Konseling: Kejujuran yang Dipaksakan?

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Muhammad Habib Muzaki)

 

Dalam konseling psikologi, cerita dan keluhan klien menjadi landasan bagi seorang psikolog untuk menilai dan mendiagnosis klien. Sudah menjadi hal yang lumrah dan etis bagi seorang praktisi psikologi untuk berempati dan mempercayai hal-hal yang klien katakan.

Namun, asumsi bahwa setiap klien pasti melaporkan keluhan-keluhannya secara jujur seringkali membutakan psikolog akan adanya kemungkinan sebaliknya. Ada beberapa penjelasan mengapa laporan diri seseorang pada saat konseling psikologi tidak mencerminkan keadaan yang sesungguhnya.

Salah satu alasan mengapa klien mungkin menyembunyikan atau memalsukan keluhan-keluhannya adalah impression management (manajemen kesan). Dalam hal ini, seorang klien tentu ingin menampilkan sebuah kesan yang baik atas dirinya, sehingga timbul perasaan malu, takut dihakimi oleh psikolog, atau khawatir dengan konsekuensi bila orang lain mengetahui kondisinya yang sebenarnya.

Di luar konteks konseling, impression management merupakan hal yang tidak asing dan mungkin dilakukan sehari-hari. Setiap harinya kita secara sadar maupun tidak sadar memperhitungkan persepsi orang lain dalam setiap tindakan kita. Walaupun hal ini “normal” dilakukan dalam konteks makhluk sosial, tetapi hal ini justru dapat menjadi penghambat dalam mencapai keberhasilan konseling itu sendiri.

Faktor lainnya yang juga menjadi sebab seorang klien tidak memberikan laporan sesuai dengan keadaan sebenarnya adalah self deception (penipuan diri). Kamus Collins mendefinisikan self deception sebagai tindakan menipu diri sendiri, terutama mengenai perasaan atau motivasi diri. Pada dasarnya, penipuan diri sendiri berangkat dari ketidakkongruenan persepsi diri dengan bukti yang ada.

Kasus self deception dalam ranah klinis banyak diteliti pada penderita adiksi alkohol. Penderita adiksi alkohol seringkali membohongi diri sendiri dengan mempertahankan keyakinan bahwa mereka dapat mengontrol konsumsi alkohol terlepas dari bukti nyata yang bertentangan dengan keyakinan tersebut. Ketidakmampuan klien untuk mengakui keluhan-keluhan yang diderita akan berakibat langsung pada keakuratan cerita dan laporan yang disampaikan kepada psikolog pada saat konseling.

Selain itu, ada juga malingering yakni ketika seseorang dengan sengaja menunjukkan gejala penyakit fisik atau gangguan mental yang palsu atau terlalu berlebihan. Tujuan utama seseorang melakukan perilaku malingering adalah untuk mendapatkan insentif eksternal seperti mendapatkan keuntungan atau menghindari hukuman.

Selama ini, kasus malingering paling banyak diteliti pada ranah forensik. Tidak jarang kita mendengar adanya pemberitaan mengenai pelaku kriminal yang mencoba memalsukan sebuah gangguan jiwa agar mendapatkan hukuman yang lebih ringan.

Namun, nyatanya malingering tidak hanya terjadi dalam ranah forensik, tetapi juga klinis. Penelitian oleh Fuermaier et al. (2021) menemukan bahwa sebanyak 15-48% mahasiswa melebih-lebihkan keluhan mereka mengenai penyakit ADHD dan sebanyak 26% dari penerima obat stimulan untuk ADHD menjual kembali obat yang mereka dapatkan.

Studi ini menemukan bahwa mahasiswa kerap kali sengaja memalsukan gejala ADHD untuk mendapatkan keringanan-keringanan tugas akademik dan untuk mendapatkan keuntungan materiil dari menjual kembali obat stimulan.

Sementara itu, malingering sendiri terkadang disamakan dengan gejala factitious disorder padahal terdapat perbedaan di antara keduanya. Dalam DSM-5, factitious disorder termasuk ke dalam golongan gejala somatik dan gangguan terkait. Orang dengan factitious disorder melakukan kebohongan bukan untuk mendapatkan insentif eksternal melainkan untuk mendapatkan perhatian dan mencari simpati.

Orang dengan factitious disorder kerap kali tak hanya berbohong tentang gejala yang mereka alami, tetapi juga melakukan hal-hal yang berbahaya pada tubuh untuk menimbulkan gejala-gejala tersebut. Penderita factitious disorder rela menjalani prosedur dan tes yang menyakitkan demi mendapatkan atensi dari pihak medis.

Setiap praktisi psikologi dilatih untuk mendengarkan cerita dan keluhan klien. Namun melihat angka prevalensi laporan palsu pada konseling, diperlukan adanya tes untuk memastikan validitas laporan- laporan klien.

Tes symptom validity bermanfaat untuk mengetahui sejauh mana laporan subjektif klien selaras dengan bukti objektif yang ada. Pada tes symptom validity, jawaban klien dibandingkan dengan data normatif penderita lainnya untuk melihat seberapa klien melaporkan keluhan-keluhan yang tidak umum (Merckelbach et al., 2019). Selain penggunaan symptom mengenai validity, materi bagaimana mendeteksi kebohongan di ranah klinis juga penting untuk dikembangkan sebagai bagian dari kurikulum bagi calon-calon praktisi psikologi.


 

*Penulis adalah Ketua Bidang Organisasi IMM Komisariat Allende Periode 2022-2023.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *