secara mutlak, paling lengkap, paling utama, paling wajib demi memperbaiki manusia (Muji, 2023).
Oleh sebab itu, jin, manusia dan mahluk lainnya diciptakan dengan diwajibkan menjalankan serta menegakkan syariat sehingga keberadaanya membuat baik dan ketiadaanya menjadikan rusak.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Gufroni (2022) dijelaskan bahwa Q.S. Al-Kafirun berbicara tentang tauhid, yakni pada ayat pertama (قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَۙ ١) dijelaskan bahwa adanya orang-orang kafir atau tokoh-tokoh kaum kafir yang tidak mempercayai keesaan Allah Swt. serta tidak mengakui kerasulan Nabi Muhammad saw. atau meninggalkan ajaran Islam.
Kemudian di ayat kedua(لَآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَۙ ٢) kata a’budu pernyataan terkait Nabi Muhammad saw. yang diperintahkan untuk menyatakan bahwa Nabi saw, sekarang dan di masa datang, bahkan sepanjang masa, tidak akan menyembah serta tunduk kepada apa yang disembah kaum musyrikin.
Pada ayat ketiga (وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۚ ٣) ini mengisyaratkan bahwa mereka tidak akan mengabdi atau pun taat kepada Allah Swt., Tuhan yang disembah Rasulullah. serta ayat ini juga ditujukan kepada tokoh-tokoh kafir Mekah yang ketika itu datang kepada Rasulullah saw. untuk menawarkan kompromi, dan yang dalam kenyataan sejarah tidak memeluk agama Islam. Bahkan sebagian dari mereka mati terbunuh karena kekufurannya.
Dan, pada ayat keempat (وَلَآ اَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْۙ ٤) dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Nabi saw. tidak akan mungkin menyembah ataupun taat kepada sembahan-sembahan mereka baik yang mereka sembah hari ini, esok, maupun yang pernah mereka sembah kemarin.
Adapun pada ayat kelima (وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ ٥) berisi tentang cara peribadatan dengan ayat yang berisi, “Aku tidak akan pernah menjadi penyembah dengan cara penyembahanmu, kamu sekalipun tidak akan menjadi penyembah dengan cara penyembahanku”. Yang mana cara penyembahan umat muslim berdasarkan petunjuk illahi, sedangkan cara penyembahan kaum musyrikin berdasarkan hawa nafsu mereka.
Terakhir, pada ayat keenam (لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِࣖ ٦ ) berisi tentang ketidakmungkinan bertemunya antara keyakinan ajaran Islam dan kepercayaan Nabi Muhammad saw. dengan kepercayaan kaum yang mempersekutukan Allah Swt.
Ayat di atas juga menjelaskan terkait penetapan cara pertemuan dalam kehidupan masyarakat yaitu: bagimu agamamu dan bagiku agamaku, kamu bebas dalam menjalankannya sesuai kepercayaanmu dan aku bebas untuk menjalankan sesuai agamaku.
Nilai-nilai ketauhidan yang tekandung pada Q.S. Al-Kafirun ini bahwasannya terdapat perbedaan besar antara sifat-sifat Tuhan yang disembah kaum mislimin dan kaum musyrikin sehingga adanya perbedaan dalam pelaksanaan ibadah, serta surat ini juga Allah Swt. menekankan perihal toleransi antar umat beragama.
Hal ini dilakukan melalui pengerjaan ibadah sesuai dengan ketentuan ibadah masing-masing agama tanpa mencampur adukkan urusan agama keduanya dan juga mengajarkan akan ketegasan dalam mempertahankan keyakinan terhadap keesaan Allah Swt. dan menolak segala bentuk penyembahan selain pada-Nya.
*Penulis adalah Sekretaris Bidang Tabligh IMM Komisariat UPN “Veteran” Jawa Timur.