Konon, pemimpin juga kerap disandingkan dengan kaum Adam dan membatasi ruang gerak perempuan sehingga kerap terjadi ketimpangan peran yang perlu diluruskan. Kabar baiknya, kemajuan teknologi yang ada saat ini dapat lebih mewadahi ruang gerak perempuan.
Baik dari segi pemikiran hingga aktivitas sosial yang tidak lagi dibeda-bedakan. Sehingga, eksistensi perempuan tidak lagi dinomor duakan.
Fenomena yang ada saat ini menunjukkan bahwa perempuan tidak lagi hanya sebagai pengikut, namun juga bisa berperan menjadi pemimpin organisasi. Kondisi yang ada saat ini menguntungkan kaum Hawa pun tidak merugikan kaum adam. Karena dengan kontribusi perempuan serta kolaborasi yang terus dijaga dengan komunikasi, tentu akan melahirkan gerakan yang luar biasa.
Berbicara mengenai eksistensi perempuan dan gerakan tentu telah banyak role model pahlawan perempuan yang sukses dengan pencapaiannya. Salah satunya Ibu kita Kartini yang menjadi salah satu tokoh pejuang emansipasi wanita di Indonesia, terutama dalam hal pendidikan.
Pemikiran Kartini soal emansipasi wanita berkembang karena korespondensinya dengan teman-teman di Belanda. Dengan semangat dan tekat perubahan, Kartini mampu merubah pola pandang kaum perempuan saat itu dengan semboyan yang selalu digaungkan “Habis gelap terbitlah terang”. Karena jasa beliau lah, kaum perempuan dapat merasakan nikmatnya pendidikan.
Perempuan mempunyai peran besar dalam peradaban. Hal tersebut sudah tidak diragukan lagi. Namun kenyataan yang terjadi saat ini perempuan selalu dikaitkan dengan standar kecantikan, dimana perempuan dan kecantikan merupakan satu kesatuan yang identik.
Kecantikan sebagai sifat feminin sebenarnya telah berakar kuat dalam sistem sosial yang lebih luas dan terprogram secara budaya. Setiap hari, kaum perempuan diyakinkan dengan mitos-mitos kecantikan yang semakin menjerumuskan mereka dalam jurang pemujaan terhadap kecantikan.
Pada akhirnya, diakui atau tidak, tubuh yang ditampilkan oleh perempuan merupakan keinginan yang dilihat oleh kaum laki–laki. Tubuh merupakan kekuasaan yang dilebih–lebihkan bagi kaum feminis dan Foucault.
Menurut Susan Bordo, feminis lah yang pertama kali yang membalikan pemakaian kata “ Politik Tubuh ” dan bukan menjelaskan arti yang sebenarnya, untuk dapat berbicara tubuh yang dapat dipolitikan, “tubuh manusia itu sendiri adalah entitas yang bertuliskan secara politis, fisiologi dan morfologinya dibentuk oleh sejarah dan praktik-praktik penahanan dan kontrol.” (Bordo, 1993: 21).
Fenomena ini dikuatkan dengan hasil Survei ZAP Beauty Index tahun 2018, sebanyak 73.1 persen perempuan Indonesia menganggap cantik adalah memiliki kulit yang bersih, cerah, dan glowing.
Terlepas dari kontroversi yang ada, menurut saya perempuan sebagai pemudi harus memberikan pencerahan untuk mengubah persepsi konservatif tentang standar kecantikan. Karena sejatinya cantik itu relatif, tidak semua perempuan cantik memiliki otak yang cantik pula.
Pertanyaan pun muncul di tengah menyeruaknya kondisi semacam itu. Bagaimana sebetulnya tren global dan perilaku masyarakat modern menempatkan kelompok perempuan dalam ruang global yang dalam banyak bentuk, justru kelompok perempuan mengalami alienasi akibat perilaku kelompok lain (laki-laki utamanya) memanfaatkan ruang global tersebut untuk membully kelompok perempuan?
Bukankah ruang global dan tren yang mengikutinya dimanfaatkan oleh semua pihak tanpa garis demarkasi, tetapi di sisi lain justru kelompok perempuan terdegradasi dari ruang global tersebut? Di sini sebetulnya kemunduran peradaban semakin kencang dan gencar dialami oleh kelompok perempuan.
Meskipun pada permukaan, kelompok perempuan belum merasakan secara langsung, namun pada arus bawah kondisi tersebut makin menguat. Anehnya, hal demikian malah absen dari logika banyak orang, terutama perempuan.
Sehingga penting bagi perempuan memahami eksistensi dan standarisasi cantik versi diri sendiri. Cantik yang tidak hanya fisik namun juga akal. Agar dinamisnya media sosial dapat diimbangi dengan hal-hal positif yang dimiliki perempuan. Agar semesta tetap cerah dengan hadirnya perempuan sebagai tiang peradaban.
Untuk itu seluruh elemen, tak terkecuali IMM memiliki peran besar dalam menaungi perempuan beserta pemikiran-pemikiran yang patut dipertimbangkan dalam setiap keputusan.
*Penulis adalah Ketua Bidang Kesehatan PC IMM Kota Surabaya.