Seringkali kita dengar, orang Indonesia ialah orang yang berbudi luhur dengan segala kerendahan hati, memiliki perangai yang baik, dan berpengetahuan luas, sebagaimana yang tercantum dalam UU Republik Indonesia No.2 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Namun yang menjadi pertanyaannya, apakah kita sering berjumpa dengan manusia seperti itu? Lalu, apakah masih ada dia yang dikatakan manusia Indonesia di zaman ini? Apakah kita masih menemukan manusia dengan keluhuran budi yang sangat luar biasa serta berpengetahuan luas untuk saat ini? Jawabannya bisa jadi iya dan bisa jadi tidak.
Pada zaman dulu, orang-orang di Indonesia (masyarakat Nusantara tentunya) cenderung mengadopsi pendidikan dan pengajaran yang diwariskan oleh para leluhur mereka. Meyakini apa yang baik dan apa yang buruk, menerima setiap jenis pengajaran dengan lapang dada dan tanpa pertimbangan panjang.
Diajarkannya falsafah-falsafah kehidupan guna menyelesaikan setiap permasalahan dalam kehidupan. Akan tetapi, bila dipikir lebih dalam, sudah benarkah apa yang diajarkan oleh para orang tua di zaman dulu. Apakah tidak ada kebenaran lain selain pengajaran mereka? Apakah kebenaran pengajaran mereka bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat? Sebuah pertanyaan yang cukup unik untuk dicari kebenarannya melalui penjelasan.
Sistem pendidikan dan pengajaran di zaman dahulu cukup menakjubkan, mengajarkannya ilmu-ilmu penting dalam kehidupan. Katakanlah seperti meramu obat bagi orang sakit, cara cocok tanam yang baik, serta pengajaran nilai-nilai yang harus dijaga dalam kehidupan.
Jika kita berkaca dari pandangan pendidikan modern saat ini, tentu apa yang diajarkan oleh para nenek moyang terdahulu, tidaklah sepenuhnya benar. Di zaman dulu, ketika ada seorang raja yang sedang jatuh sakit, maka obatnya adalah racikan jamu herbal yang berasal dari alam, dan bahkan ada yang melakukan praktik perdukunan dalam mengobati berbagai penyakit.
Namun, jika kita melihat dalam kacamata medis saat ini minum jamu merupakan sesuatu yang sangat dihindarkan, karena semakin berkembang dan kompleksnya teknologi kesehatan modern yang memungkinkan memberi alternatif pengobatan lain selain minum jamu. Tentunya meminum jamu, sebagaimana masih menjadi kepercayaan sebagian orang, memang masih memiliki manfaat tersendiri dalam pengobatan.
Akan tetapi, sangat miris bila masih ada sebagian manusia Indonesia yang menolak perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap mempertahankan ajaran kuno yang telah mereka dapatkan secara turun temurun. Pengetahuan selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman, pengetahuan akan selalu berubah seiring dengan berjalannya dinamika-dinamika dalam kehidupan.
Jika kita sebagai manusia Indonesia menolak perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan, maka selamanya kita akan menjadi manusia tertinggal dan akan selalu terbelenggu dalam perbudakan.
Pada contohnya ketika berada dalam kondisi sakit, kita cenderung lebih memilih datang pada yang katanya orang pintar untuk berobat daripada datang kepada dokter untuk diperiksa.
Pada zaman dulu–dan mungkin juga terjadi pada zaman sekarang–di beberapa tempat, pendidikan selalu diberikan kepada golongan/kaum-kaum tertentu. Misalnya saja para kaum laki-laki selalu dapat mengenyam suatu pendidikan, sedangkan kaum perempuan terkadang hanya dari kalangan tertentu saja dan tidak semuanya mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya.
Kesenjangan-kesenjangan semacam itu yang membuat sebagian besar manusia Indonesia masih terbelenggu dalam penjarahan. Mereka yang menganggap pendidikan hanyalah dan harus diberikan kepada kaum-kaum tertentu, merupakan contoh manusia yang takut akan sebuah kebebasan.
