Saat membicarakan tentang situasi pendidikan di Bulgaria saat ini, penting untuk menyoroti perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial serta fokus pada integrasi etnis dan kesetaraan akses pendidikan. Reformasi pendidikan yang diluncurkan oleh Bulgaria pada tahun 2000 menargetkan peningkatan pendidikan bagi etnis minoritas dan inklusivitas generasi muda.
Namun sebelum kita mendalami kesetaraan pendidikan di Bulgaria, penting untuk memahami lebih dalam mengenai kelompok etnis Rom atau Gipsi yang telah menjadi korban penindasan dalam sistem negara tersebut (Zang, 1991). Kelompok etnis Rom atau Gipsi adalah kelompok etnis yang diyakini berasal dari India dan bermigrasi ke Eropa.
Mereka sering mengalami diskriminasi karena perbedaan budaya dan etnis dengan mayoritas penduduk Eropa. Bahkan, dalam sejarah, mereka sering dipaksa untuk tinggal di luar desa-desa dan dilarang melakukan transaksi dengan penduduk desa.
Diskriminasi terhadap kelompok etnis ini terus berlanjut hingga zaman modern. Perjuangan mereka untuk mendapatkan hak-hak yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, merupakan bagian penting dari perjalanan menuju kesetaraan di Bulgaria.
Dalam konteks pendidikan, Rom atau Gipsi sering menghadapi tantangan akses yang berat, seperti kurangnya akses ke sekolah yang layak dan kesulitan dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas. Hal itu dapat dilihat sebagaimana grafik di bawah ini:
Dengan kondisi diskriminasi seperti itu maka tidak mengherankan jika etnis ini tidak mendapatkan kesempatan pendidikan yang baik. Dibuktikan dengan persentase pendidikan dari anak-anak etnis ini yang kebanyakan berada pada tingkatan elementary dan basic school (setara dengan SD-SMP). Berbanding terbalik dengan etnis Bulgarian yang mayoritas mampu melanjutkan hingga secondary school (setara SMA).
Penyebab dari kondisi ini beragam. Pertama, serta paling utama, rendahnya pendidikan adalah pilihan hidup dan cara hidup mereka (Zahariev, 2021). Walaupun Bulgaria adalah negara Eropa Timur pertama yang membuat sekolah untuk etnis Gipsi, pada tahun 1910 presentasi orang yang tidak buta huruf dari etnis itu hanya 3% dan hanya meningkat menjadi 8% setelah perang dunia pertama (Crowe, 1995: 13).
Dari berbagai analisis ahli tentang pendidikan etnis ini, mereka berkesimpulan bahwa harus ada komunikasi antara lembaga pendidikan dengan keluarga. Karena dalam etnis ini terdapat hubungan dan hirarkis. Dengan dominasi kepala keluarga, segala keputusan keluarga ada di tangan sang kepala.
Selain itu, memahami sejarah dan kondisi saat ini dari kelompok etnis Rom atau Gipsi adalah langkah penting dalam upaya untuk mencapai kesetaraan pendidikan di Bulgaria. Hal ini memungkinkan kita untuk mengidentifikasi dan mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi oleh mereka dalam mendapatkan akses dan kualitas pendidikan yang layak.
Perlu diingat bahwa kondisi demografis etnis ini seringkali mencerminkan rendahnya tingkat pendidikan, kurangnya kesadaran akan kemiskinan, dan tingginya tingkat pengangguran. Oleh karena itu, kesuksesan dari upaya memberikan kesempatan pendidikan yang setara tidak hanya menjadi indikator kesuksesan agenda pemerintah dalam sektor pendidikan, tetapi juga merupakan bagian dari upaya konsolidasi untuk menjaga stabilitas masyarakat.
Kesetaraan dalam akses pendidikan merupakan kunci dalam teori mobilitas sosial, yang menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk berpartisipasi dalam kompetisi terbuka dan membuktikan bakat serta kemampuannya (Halsey, 1977). Terlebih lagi, kesetaraan akses pendidikan berhubungan erat dengan perlunya memastikan bahwa kondisi sekolah dan pengajar sama-sama adil bagi semua kelompok etnis, serta sebagai wujud dari keadilan sosial dan meritokrasi (Coleman, 1968).
Selama paham sosialis dianut oleh Bulgaria isu tentang masyarakat Rom dan pendidikannya menjadi objek yang spesial dalam perpolitikan. Pada masa ini sekolah untuk etnis Rom tersebar luas dan banyak anak-anak etnis tersebut mendapatkan akses pendidikan, tempat itu dijuluki “Roma Schools”. Sekolah ini biasanya menempati daerah overpopulasi dengan standar kehidupan rendah dan penghasilan rendah yang biasa ditempati etnis Rom di bulgaria.
Tujuan utama sekolah ini hanyalah menyediakan akses pendidikan basic literacy (calistung/baca tulis berhitung) dan kemampuan yang dibutuhkan untuk bekerja. Dengan tujuan yang seperti itu, diharapkan dapat mengukur limit atau batasan dari potensi anak anak di lingkungan tersebut dengan mengajarkan dasar-dasar pendidikan
Sayangnya hasil dari kebijakan pendidikan yang diterapkan berimbas pada Roma Schools menjadi tertutup dan tersegregasi (terpisah dari sekolah umum) dengan berbagai pandangan negatif terhadap etnis Rom ini. Salah satunya stigma etnis kelas bawah yang diberikan kepada mereka.
Pada pertengahan tahun 1970-an, rekomendasi pembatasan jumlah Roma Schools muncul. Tujuannya tidaklah buruk dan jahat, melainkan upaya mengintegrasi anak-anak etnis Rom ke sekolah umum (seperti konsep sekolah inklusi).
Pada Oktober tahun 1978 sekretariat Central Committee of The Bulgarian Communist Party mengadopsi resolusi 1.360 untuk secara perlahan menghapus pemukiman dan sekolah etnis Rom untuk di integrasi secara penuh terhadap masyarakat (Marushiakova dan Popov, 2001: 236–256).
Hal itu memang tidak berhasil secara penuh menghapus segregasi etnis yang ada di negara tersebut. Sebab pemukiman dan sekolah-sekolah etnis Rom hingga kini masih berdiri. Namun upaya pengintegrasian tetap berlanjut dengan kebijakan pendidikan yang lebih realistis yaitu the Strategy for the Educational Integration of Children from Ethnic Minorities (Heckmann, 2008). Hal semacam ini masih diupayakan hingga kini.
*Penulis adalah Anggota Bidang HPKP PC IMM Kota Surabaya.