Di era globalisasi ini, banyak fenomena budaya populer yang berkembang menjadi simbol bagi individu maupun kelompok tertentu. Salah satu contohnya adalah mainan Labubu.
Sepintas tak sekedear menjadi mainan koleksi. Labubu juga jadi lambang identitas dan simbol sosial bagi para kolektornya.
Namun siapa sangka, dibalik fenomena ini, memuat nilai-nilai yang tersembunyi. Hedonisme hingga hegemoni budaya konsumerisme di tengah masyarakat urban melekat bersamanya.
Pertanyaannya, mengapa mainan seperti Labubu mampu memiliki dampak budaya yang sedemikian luas? Adakah elemen religiusitas atau simbolisme khusus dalam fenomena ini yang berkontribusi pada munculnya nilai-nilai hedonistik dan hegemoni?
Simbolisme Labubu dalam Perspektif Religiusitas Baru
Dari sudut pandang historis, dalam berbagai studi agama, benda yang dianggap “khusus” atau “keramat” sering kali diasosiasikan dengan aspek-aspek religius.
Fenomena koleksi mainan Labubu yang dipuja-puja para kolektornya menunjukkan adanya elemen simbolisme, di mana benda tersebut dihayati lebih dari sekadar objek fisik.
Menurut Gazali (2017), objek seni atau simbol seperti lukisan prasejarah di gua Leang-Leang, mampu menjadi cerminan ide, keyakinan, dan pandangan hidup suatu masyarakat. Demikian pula, Labubu bisa dilihat sebagai “ikon religiusitas modern” di mana kolektor memperlakukannya dengan penuh penghormatan dan kebanggaan, menyerupai ritual atau pemujaan.
Para kolektor sering kali mengalokasikan waktu dan dana yang signifikan untuk berburu dan mengoleksi Labubu. Fenomena ini memperlihatkan bahwa benda-benda ini tak hanya dikoleksi tetapi dimaknai.
Serupa sebagaimana dalam studi agama, benda-benda sakral diperlakukan dengan penuh penghormatan dan dijadikan simbol penghubung dengan nilai atau identitas tertentu. Dengan kata lain, Labubu telah menjadi medium bagi individu untuk mengekspresikan dan menemukan makna hidup yang lebih dalam bentuk konsumerisme simbolis.
Hedonisme dalam Budaya Koleksi Labubu
Fenomena koleksi Labubu juga tak lepas dari aspek hedonisme, yaitu pandangan hidup yang menekankan pada kesenangan dan kepuasan pribadi. Kolektor Labubu ketika membeli mainan ini merasa seperti sebuah kepuasan dan penghargaan terhadap dirinya sendiri.
Studi oleh Putri (2023) menyoroti bahwa gaya hidup hedonisme pada kalangan muda dapat dilihat melalui perilaku konsumtif yang hanya fokus pada kesenangan tanpa memikirkan kegunaan atau kebutuhan.
Hal ini pun juga terjadi pada kolektor Labubu, di mana proses pengoleksian bukan lagi sekadar memenuhi kebutuhan, tetapi lebih kepada pencarian status dan kepuasan personal melalui kepemilikan.
Pameran koleksi di media sosial oleh para kolektor Labubu menambah unsur hedonistik, di mana mereka menampilkan koleksi mereka sebagai cerminan kesuksesan dan gaya hidup mewah.
Koleksi ini menjadi bentuk kapital simbolis yang membuat para pemiliknya merasa memiliki status yang lebih tinggi di komunitas mereka. Perilaku semacam ini menguatkan nilai-nilai hedonistik di mana kepemilikan benda menjadi bentuk pencapaian yang bernilai tinggi.
Hegemoni dalam Budaya Konsumerisme Labubu
Berkembangnya fenomena Labubu juga tidak lepas dari hegemoni budaya konsumerisme. Perusahaan-perusahaan besar menggunakan mainan ini sebagai alat untuk membangun citra dan mendorong pola konsumsi yang lebih tinggi.
Hegemoni konsumerisme mendorong masyarakat untuk melihat Labubu bukan hanya sebagai mainan, tetapi sebagai bagian dari gaya hidup yang harus dimiliki untuk dianggap ‘kekinian’ atau ‘berkelas’.
Elemen-elemen konsumsi seperti kemasan dan eksklusivitas produk memainkan peran penting dalam membangun preferensi konsumen dan menciptakan perilaku konsumtif yang didorong oleh keinginan untuk mencapai status tertentu.
Media sosial memainkan peran penting dalam memperkuat dominasi Labubu sebagai produk budaya yang diidamkan. Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) atau ketakutan tertinggal tren sangat terlihat dalam fenomena ini, di mana penggemar mainan merasa harus memiliki seri terbaru atau edisi terbatas Labubu agar dianggap bagian dari komunitas.
Platform-platform ini mendorong individu untuk mengikuti arus konsumtif yang dibangun, memunculkan ketergantungan budaya pada objek yang secara psikologis memberikan kepuasan sementara tetapi merugikan secara ekonomi.
Refleksi Kritis terhadap Konsumerisme dan Hedonistik Tren Labubu
Dari perspektif sosiologis dan studi agama, fenomena Labubu menunjukkan adanya pergeseran nilai dalam masyarakat modern, di mana konsumerisme menjadi semacam religiusitas baru dan objek material dijadikan simbol status yang tak kalah penting dari nilai-nilai spiritual. Perilaku ini, bila dilihat secara kritis, dapat menyebabkan disonansi dalam nilai budaya masyarakat, di mana hedonisme dan hasrat kepemilikan justru semakin memperkuat hegemoni kapitalisme di tengah masyarakat urban.
Meskipun memiliki dampak positif dalam hal ekspresi diri dan kepuasan pribadi, fenomena koleksi Labubu juga menuntut kita berefleksi lebih dalam.
Pada akhirnya menimbulkan semacam pertanyaan, apakah konsumerisme semacam ini benar-benar memberikan kebahagiaan jangka panjang? Ataukah hanya kepuasan sesaat yang diperoleh melalui konsumsi barang mewah?
Pertanyaan ini membawa kita kembali pada esensi dari konsep hedonisme dan hegemoni budaya. Ternyata konsumerisme simbolis, ketika dilihat secara mendalam, sering kali memperlihatkan adanya celah dalam upaya manusia mencari makna di tengah modernitas yang semakin materialistik.
*Penulis adalah Sekretaris Bidang Media dan Komunikasi IMM Komisariat Ushuluddin FIAD