Mereka takut orang lain memiliki pengetahuan yang sama dengannya dan takut otoritas pengetahuannya diganggu. Sungguh sebuah pertarungan yang kentara, bila kita menginginkan sebuah kemajuan teknologi, namun di saat yang sama kita juga takut orang lain menentang pengetahuan yang kita miliki.
Bagaimana kita menginginkan pengetahuan berkembang sementara kita masih takut orang lain akan mendapatkan pendidikan yang setara dengan kita. Kita menginginkan manusia berkualitas yang memiliki pengetahuan luar biasa, tetapi enggan memberikan pendidikan kepadanya.
Terdapat suatu doktrin dari kaum Materialis yang mengatakan bahwa manusia merupakan hasil dari lingkungan dan pendidikannya. Maksudnya, manusia yang berubah adalah hasil dari lingkungan yang berbeda dan pendidikan yang telah diubah. Namun, terkadang manusialupa bahwa merekalah yang mengubah dunia dan mereka sendiri juga membutuhkan pendidikan untuk melakukan suatu perubahan (Freire, 2008).
Pendidikan harus diajarkan kepada semua orang, tanpa memandang suku, ras, bangsa, maupun jenis kelamin. Setiap orang mendapat hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam perkembangan teknologi.
Pendidikan, dalam arti yang agak luas sebenarnya diartikan sebagai suatu proses dengan metode tertentu. Akibatnya, seorang individu mendapatkan pengetahuan dan pemahaman serta cara berperilaku yang sesuai dengan kebutuhan (Uyun & Warsah, 2021).
Proses penanaman nilai-nilai dalam pendidikan mencakup aspek-aspek fundamental yang bertujuan mengembangkan sisi kemanusiaan seseorang. Hal ini berperan penting dalam membentuk individu yang sempurna secara holistik, mencapai tingkat kesempurnaan moral dan spiritual yang dikenal sebagai insan kamil.
Pendekatan ini tidak hanya fokus pada pengembangan intelektual, tetapi juga memperhatikan pertumbuhan karakter, etika, dan spiritualitas. Dengan kata lain, pemberian pendidikan yang disertai dengan penanaman nilai-nilai akan menghasilkan manusia yang utuh dan seimbang dalam berbagai dimensi kehidupannya.
Kirschenbaum (1992) menegaskan bahwa tujuan pendidikan nilai adalah untuk memelihara moral bangsa dari degradasi moral. Lebih lanjut, nilai pendidikan turut mempertimbangkan objek dari sudut pandang moral dan dari sudut pandang non moral, yang meliputi estetika yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, serta etika yang menilai benar atau salahnya dalam membangun hubungan antar pribadi (Faiz & Kurniawaty, 2022).
Karena setiap manusia mempunyai kebutuhan masing-masing dalam hidupnya, hal tersebut dapat dicapai melalui suatu pendidikan dan proses belajar. Perlunya kesadaran bagi setiap manusia untuk memiliki pemahaman akan suatu esensi dari pendidikan.
Muhammad Iqbal, salah seorang tokoh intelektual Muslim, menilai bahwa pendidikan sejatinya memiliki tujuan agar masalah yang terjadi dalam masyarakat mampu terselesaikan dengan baik (Suriadi, 2016). Jadi bagi Muhammad Iqbal, suatu nilai luhur yang murni dari pendidikan yang harus diberikan kepada semua manusia tanpa memandang status sosialnya.
Seharusnya bagi kita semua yang diberi label Manusia Indonesia , memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan yang harus ditanamkan kepada setiap anak sejak usia dini. Dengan hal tersebut maka akan tertanam nilai-nilai moral yang luhur, sehingga ke depannya mereka akan tumbuh menjadi individu atau manusia yang berkarakter pendidikan yang baik.
Yang kemudian nantinya harapan utama bagi kita semua adalah terwujudnya Manusia Indonesia yang berpengetahuan dan berwawasan luas, serta memiliki keahlian yang tinggi dengan perangai yang baik serta tidak menyombongkan diri.
*Penulis adalah Kader IMM Komisariat Educare.